Opini Tribun Timur

Minyak Goreng, Kemacetan dan yang Disuarakan

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Amul Hikmah Budiman, Alumni Manajemen Kepemimpinan Pemuda Sekolah Pascasarjana Unhas

Sejarah masih merekam jelas, pra reformasi mereka memenuhi jalan raya dan memukul mundur penguasa akibat tidak mampu mengontrol krisis moneter dan kebutuhan primer lainnya.

Bahkan beberapa tahun pasca reformasi, di pemerintahan sebelum Jokowi, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) mengalami kenaikan 500 rupiah saja, warna almamater yang beraneka rupa akan memadati jalan protokol dan mengepulkan asap ban ke udara.

Namun, hari ini kita belum melihat pemandangan ini kembali menjadi breaking news di media.

Salah satu mobil truk di Makassar ditemukan sebuah tulisan, “Papa Antri Solar, Mama Antri Minyak” SESSAJAKI! (Indonesia: Kita Tersiksa).

Seperti menjadi sebuah “tamparan” untuk memberikan kode kepekaan kepada para kaum intelektual untuk bisa bergerak lebih banyak dan massif agar mampu memberi “alarm” kepada pemangku kebijakan.

Namun, sepertinya kita belum melihat kejadian “extraordinary” dari mereka yang kita percaya mampu melahirkan sebuah restorasi. Apakah kaderisasi organisasi mengalami “kemacetan” atau efek dari virtual learning yang melahirkan comfort zone?

Kemacetan berpikir juga sepertinya ada di ruang-ruang eksekutif dan legislative.

Mereka yang kita anggap mampu mengetuk palu untuk melahirkan solusi, justru yang hangat diperbincangkan di ruang-ruang mereka menjadi bias, lebih menarik memperdebatkan persoalan penundaan pemiliu dan jabatan presiden tiga periode.

Di tengah krisis bahan pangan ini, para elit politik yang telah kita berikan mandat, sepertinya tidak menjadikan kelangkaan ini sebagai hal yang sangat serius dan primer.

Justru kepentingan politiklah yang harus diutamakan dibandingkan kebutuhan perut.

Belum lagi yang masih hangat perihal aturan suara adzan yang disuarakan oleh salah seorang menteri di Kabinet jokowi dan ramai dibincangkan oleh warga maya.

Hal ini sepertinya ingin “mengubur” sebuah kemandegan dan “kelemahan” pemerintah dalam menyelesaikan persoalan minyak goreng sebagai kebutuhan dasar rakyat untuk mengisi perutnya.

Minyak goreng tidak boleh “digoreng-goreng” terlalu lama di media dan di warung kopi.

Gerakan kita semua dengan segala kemampuan dan energi masing-masing sudah harus segera dieksekusi, sebelum perut semakin lapar dan peradaban menjadi “hangus”.

Berita Terkini