Abdul Gafar
Dosen Purnabakti Ilmu Komunikasi Unhas Makassar
Dalam kehidupan yang paling kecil hingga besar selalu ada yang namanya krisis.
Apakah itu dalam kehidupan individu, rumah tangga, kelompok kecil, organisasi hingga negara, ada saja persoalan krisis di dalamnya.
Krisis merupakan masalah yang mesti dihadapi dengan segala risiko dalam sejarah perjalanan manusia.
Besar-kecilnya, cepat-lambatnya penanganan krisistergantung kepada kemampuan yang bersangkutan mengelolanya.
Kondisi ini terjadi dibanyak sektor kehidupan kita.
Di negeri ini, sedikit saja terjadi kelangkaan, dengan cepat menimbulkan kepanikan dalam masyarakat.
Masyarakat kita sepertinya kurang atau tidak kuat menghadapi sedikit saja kelangkaan.
Terlihat saat ini ketika terjadi kelangkaan minyak goreng. Seluruh negeri seakan ‘goncang’, kalang kabut menjerit mencari minyak goring yang hilang entah ke mana.
Pusat perbelanjaan kosong melompong. Seolah-olah minyak itu terserap ke bumi tanpa bekas.
Konon kabarnya kita dikenal sebagai pemilik sumber daya alam untuk minyak goreng terbesar di dunia.
Di daerah ini, beberapa hari kelangkaan minyak solar pun terlihat demonstratif di stasiun pengisian bahan bakar.
Kumpulan kendaraan besar tampak berjejer menunggu pengisian bahan bakar tersebut.
Kalau kelangkaan ini terjadi terus-menerus, maka tidak menutup kemungkinan banyak yang akan dikandangkan.
Kecuali pemerintah merencanakan ke depan semua kendaraan itu akan menggunakan energi listrik.
Lebih revolusioner lagi jika menggunakan energi air atau angin sebagai penggerak. Sebuah perubahan yang sangat berarti dalam dunia transportasi massal.
Negeri ini, mudah goyah oleh sesuatu keadaan yang muncul. Apakah itu disengaja atau tidak, yang jelas masyarakat gampang terprovokasi.
Mudah panik sehingga melakukan tindakan yang tidak rasional.
Kondisi kemudahan panik dimanfaatkan oleh kelompok tertentu yang memainkan ketidakstabilan psikologis dalam meraih keuntungan besar.
Prinsip mereka, meraih untung sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya.
Pemerintah seolah-olah lepas tangan dalam mengatasi krisis seperti ini. Pertarungan pasar bebas dihalalkan.
Para spekulator ‘busuk’ merasa sangat diuntungkan dalam kondisi seperti ini.
Mereka pandai menimbun dan menenggelamkan minyak goreng ke dalam gorong-gorong. Suatu ketika situasi menguntungkan, barulah mereka lepas ke pasar.
Seharusnya mereka para spekulator ini statusnya disamakan dengan teroris karena telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Jelas para pelakunya, namun tidak ditindak dengan tegas.
Sebuah kesyukuran besar hidup di bumi ini, syorga bagi pengkhianat bangsa dan negara. Ada yang berani menindakinya ?
Dunia ekonomi kita mudah menggoncangkan jagad negeri ini.
Dunia lainnya pun memainkan adegan yang sama. Masyarakat selalu diperhadapkan kepada informasi yang tidak menentu.
Terutama dunia perpolitikan di tanah air tercinta. Politik jungkir-balik keadaan.
Krisis moral
Persoalan yang cukup menarik perhatian dan emosi kita belakangan ini adalah wacana perpanjangan jabatan presiden atau penundaan pemilu 2024.
Beberapa partai telah mencanangkan dirinya bahwa mereka mendukung pernyataan tersebut.
Apakah itu sifatnya perpanjangan atau pun penundaan. Beberapa kalangan parlemen pun terlihat antusias setuju dengan usulan partai-partai itu.
Untuk menuju pencapaian itu, maka beberapa opsion harus dilakukan.
Pro-kontra mulai ‘beterbangan’ ke mana-mana dengan alasan masing-masing.
Para ahli mulai memberikan alasan-alasan akademik berkaitan dengan wacana tersebut.
Bagi mereka yang ‘gampangan’, mudah ditundukkan oleh kekuasaan mungkin mendukung alasan perpanjangan atau penundaan pemilu.
Bagi mereka yang konsisten aturan, pasti akan memilih menolak dengan tegas.
Hari ini, semua dapat diatur untuk kepentingan tertentu. Aturan dapat dibuat untuk ‘menyesuaikan’ dengan pengorder.
Ketika dianggap bertentangan, maka dianggap sebagai lawan atau musuh yang mesti disingkirkan.
Nah, mau melawan ?