TRIBUN-TIMUR.COM - Siapa AP anak petinggi PT SM yang namanya diseret Ubedilah Badrun dalam Kasus Dugaan KKN Anak Jokowi?
Ya, nama AP ikut disebut Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun saat melaporkan dua putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ubedilah Badrun melaporkan anak Jokowi atas dugaan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Ia menyebut, pada Februari 2019, Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, membuat perusahaan gabungan dengan anak petinggi perusahaan PT SM.
Lantas siapa AP?
Berikut selengkapnya!
Dua putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Keduanya dilaporkan oleh dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun.
"Laporan ini terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang (TPPU) berkaitan dengan dugaan KKN relasi bisnis anak Presiden dengan grup bisnis yang diduga terlibat pembakaran hutan," katanya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin, (10/1/2022), sebagaimana diberitakan Tribunnews.com.
Ubed menjelaskan, laporan ini berawal pada 2015, saat itu kata dia ada perusahaan besar berinisial PT SM yang menjadi tersangka pembakaran hutan dan sudah dituntut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dengan nilai Rp 7,9 triliun.
Kendati begitu, kata Ubed, dalam perkembangannya, yakni di Februari 2019, Mahkamah Agung (MA) hanya mengabulkan tuntutan Rp 78 miliar, saat itu kedua putra Jokowi diduga memiliki perusahaan dan bergabung dengan PT SM.
"Itu terjadi pada Februari 2019 setelah anak presiden membuat perusahaan gabungan dengan anak petinggi perusahaan PT SM," terang Ubedilah.
Menurut dia, dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) tersebut sangat jelas melibatkan Gibran, Kaesang, dan anak petinggi PT SM, yakni AP.
Hal itu kata dia dapat dibuktikan karena adanya suntikan dana penyertaan modal dari perusahaan Ventura.
"Dua kali diberikan kucuran dana. Angkanya kurang lebih Rp 99,3 miliar dalam waktu yang dekat. Dan setelah itu kemudian anak presiden membeli saham di sebuah perusahaan yang angkanya juga cukup fantastis Rp 92 miliar,” ujar Ubedilah.
Hal tersebut bagi Ubed menjadi tanya besar, karena menurutnya hampir tidak mungkin seorang anak muda yang baru mendirikan perusahaan dengan mudah mendapatkan penyertaan modal dengan angka yang cukup fantastis kalau dia bukan anak presiden.
Dalam laporan ke KPK tersebut, Ubedilah mengaku membawa bukti-bukti data perusahaan serta pemberitaan terkait adanya pemberian penyertaan modal dari Ventura.
"Ada dokumen perusahaan karena diakses boleh oleh publik dengan syarat-syarat tertentu, dan juga bukti pemberitaan pemberian penyertaan modal dari Ventura itu," ujar Ubedilah.
"Dan kemudian kita lihat di perusahaan-perusahaan yang dokumennya rapih itu memang ada tokoh-tokoh yang tadi saya sebutkan," ucap Ubedilah.
Ubedilah meminta KPK untuk menyelidiki hal tersebut.
"Kami minta kepada KPK untuk menyelidiki dan meminta kepada KPK agar menjadi terang benderang dan bagaimana kemudian bila perlu presiden dipanggil untuk menjelaskan posisi ini," tukasnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum diketahui siapa AP yang dimaksud
Profil Ubedilah Badrun
Ubedilah Badrun merupakan Dosen Sosiologi Politik UNJ.
Dikutip dari TribunnewsWiki, Ubedilah Badrun lahir di Indramayu, Jawa Barat pada 15 Maret 1972.
Selain sebagai dosen, ia dikenal sebagai mantan aktivis reformasi 1998.
Berdasarkan catatan pendidikannya, Ubedilah menyelesaikan S1-nya dari Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Jakarta (sekarang menjadi UNJ) pada 1998.
Setelah itu, ia mengambil program Pascasarjana di FISIP Universitas Indonesia dan lulus tahun 2003.
Selain menjadi dosen, Ubedilah Badrun juga kerap memberikan pandangannya perihal sosial politik di sejumlah media.
Menilik akun instagramnya, Ubdeilah kerap memberikan pandangan kritis atas pemerintahan Jokowi.
Pada momen dua tahun Jokowi-Maruf pada Oktober 2021 lalu misalnya, Ubed memberi rapor merah pada pemerintahan Jokowi-Maruf.
Ada tiga indikator yang dijadikan ukuran rapor merah tersebut yaitu indikator ekonomi, indikator demokrasi, dan indikator korupsi.(*)
Rekam Jejak Ubedilah Badrun
- Aktivis 1998
Semasa kuliah, Ubed pernah terpilih sebagai mahasiswa berprestasi utama (I) IKIP Jakarta tahun 1995 dan memperoleh penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Pada tahun yang sama, dia terpilih sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa IKIP Jakarta (kini UNJ).
Tahun 1995-1996, dia aktif membidani lahirnya FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta) hingga terpilih sebagai Presidium FKSMJ tahun 1996, sebuah organisasi yang menjadi salah satu motor penting gerakan mahasiswa 1998.
Selain itu, dia aktif juga di Lembaga Dakwah Kampus sejak 1993.
Tahun 1995 pernah diciduk mabes POLRI saat menjadi pimpinan simpul gerakan demonstrasi menuntut Harmoko diadili dan Golkar dibubarkan di depan gedung Kejaksaan Agung.
Pada 26 Desember 1997, ia memimpin demonstrasi menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden RI.
Pada 6 Maret 1998, ia pernah mengingatkan B.J.Habibie melalui tabloid Xpose bahwa jika Habibie mau menjadi Wakil Presiden maka ia akan menjadi tumbal karena Soeharto akan jatuh sebagai Presiden, dan pada gilirannya Habibie yang akan menggantikan Soeharto juga akan jatuh karena kondisi bangsa yang rusaknya terlalu sistemik
Di organisasi mahasiswa ekstra kampus, pernah aktif di HMI MPO sebagai Ketua Umum HMI MPO Cabang Jakarta tahun 1997-1998 dan Ketua Umum HMI MPO badan koordinasi (Badko) Jawa bagian barat tahun 1998-1999.
Sehari sebelum pendudukan gedung DPR/MPR, ia memimpin rapat strategi gerakan reformasi (Ubedilah menyebutnya gerakan reformasi total untuk menggantikan istilah revolusi) bersama para aktivis FKSMJ dan FKMIJ hingga keputusan pendudukan gedung DPR/MPR itu final.
Kemudian, bersama kelompok gerakan mahasiswa lainnya (FKSMJ dan FORKOT), di pagi buta pada tanggal 18 Mei 1998 ia memimpin ratusan massa HMI MPO demontrasi menduduki gedung DPR/MPR hingga jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998.
Pada tahun 1999 masih aktif memimpin demonstrasi menolak Pemilu 1999, melakukan aksi bubarkan Golkar, dan mengusung dibentuknya Dewan Presidium Nasional (DPN). sebuah lembaga transisional yang bertugas memimpin pemerintahan transisi, mengadili Soeharto beserta kroninya, dan mengadakan pemilu untuk memilih pemerintahan definitif.
Gagasan yang muncul pasca jatuhnya Soeharto ini telah memiliki kemenangan moral bahwa mengubah Indonesia memang harus total tidak setengah-setengah, namun gagasan ini kini tertelan waktu seiring terjadinya perubahan politik hasil Pemilu 2004.
- Dosen UNJ
Ubed pernah mengajar di Labschool Jakarta (1997-2002) dan pernah menjadi vice principal di Tokyo Indonesian School (SRIT) sambil mendalami budaya dan politik Jepang hingga akhir tahun 2006.
Sepulang dari Jepang, ia kini mengajar di Universitas Negeri Jakarta untuk mata kuliah Sosiologi Politik pada jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS).
Beberapa karya tulisnya telah dipublikasikan di sejumlah media massa baik lokal maupun nasional.
Karya tulisnya antara lain Sufistik, Formaslistik dan Aksi Sosial (Harian Terbit, 1995), Menduga Kemungkinan Suksesi Nasional 1998 (dalam buku Perubahan Tanpa Gejolak?, Roch Basuki Mangunprojo, 1997), Pendidikan Politik Yang Buruk (Kompas, 2000), Kultur Universitas? (Transformasi-UNJ, 2001), dan Membaca Kemungkinan Dua Presiden (Media Indonesia, 2001).
Selain itu ada Bila Golkar Menang Pemilu 2004 (Jawa Pos, 2003), Di Balik Kemenangan Koizumi (www.hminews.com, 2005), Mr.President: Mr.Cuek (www.kammi-jepang.net, 2006), The American Policy towards Islamic World Should be Changed(www.hminews.com, 2006), dan buku Radikalisasi Gerakan Mahasiswa: Kasus HMI MPO (Media Raushan Fekr, Mei 2006).
Suami dari Hartini Nara dan ayah dari Qurrota A’yun Nisa (almarhumah), Sana Shabira Turfa, dan Hanna Aisha Adibah ini juga hobi menulis puisi, cerpen, dan berencana menerbitkan sebuah novel (tribunnews/wikipedia)