Timor Leste

Cek Fakta Warga Timor Leste Menyesal Salah Pilih Saat Referendum 1999 dan Menderita di Pengungsian

Editor: Arif Fuddin Usman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rumah pengungsi Timor Timur di Nusa Tenggara Timur. Namun setelah cek fakta, tak sepenuhnya benar jika warga Timor Timor yang memilih pro-integrasi menderita dan tidak dipedulikan pemerintah Indonesia

TRIBUN-TIMUR.COM - Sebelumnya banyak beredar pemberitaan soal warga Timor Timor mengaku salah pilih pada masa referendum 1999.

Namun setelah cek fakta, tak sepenuhnya benar jika warga Timor Timor yang memilih pro-integrasi menderita dan tidak dipedulikan lagi oleh pemerintah Indonesia.

Sebuah fakta ditunjukkan Pemerintah Indonesia dengan membangun sebanyak 300 unit rumah khusus (rusus).

Rumah tersebut dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Rusus ini dibangun di daerah perbatasan RI-Timor Leste untuk Warga Negara Indonesia (WNI) eks-pengungsi Timor Timur. 

Menurut Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, pembangunan rusus merupakan komitmen pemerintah dalam penyediaan hunian yang layak bagi masyarakat melalui Program Sejuta Rumah.

Hal ini juga dilakukan sebagai bentuk pemerataan hasil pembangunan di seluruh pelosok negeri, terutama di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).

"Ini merupakan bukti nyata bahwa Pemerintah hadir dalam penyediaan hunian layak," tegas Basuki dikutip dari siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (13/09/2021).

Dia berharap, pembangunan rusus dapat meningkatkan kualitas hidup para penerima bantuan dengan memiliki rumah yang lebih layak, sehat, serta nyaman.

Rumah khusus (rusus) bagi eks-pengungsi Timor Timur. (Dok. Kementerian PUPR. )

Pembangunan 300 unit rusus dibagi dalam tiga tahap selama 2020-2021, masing-masing tahap terdiri dari 100 unit.

Rusus tersebut dibangun menggunakan teknologi Rumah Instan Sehat Sederhana Sehat (RISHA) tipe 36 kopel.

Pembangunan tahap I telah tuntas dilakukan pada tahun lalu dan sudah digunakan sebagai hunian sementara. Lokasinya berada di Desa Tohe, Kecamatan Raihat.

Tahap II juga berlokasi di desa yang sama dan dibangun pada tahun ini dalam paket pekerjaan reguler.

Pembangunan tahap II saat ini  sudah memasuki progres 65,60 persen.

Sedangkan tahap III yang termasuk dalam paket Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2021, masih baru memasuki proses lelang.

Pembangunan tahap III ini rencananya dilaksanakan di Desa Rafae, Kecamatan Raimanuk. 

Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Belu sebelumnya telah mengusulkan pembangunan rusus sebanyak 450 unit.

Ini terdiri dari 400 unit untuk masyarakat di daerah perbatasan dan 50 unit untuk asrama BRIMOB.

Dari usulan tersebut, baru 300 unit yang disetujui untuk dibangun secara bertahap pada tahun 2020-2021.

Referendum Timor Leste

Dikutip dari Intisari-online.com Senin 20 September 2021, tanggal 30 Agustus 1999 digelar referendum di Timor Timur.

Referendum berlangsung 13 hari setelah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Akhirnya, provinsi ke-27 Indonesia itu lepas dari negara tercinta ini dan memperoleh status resminya sebagai negara pada 20 Mei 2002.

Sebanyak 94.388 orang atau 21,5 persen penduduk Timor Timur memilih tetap bergabung dengan Indonesia.

Sedangkan mayoritas 344.580 orang atau 78.5 persen warga Timor Timur memilih merdeka.

Kemudian mereka yang memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia berbondong-bondong mengungsi, menyeberang ke Nusa Tenggara Timur.

Menurut data Sekretariat Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Provinsi NTT tahun 2005, seperti melansir dari CNN Indonesia, tinggal di Kabupaten Belu.

Sebanyak 11.176 orang di Timor Tengah Utara, dan 11.360 orang di Kupang. Total pengungsi tercatat berjumlah 104.436 orang.

Dalam sebuah postingan di media sosial Instagram di akun papua_talk terlihat gambaran Desa Manusat, Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Rumah berdinding bambu atau kayu beratapkan daun lontar berlantaikan tanah, dengan tanah gersang di sekeliling rumah, serta bebatuan besar di sekitarnya.

Seorang wanita paruh baya membawa ember dan jeriken berisi air, rupanya berjalan cukup jauh untuk sekadar memiliki air bersih.

Tampak pula seorang wanita memintal benang di depan rumahnya yang gersang.

Fredu Simenes, warga asli Timor Timur yang saat ini mengungsi, berada di Reset Clemen, sementara sebagian saudara masih berada di Telowaki, Tuapukan, Neibona.

Dia mengatakan, bahwa dari tahun 1999 setelah diadakannya referendum, hingga saat ini, dia tetap menjadi pengungsi karena statusnya tidak jelas.

Dia tidak memiliki lahan untuk digarap dan tidak memiliki apa-apa untuk anak cucunya kelak keluar dari penderitaan yang dirasakannya selama ini.

Sebagai ketua RT, dia sudah meminta kepada pemerintah melalui lembaga terkait, untuk bagaimana caranya mengulurkan tangan agar mereka bisa keluar dari penderitaan ini.

“Kami sebenarnya salah pilih pada tahun 1999 itu,” kata Simenes.

Dia mengatakan kalau dia pro-kemerdekaan, itu karena merasa bahwa Timor Timur adalah tanah kelahirannya meskipun mereka harus menderita.

Pro-Integrasi Tapi Menderita

Tetapi bila pro-integrasi, kenapa sampai saat ini pemerintah Indonesia tidak serius memperhatikan kehidupan para pengungsi yang sudah memilih ikut Indonesia.

Bahkan sudah 13 tahun para pengungsi itu masih menderita.

Sejak tahun 1999 itu bantuan dari pemerintah sudah tutup, bahkan sejak 2002 pengungsi Timor Timur sudah diakhiri.

Menurut Simenes, seandainya pengungsi Timor Timur sudah diakhiri, seharusnya difasilitasi, baik air, ataupun jalan yang lebih baik.

Tetapi sampai saat ini mereka merasa tidak difasilitasi, sampai saat ini mereka tetaplah menjadi pengungsi.

Sedangkan Fransisco Raga, seorang anggota TNI AD, mengatakan, mengungsi dari Timor Timur sejak 14 Oktober 1999, karena perang politik.

“Kami cinta Merah Putih, cinta tanah air Indonesia,” kata Fransisco.

Menurutnya, dia memilih hidup mati di sini, di bumi Indonesia, tetapi sayangnya pemerintah tidak menghiraukan, tidak peduli lagi.

“Ketika butuh tenaga……. Tetapi ketika salah sedikit saja, kami tidak dihiraukan,” katanya lagi.

Dia menyatakan ingin pulang ke Timor Leste, tetapi tidak bisa karena di sana.

Dia dianggap telah membunuh banyak orang sehubungan dengan tugasnya sebagai TNI AD.

Fransisco merasa memiliki tanah kelahiran, yaitu Timor Leste, bahkan keluarga pun masih ada di tanah itu, tetapi dia ingin pulang ke tanah kelahirannya tidak bisa.

“Kesalahan kami adalah merampas hidup banyak orang,” katanya.

Mereka tak pernah tahu, kapan penderitaan yang selama ini mereka rasakan akan berakhir.

Adakah pemerintah Indonesia ‘menengok’ sedikit kepada mereka yang telah memilih tanah air ini? (ktw/Penulis : Suhaiela Bahfein)

Sebagian artikel ini telah tayang di Intisari-online.com dengan judul ‘Karena Salah Sedikit Saja, Kami Tidak Diperhatikan’, Kisah Penyesalan Warga Asli Timor Timur yang Salah Pilih Saat Referendum

Dan sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Eks-Pengungsi Timor Timur Dapat Bantuan Rumah di Daerah Perbatasan

Berita Terkini