TRIBUN-TIMUR.COM - Salah satu pahlawan muda yang begitu heroik memperjuangan kemerdekaan Indonesia adalah, Wolter Monginsidi.
Dia bukan warga Sulawesi Selatan, namun jiwa nasionalismenya begitu tinggi sehingga rela mati muda untuk mengusir penjajah dari bumi Sulawesi Selatan.
Wolter Robert Monginsidi lahir di desa pesisir Malalayang, tak jauh dari Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 14 Februari 1925 alias tepat di hari kasih sayang.
Meski lahir dari pasutri Petrus Monginsidi dan Kina Suawa yang berprofesi sebagai petani kelapa, Bote --sapaan Wolter-- kecil sudah diajarkan akan pentingnya pendidikan. Ia mengenyam bangku sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat SD) dan tamat Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setingkat SMP) Frater Don Bosco di Manado.
Tahun 1942 jadi masa cobaan setelah ibunda tercinta meninggal dunia. Namun Bote tak terlalu lama larut dalam kesedihan.
Bersamaan dengan pendudukan Jepang, ia mulai menimba ilmu di sekolah pertanian yang didirikan pemerintah Dai Nippon serta di saat bersamaan menekuni Bahasa Jepang di Sekolah Keguruan Bahasa Jepang.
Keduanya berada di Tomohon. Setelah lulus, ia menjadi guru Bahasa Jepang di beberapa wilayah termasuk kampung halamannya.
Namun, tekad melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi membuat Monginsidi merantau ke Makassar, tak lama pasca-Proklamasi Republik Indonesia dikumandangkan Soekarno. Di Kota Daeng lah semangat pejuangnya disemai.
Darah mudanya menggelegak begitu tahu Belanda, melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA), ingin kembali menancapkan kekuasaannya di Nusantara.
Sejumlah perlawanan sudah dilakukan setelah serdadu NICA mendarat di Makassar pada 23 September 1945. Namun perlawanan lebih bersifat sporadis.
Maka singkat cerita, dibentuklah Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) pada 17 Juli 1946 oleh figur-figur pejuang seperti Makkaraeng Daeng Manjurungi, Ranggong Daeng Romo, Baso Lanto, Daeng Sila Karaeng Loloa dan Ali Malaka.
Monginsidi pun masuk dalam petinggi LAPRIS dengan jabatan sebagai Sekretaris.
Saat menjadi pejuang inilah, Monginsidi mendapat julukan "Harimau dari Malalayang".
Keberaniannya ketika memimpin serangan ke pos-pos tentara Belanda di Makassar amat membekas di hati sesama rekan pejuang.
Contohnya pada Januari 1947, saat pasukan pimpinan Monginsidi membuat serdadu Belanda kerepotan selama seminggu penuh.
Status buronan kelas kakap pun melekat. Sempat tertangkap pada 28 Februari 1947, Monginsidi berhasil kabur dari tahanan pada 27 Oktober 1947.
Setelah berulang kali membuat Belanda kepayahan, Monginsidi kembali diringkus pada 26 Oktober 1948 setelah dikhianati rekan dekatnya.
Tiada lagi kisah pelarian lantaran selnya dijaga dengan ketat. Interogasi penuh penyiksaan demi mengorek keterangan perihal rekan sesama pejuang dilakukan, namun mulut Monginsidi tetap tertutup rapat.
Usai jalani proses pengadilan dan masa tahanan masuk bulan kelima, dia dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Kolonial pada 26 Maret 1949.
Pada saat bersamaan di Jakarta, pihak Indonesia enggan mundur dari upaya menangguhkan hukuman matinya dengan alasan Belanda harus memisahkan antara motif politik dan motif kriminal murni.
Adapun kubu lawan berdalih aksi Monginsidi dilandasi yang pertama, lantaran saat itu yang bersangkutan berstatus sebagai gerilyawan.
Selama berada dalam penahanan, Belanda siap memberi Monginsidi pengampunan. Akan tetapi dengan syarat ia mau bekerjasama.
Reaksinya? Tawaran tersebut ditolak mentah-mentah. Hari eksekusinya kian dekat, namun Den Haag masih saja keras kepala.
Kecaman pun sudah dilayangkan langsung kepada Ratu Juliana. Sedang Ketua Panitia Tawanan Politik RI saat itu, Mr. Tirtawinata, belum mau menyerah. Namun, segala usaha berakhir sia-sia.
Senin pagi 5 September 1949, Monginsidi digiring ke lapangan Tangsi KIS dengan raut wajah tenang sembari memeluk kitab suci yang menemani hari-hari terakhirnya.
Ia masih sempat menjabat tangan regu eksekutor dan meminta mereka menembak setelah mulutnya memekik sebuah kata.
Monginsidi kemudian mengambil jarak hanya beberapa meter. Lantaran menolak memakai kain penutup mata, tatapannya tertuju lekat ke moncong senapan yang mengacung. Aba-aba lalu diberikan.
Semua menunggu kata yang bertindak sebagai pembatasnya dengan maut. Suasana hening, dan kemudian teriakan Monginsidi memecah ketenangan pagi itu.
"MERDEKAA!!!" Tangan kanan Monginsidi memegang Alkitab, dan tangan kiri mengepal ke udara setinggi mungkin.
Sebelum teriakan paraunya lepas, letup senjata bersahutan. Peluru dilepas secara bersamaan. Terdengar suara daging terkoyak. Darah menghambur di udara. Sembilan peluru bersarang di tubuh pemuda yang masih berusia 24 tahun itu. Monginsidi jatuh rebah, menyatu dengan Tanah Air yang ia bela selama ini.
Saat membersihkan sel Monginsidi, sepucuk surat ditemukan terselip di antara celah dinding oleh petugas. Isinya seperti ini :
"Dengan bantuan Tuhan, aku akan menjalani hukuman mati ini. Aku tidak mempunyai rasa dendam pada siapapun, juga tidak pada mereka yang menjatuhkan hukuman ini. Tetapi aku yakin segala pengorbanan, air mata dan darah pemuda-pemuda kita, akan menjadi pondamen yang kuat untuk tanah air Indonesia, yang kita cintai ini."
Sebuah kalimat turut tertera tak jauh dari isi surat. Agaknya, Monginsidi baru menambahkan kata-kata di surat tersebut beberapa saat sebelum menemui ajal. Kalimat inilah yang masih menggaung hingga detik ini: "Setia hingga akhir di dalam keyakinan".
Eksekusi mati Monginsidi terjadi saat Indonesia dan Belanda tengah meredakan ketegangan lewat serangkaian pembicaraan damai yang bermuara pada Konferensi Meja Bundar. Pada 10 November 1950, jasad Monginsidi dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Panaikang, Makassar.
Kemudian pada 6 November 1973, Presiden Soeharto memberi gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
Kisah Perjuangan Wolter Monginsidi
Cukup banyak serangan yang dibuat LAPRIS yang berhasil karena informasi yang didapatkan dari Robert Wolter Monginsidi.
Pada suatu waktu di Kota Makassar, terdapat jip militer milik Belanda memasuki tangsi
Di depannya telah menunggu 4 orang, berpakaian tentara yaitu Robert Wolter Monginsidi bersama 3 pejuang lainnya yaitu Abdullah Hadade, HM Yoseph, dan Lewang Daeng Matari.
Jip dihentikan, Robert Wolter Monginsidi menodongkan pistol ke arah kepala satu-satunya orang yang ada di mobil itu, seorang kapten rupanya.
Seragam dan tanda pangkat sang kapten dilucuti, lalu dikenakan oleh Monginsidi serta mobil pun diambil-alih.
Robert Wolter Monginsidi dan kawan-kawannyaya mengendarainya ke arah tangsi.
Saat masuk, mereka tak dikenali, kemudian berhasil masuk ke tangsi serdadu Belanda.
Suasana mendadak riuh saat Robert Wolter Monginsidi memberondongkan senapannya ke area tangsi.
Para penghuninya pun panik, bubar, dan lari menyelamatkan diri .
Salah satu aksi heroik Monginsidi lainnya terjadi sepanjang pekan ketiga Januari 1947.
Pasukan Robert Wolter Monginsidi terlibat kontak senjata dengan pihak Belanda dan berhasil memukul mundur lawan.
Beberapa hari kemudian, terjadi saling tembak-menembak lagi.
Robert Wolter Monginsidi nyaris saja tertangkap, namun dapat meloloskan diri.
Serangkaian perlawanan itu membuat Belanda kini mengenali sosok Robert Wolter Monginsidi dan menggelar beberapa kali razia besar-besaran untuk menangkapnya.
Pada 27 Oktober 1947, kawan-kawan seperjuangan Monginsidi berhasil menyelundupkan 2 granat yang dimasukan ke dalam roti.
Granat pun diledakkan, seisi kompleks penjara kacau-balau. Melalui cerobong asap dapur, Monginsidi dan ketiga rekannya berhasil melarikan diri.
Setahun berselang, Monginsidi terkepung di sebuah gang tak jauh dari SMP Nasional, Makassar. Ia tidak mengira posisinya diketahui oleh Belanda.
Rupanya ada yang berkhianat!
Belakangan diketahui bahwa mereka yang menikam dari belakang itu justru tiga kawan Monginsidi yang sebelumnya sama-sama tertangkap.
Mereka menerima uang suap dari Belanda!
Monginsidi sebenarnya punya sebuah granat yang bisa saja ia lemparkan. Tapi, terlalu tinggi risikonya karena gang tempatnya terkepung itu juga menjadi area pemukiman warga.
Monginsidi pun akhirnya menyerah demi keselamatan rakyat. Tangan dan kaki Monginsidi dibelenggu dengan rantai, kemudian dikaitkan ke dinding tembok tahanan di Kiskampement Makassar.
Dalam masa itu, Belanda kerap membujuk Monginsidi agar mau bekerjasama, tapi ia selalu tegas menolak. Akhirnya, pada 26 Maret, ia divonis akan menjalani hukuman mati.(*)