Opini Tribun Timur

Minyak Goreng, Kemacetan dan yang Disuarakan

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Amul Hikmah Budiman, Alumni Manajemen Kepemimpinan Pemuda Sekolah Pascasarjana Unhas

Pemerintah pusat, daerah, bahkan partai politik mencoba membuat operasi pasar dengan harga murah.

Namun di layar kaca dan gadget kita menyaksikan pemandangan antrian yang mengular untuk menebus seliter minyak goreng.

Bahkan di beberapa daerah dikabarkan ada yang menjadi “korban” akibat desak-desakan.

Gambaran pemandangan ini membawa kita untuk flaschback pada era sebelum reformasi.

Orang-orang kelaparan untuk berdesak-desakan mendapatkan minyak tanah dan bahan pokok lainnya.

Pada masa itu Asahan Alham merekammnya dalam sebuah tulisan yang berjudul “Perang dan Kembang (2001:370) mengutarakan "Aku pernah antre untuk membeli minyak tanah dan setelah tiga hari berturut-turut baru dapat.

Tanpa minyak tanah, komporku takkan bisa menyala. Sedangkan minyak yang disediakan negara sangat terbatas,".

Sepertinya kita sedang mengalami reinkarnasi peristiwa pahit ini.

Ragam spekulasi pemerintah dan opini para pengamat serta ekonom.

Mulai dari penimbunan hingga ekspor yang lebih banyak ke beberapa negara dunia.

Namun, biarlah itu menjadi sebuah dinamika perbincangan para elite untuk menemukan solusi yang jitu.

Paling penting adalah bagaimana upaya kita untuk mendorong agar “kemacetan” ini tidak lama durasinya.

Bahkan baru-baru ini, kemacetan jalan raya juga semakin meluas, keterbatasan bahan bakar solar di beberapa SPBU, mobil-mobil besar semacam truk dan bus harus mengular hingga ke bahu jalan.

Negeri kita benar-benar sedang dilanda kemacetan. Tidak hanya “kemacetan” fisik, bisa jadi juga “kemacetan” pikiran.

Manusia-manusia muda yang selama ini dianggap sebagai social of control atau agent of change sepertinya masih tertidur lelap atau masih banyak bergadget ria di teras warung kopi hingga dini hari.

Halaman
123

Berita Terkini