TRIBUN-TIMUR.COM - Ada sejumlah pemain dan juga pelatih yang memiliki kontribusi optimal ketika memperkuat PSM Makassar.
Sejumlah nama tersebut mampu membawa PSM menjadi juara dari era Perserikatan hingga saat unifikasi yakni Liga Indonesia.
Dan karena kontribusi tersebut, suporter dan juga fans PSM Makassar tentunya tak akan pernah melupakannya.
Namun demikian, setelah memberikan prestasi tersebut, sejumlah pemain dan pelatih PSM tersebut meninggal dunia.
Pada artikel ini, tribun-timur.com mencoba merangkum beberapa pemain dan juga pelatih PSM yang telah meninggal dunia.
Dan mereka adalah sosok yang memberikan prestasi membanggakan untuk PSM Makassar.
Berikut ini nama-nama mantan pemain dan pelatih PSM yang sudah kembali ke haribaanNya dengan prestasi yang layak diacungi jempol.
1. Ali Khaddafi
Pada satu masa, PSM Makassar pernah dominan diperkuat pemain asing dari Afrika, yakni Musim 2007-2008.
Di musim itu, pemain-pemain dari Togo ini berkontribusi mengantar PSM Makassar posisi 5 klasemen Grup Timur.
dan lolos ke Liga Super Indonesia musim berikutnya.
Keempat pemain dari Togo saat itu adalah Ali Khaddafi, Nomo Teh Marco, Ouadja Lantame Sakibou, dan Saibou Badarou.
Dua nama pertama direkrut di awal musim, sementara dua lainnya didatangkan di pertengahan musim.
Ali dan Nomo kala itu didatangkan dengan berstatus mantan pemain Timnas Togo U-23. Status mereka sebagai pemain timnas cukup sebanding dengan performanya di PSM.
Dari empat pemain asal Togo itu, bisa dibilang Ali Khaddafi adalah yang tersukses, bukan hanya di PSM tapi juga di persepakbolaan Indonesia.
Seperti diketahui, selain PSM yang pertama kali mendatangkannya ke Indonesia, Ali juga sempat melalang buana ke sejumlah klub di Indonesia.
Saat di PSM, Ali dikenal sebagai gelandang yang memiliki skill mumpuni. Ketenangannya di lapangan, ditambah dengan umpan terukur menjadi ciri khasnya.
Perannya yang sangat vital di lini tengah Juku Eja juga membuat Ali tak tergantikan selama dua musim membela Pasukan Ramang.
Menurut catatatan, selama dua musim Ali bermain sebayak 58 kali bersama PSM.
Meskipun tak berhasil mencetak gol, namun perannya sangat vital dalam menyuplai bola ke bomber tajam milik PSM saat itu, Aldo Barreto.
Tak hanya piawai, Ali juga dikenal sebagai pemain yang sangat fair play dan tak mudah tersulut emosi kala berduel dengan lawannya.
Sebagai pemain box-to-box midfielder, Ali Khaddafi memang kerap terlibat kontak fisik dengan pemain-pemain lawan.
Namun Ali sama sekali tak pernah terpancing emosi.
Menurut data yang dikumpulkan soccerway, hanya sekali Ali Khaddafi mendapatkan kartu merah.
Pesepakbola berpostur 182 cm ini memulai karir juniornya pada tahun 1994 di klub OC Agaza.
Di klub itu juga Ali sempat setim dengan mantan bomber Arsenal, Emanuel Adebayor.
Tujuh tahun di klub junior, Ali kemudian promosi ke klub senior. Namun di klub pertamanya itu Ali tak bertahan lama.
Ia pindah ke sejumlah klub di Togo. Hingga akhornya pada tahun 2007 PSM menemukan Ali.
Setelah kontraknya tak diperpanjang manajemen PSM, Ali kemudian hengkang ke PKT Bontang.
Di klub Kalimantan ini, Ali kembali mampu menjadi pilar penting. Ia bermain dalam 55 pertandingan dengan sumbangsih lima gol.
Setelah Bontang, Ia berturut-turut pindah ke PSPS Pekanbaru, Sriwijaya FC, Persepam Madura United, dan terakhir Perseru Serui di tahun 2014.
Pada 2012, Ali juga tercatat berhasil mengantarkan Sriwijaya FC menjuarai Inter Island Cup.
Sementara sat masih bermain di negaranya, pengguna nomor punggung 5 di PSM ini pernah menjuarai Togolese Championnat National de Premiere Division (setara Liga 1) musim 2004-2005, juga
Coupe du Togo (setara Piala Indonesia) 2004 bersama klub kota kelahirannya, AS Douanes.
Meninggal karena Sakit
Setahun setelah meninggalkan Indonesia, tahun 2014, kabar duka menghampiri persepakbolaan Indonesia, terkhusus klub yang pernah dibela Ali Khadaffi.
Ali Khaddafi dikabarkan meninggal dunia, Senin (19/10/2015) di kampung halamannya di Togo. Ali dikabarkan meninggal karena sakit.
Kabar meninggalnya Ali Khaddafi membuat kaget para rekannya sesama pemain sepakbola.
Para eks pemain PSM pun mengucapkan bela sungkawa. Mereka menuliskan di status Blackberry Massengernya kala itu
"Selamat Jalan Kawan, RIP Ali Khaddafi," Jelas Eks pemain PSM Iqbal Samad, Senin (17/10/2015). Iqbal pernah bermain bersama Ali Khadddafi di PSM (2007) dan Bontang FC.
Eks pemain PSM Febrianto Wijaya juga menyampaikan bela Sungkawa. "RIP my Brother Ali Khaddafi, semoga tenang di peristirahatan terakhirmu, Big man," jelasnya.
Mantan kapten PSM Syamsul Chaeruddin juga mengaku turut kehilangan sosok pemain yang meninggal di usia 31 tahun tersebut.
Dirinya mengaku cukup akrab dengan pemain yang berposisi sebagai gelandang itu karena pernah sama-sama memperkuat PSM pada beberapa musim sebelumnya."
"Kami di PSM turut berdukacita atas meninggalnya Ali Khaddafi. Kami doakan semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya," kata Syamsul. (Fahrizal Syam)
2. Henk Wullems
Sebelum menjalani karier kepelatihan di Indonesia, Henk Wullems tercatat pernah menangani sejumlah klub Belanda seperti NAC Breda, Vitesse, dan AZ Alkmaar.
Selanjutnya, dia hijrah ke Indonesia dan malang melintang di Nusantara selama kurun waktu 1995 hingga 2008.
Henk Wullems pernah melatih Bandung Raya (1995-1996), timnas Indonesia (1996-1997), PSM Makassar (1997-2000), Persikota Tangerang (2001-2002), dan Bali Persegi FC (2007-2008).
Sosok kelahiran 21 Januari 1936 itu pun dikenal sebagai salah satu pelatih berjasa bagi tim-tim asuhannya.
Ia menjadi pelatih asing pertama era Liga Indonesia yang sanggup meraih gelar juara.
Henk Wullems sukses membawa Bandung Raya menjuarai Liga Indonesia II musim 1995-1996.
Saat itu, Bandung Raya diperkuat kiper Hermansyah, kemudian Nuralim, Herry Kiswanto, Ajat Sudrajat, hingga duet lini depan Dejan Gluscevic dan Peri Sandria.
Taktik, strategi, serta kemampuannya dalam memotivasi pemain membuat Bandung Raya menjadi tim yang disegani.
Sukses bersama Bandung Raya membuat Henk Wullems ditunjuk untuk menangani timnas Indonesia. Ia mampu mengantarkan timnas Indonesia meraih medali perak SEA Games 1997 yang diselenggarakan di Jakarta.
Indonesia meraih perak setelah kalah adu penalti 2-4 dari Thailand pada babak final.
Saat waktu normal, kedua negara bermain imbang 1-1.
Padahal, dari babak awal hingga final SEA Games 1997, Indonesia bermain meyakinkan dengan mencatatkan 15 gol dalam 5 pertandingan, dan hanya kebobolan 5 gol.
Setahun menangani timnas, Henk Wullems kembali berkarier di level klub. Kali ini, ia memoles PSM Makassar.
Bersama skuat Juku Eja, Henk Wullems dan pelatih Syamsuddin Umar berhasil membawa PSM juara Liga Indonesia VI 1999-2000.
Pencapaian itu membuat Henk Wullems menjadi salah satu sosok pelatih legendaris bagi klub kebanggaan warga Makassar.
Pada 2001, Henk Wullems bergabung ke Persikota Tangerang.
Ia tak bertahan lama di sana dan kemudian menangani Bali Persegi FC.
Dan pada tahun 2020 lalu, kabar duka datang dari dunia sepak bola Tanah Air.
Pelatih asal Belanda yang pernah menangani tim nasional Indonesia, Henk Wullems, meninggal dunia pada Sabtu (15/8/2020) lalu.
Ia wafat dalam usia 84 tahun.
Henk Wullems wafat setelah menjalani perawatan di rumah sakit akibat penyakit stroke otak.
Tidak ada penjelasan resmi mengenai sejak kapan Wullems mulai menderita stroke tersebut. (*)
3. Miroslav Janu
DIlansir dari bola.com, PSM Makassar pernah memakai jasa Miroslav Janu untuk menangani tim di era Liga Indonesia.
Meski gagal mempersembahkan trofi juara, sentuhan pelatih berpaspor Republik Ceko tetap dikenang suporter Juku Eja.
Raihan dua kali runner-up secara beruntun serta aksi trengginas PSM di setiap laga dengan pola 4-4-2 jadi nilai plus buat Janu.
Janu pertama kali menginjakkan ke Indonesia pada pertengahan 1992.
Ia didatangkan oleh Erwin Aksa yang baru saja mengambil kendali kepengeloaan PSM dari Reza Ali.
Namun, Janu tak langsung menangani PSM. Erwin kala itu tak kuasa menolak permintaan khusus Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo yang berambisi membawa Persigo promosi ke Divisi I.
Kebetulan Liga Indonesia 2003 juga belum dimulai. Maka, Janu pun dipinjamkan ke Persigo yang akhirnya sukses ke Divisi 1 bersama Persiwa Wamena.
Janu kembali ke PSM jelang Liga Indonesia 2003 yang untuk kali pertama memakai sistem kompetisi penuh.
Di PSM, Janu didampingi Tony Ho, Assegaf Razak (asisten pelatih), Benny Huwae (pelatih fisik) dan Herman Kadiaman (pelatih kiper).
Perekrutan pemain pun disesuaikan dengan pola 4-4-2 ala Janu. Saat itu, pola 4-4-2 masih asing di kompetisi Indonesia. Dimana mayoritas klub memakai pola 3-5-2 dengan satu bek sebagai libero.
Disiplin dan tegas kala melatih adalah ciri yang melekat pada Janu. Mantan bek tim nasional Republik Ceko ini tak jarang memanggil khusus pemain yang dinilai tak menjalankan intruksinya.
"Tapi, diluar lapangan, coach Janu adalah pribadi yang baik. Tak ada sekat diantara kami. Ia juga sangat perhatian ke tim," kata Herman Kadiaman kepada Bola.com, Jumat (8/5/2020).
Bersama PSM, Janu langsung mencuri perhatian. Pada musim pertama, Juku Eja berada di peringkat dua Liga Indonesia 2003 dibawah sang juara Persik Kediri.
Pada musim itu, striker PSM, Oscar Aravena menjadi topskor kompetisi dengan 31 gol.
Musim berikutnya, penampilan PSM kian mengilap meski pada putaran kedua tak lagi diperkuat Cristian Gonzales yang kena sanksi akibat melakukan pemukulan terhadap offisial Persita Tangerang.
Di putaran kedua Liga Indonesia 2004, manajemen PSM mendatangkan tiga pemain asal Kamerun, Christian, Abanda Herman dan Marc Orland Etogou.
Berkat sistem yang sudah tertata sejak musim sebelumnya, penampilan PSM tetap jadi momok buat lawan. Namun, Juku Eja kembali gagal meraih trofi juara setelah di pengujung kompetisi kalah selisih gol dengan Persebaya Surabaya yang sama-sama mengoleksi poin 61.
Meski gagal, pola 4-4-2 ala Janu di PSM mendapat apresiasi manajemen tim nasional Indonesia di mana enam pemain PSM, Irsyad Aras, Jack Komboy, Ortizan Solossa, Syamsul Chaeruddin, Ponaryo Astaman dan Charis Yulianto masuk skuat merah putih menghadapi Piala Tiger (AFF) 2004.
Pesan Sebelum Meninggal
Sebelum meninggal, Miroslav Janu ternyata meninggalkan pesan terakhir.
Pelatih asal Republik Ceko ini ternyata berpesan kepada salah satu orang dekatnya, Asisten Pelatih Tony Ho.
Tony yang ditemui di RS Islam Jemursari Surabaya mengaku, Janu mengungkapkan pesan kepada dirinya.
"Saya Tidak mau meninggal di Indonesia." Pesan tersebut keluar dari mulut Janu saat di UGD RS Islam, Kamis (24/1/2013).
"Saya ikut di Ruang UGD saat pemeriksaan Coach Janu. Jadi saya tahu persis yang diungkapkan," aku Janu.
Tony menjelaskan, dirinya baru menyusul ketika Janu di bawa ke RS Islam Jemursari. Janu sendiri diantar ke RS Islam dengan diantar petugas Apartemen Arya Duta Citra Surabaya.
"Kebetulan saya tinggalnya tidak bareng dengan Coach Janu. Jadi saya tidak bisa mengantar saat di bawa ke rumah sakit," aku Tony.
Janu meninggal Kamis (24/1/2013) pukul 12.21 Wib. Pelatih berusaia 53 tahun ini meninggal karena serangan sakit jantung. (*)
4. Ali Baba
Ali Baba adalah mantan pemain PSM Makassar era 90-an.
Dia berposisi sebagai pemain belakang yang tangguh dan disegani striker lawan pada masanya.
Pada Selasa siang (9/7/2019), ia dipanggil yang maha kuasa akibat beberapa penyakit yang dideritanya.
Ia meninggal di kediamannya, di Perumahan Permata Mutiara Jl Dg Tata, Kota Makassar.
Ali meninggalkan istri dan tiga orang anak.
Diketahui, Ali mulai bergabung dengan PSM pada 1992 silam.
Ia sebelumnya memperkuat beberapa tim seperti Makassar Utama sebelum hijrah ke PSM Makassar.
Di PSM, ia bermain bersama Ansar Abdullah, Ramang Usman.
Bahkan, memasuki Ligina musim 1997-1998, ia masih berseragam Laskar Pinisi.
Pada era itu, beberapa pemain top memperkuat PSM bersama Ali.
Salah satunya Luciano Leandro, Izak Fatari, Roni Ririn, hingga almarhum Ansar Razak.
Setelah gantung sepatu, Ali kemudian menjadi dosen dibeberapa perguruan tinggi di Makassar.
Diketahui, selama masih berseragam tim kebanggaan masyarakat Makassar khususnya Sulsel, Ali juga terdaftar sebagai mahasiswa PTS di Makassar.
Tepatnya, pada 1995, ia terdaftar sebagai mahasiswa S1 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YPUP Makassar.
Pada 2015 silam, Ali mengambil S2 di Universitas Hasanuddin (Unhas) dan sukses meraih gelarnya.
Memasuki tahun 2013, Ali kemudian mengambil S3 di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
Sejak 2005, Ali menjadi dosen aktif di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YPUP Makassar.
Di YPUP, ia mengajar beberapa mata kuliah seperti Etika Bisnis, Manajemen Pemasaran II, Perilaku Keorganisasian, Komunikasi Bisnis, hingga Sistem Informasi Manajemen.
Setelah di YPUP, Ali juga mengajar dibeberapa kampus di Makassar.
Salah satunya adalah STIEM Bongaya, sebagai dosen DPK mulai 2018 lalu. (*)
5. Izaac Fatari
Jauh sebelum Titus Bonai, PSM Makassar pernah diperkuat pesekbola asal tanah Papua yang diidolakan suporter Pasukan Ramang.
Dia adalah Izaac Fatari, striker kelahiran Sorong Papua Barat, 18 Februari 1973.
Izaac Fatari pernah dielu-elukan suporter Juku Eja berkat prestasinya sebagai individu maupun sebagai tim.
Izaac Fatari bergabung ke PSM pada musim 1996/1997.
Dia direkrut dari Persma Manado. Di klub lamanya Izaac Fatri sudah jadi idola suporter.
Ketajaman Izaac Fatari di lini depan tak bisa diragukan lagi.
Gol demi gol dia ciptakan untuk klub yang dibelanya.
Di PSM Makassar kala itu, Izaac menggantikan posisi Jacksen F Tiago yang hengkang ke Persebaya Surabaya.
Di musim pertamanya Izaac langsung tancap gas dengan menjadi top skor di wilayah timur dengan 14 gol.
Dia bahkan mampu mengantar PSM ke babak semifinal.
Di musim berikutnya, Izaac kembali menjadi pencetak gol terbanyak wilayah timur dengan 9 gol.
Namun sayang, selama dua musim membela PSM dia gagal mempersembahkan gelar juara Liga Indonesia.
Meski gagal di level domestik, Izaac Fatari berhasil membuat PSM bersinar di luar negeri.
Dalam sebuat turnamen di Bangladesh, PSM berhasil juara dan Izaac Fatari lagi-lagi menjadi top skor di turnamen itu.
"Kita berdua pernah menjadi top skor di turnamen di Bangladesh. Saya lupa berapa gol, waktu itu kita top skor bersama dan saya menjadi pemain terbaik," kenang rekan setim Izaac di PSM, Luciano Leandro.
Akibat badai krisis moneter 1998-1999, Izaac Fatari tidak memperpanjang kontraknya di PSM.
Dia memilih pulang ke kampung halamannya dan membela klub asal tanah kelahirannya, Persiss Sorong tahun 1999.
Kecelakaan Berujung Maut
Setelah tak lagi merumput di lapangan hijau, Izaac Fatari mencoba peruntungan dengan mencoba menjadi pelatih.
Pada 2004 dia pun bermaksud mengikuti kursus lisensi kepelatihan di Jakarta.
Dari kampung halamannya dia harus menemouh erjalanan laut menuju bandara Jefman, Sorong.
Namun naas, sebuah musibah kebakaran menimpa speed boat yang ditumpanginya.
Musibah itu terjadi sesaat setelah Izaac berbicara dengan sang istri melalui telepon selulernya.
Izac bersama penumpang lainnya tak bisa menyelamatkan diri.
Setelah beberapa hari pencarian, jasad Izaac akhirnya ditemukan mengapung oleh tim SAR.
Izaac Fatari pergi meninggalkan seorang istri dan seorang anak.
"Saya sangat sedih waktu mendengar kabar itu. Dia orang yang sangat dekat dengan saya dan keluarga," kata Luciano Leandro.
Meski telah pergi, Izaac Fatari masih dikenang sebagai legenda PSM, Persipura dan Persma Manado.
Braif Fatari Titisan Izaac Fatari
Sekira 15 tahun setelah kepergiannya , kini muncul pesepakbola muda dari keluarga Izaac Fatari.
Braif Fatari adalah sepupu Izaac Fatari yang kini membela Persija Jakarta.
Braif lahir pada 2002 atau 2 tahun sebelum Izaac Fatari meninggal.
Beda dengan Izaac yang berposisi sebagai penyerang murni, Braif sendiri berposisi sebagai gelandang serang.
Pada 2019, Braif Fatari ikut program Garuda Select untuk berlatih di Inggris.
Bakatnya semakin berkembang dengan Garuda Select dan akhirnya, Braif Fatari pun dilirik oleh banyak klub.
Braif Fatari kemudian direkrut oleh Persija Jakarta pada Mei 2019 lalu.
Braif Fatari oleh Persija bersama kakaknya, Brian Fatari yang sebelumnya memperkuat Persipura Jayapura. (*)
6. Ansar Razak
PSM Makassar tercatat sebagai salah satu tim penyumbang gelandang terbaik.
Tercatat, dalam kurun waktu tiga dekade terakhir sejumlah nama mampu menembus Timnas Indonesia.
Di era tahun 2000 misalnya, nama Syamsul Chaeruddin menjadi salah satu gelandang asal Sulsel yang tembus di skuad merah putih.
Gelandang asal Kabupaten Gowa itu dikenal sebagai pemain enerjik dengan daya jelajah tinggi.
Ia turut membawa Laskar Pinisi di final Liga Indonesia tahun 2001.
Syamsul lantas masuk ke Timnas U-20 untuk tampil di turnamen Piala Sultan Hassanal Bolkiah di Brunei Darussalam.
Kariernya di Timnas Indonesia terus berlanjut sampai 2009. Dg Sila sapaan akrabnya bahkan turut serta tampil di Piala Asia 2004 dan 2007.
Sebelum Syamsul, ada pula nama (alm) Ansar Razak yang merupakan gelandang PSM kelahiran Makassar, 19 Januari 1974.
Sejarah mencatatkan bahwa musim terbaiknya terjadi pada 1994-1998 silam bersama tim asal Makassar itu.
Namun sebelum itu, dia telah muncul di awal tahun 1991. Akan tetapi, PSSI menjatuhkan sanksi kepadanya.
Hal itu lantaran dituding jadi pemicu perkelahian kala PSM berhadapan Persib Bandung di final Piala Perserikatan 1991/1992.
Namanya muncul kembali saat mampu membawa PSM menembus partai puncak pada Liga Indonesia 1995-1996.
Kala itu, PSM berhadapan Mastrans Bandung Raya di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) tetapi PSM takluk dengan skor 0-2.
Meski begitu, Ansar tercatat sebagai salah satu pemain yang menonjol di partai tersebut.
Alhasil, dia berhasil tembus skuad merah putih yang tampil di Piala Asia 1996 di Uni Emirat Arab.
Saat itu, Bima Sakti menjadi salah satu saksi bagaimana Ansar Razak bermain di lapangan hijau di level timnas.
Ia menegaskan bahwa Ansar bermain tanpa kompromi dalam setiap pertandingan.
"Sewaktu saya masih bermain di Pelita Jaya, jika berhadapan dengan PSM, kami pasti was-was kalau bertemu Ansar," ujar Bima Sakti dilansir dari laman The Maczman, Sabtu (25/4).
Senada diungkapkan Yeyen Tumena yang menyebut Ansar Razak dikenal sebagai gelandang bertahan yang getol bertarung. Indonesia ikut putaran final Piala Asia 1996 untuk pertama kalinya.
Timnas Indonesia ketika itu satu grup dengan Korea Selatan, Uni Emirate Arab (tuan rumah) dan Kuwait.
Ansar Razak dkk hanya mampu meraih satu poin saat menahan Kuwait dengan skor 2-2.
Gol saat itu dicetak Widodo C Putro (20') dan Rony Wabia (40' di Stadion Syekh Zayed, Abu Dhabi.
Laga berikutnya Indonesia kalah 4-2 dari Korsel. Lalu kalah 2-0 dari UEA.
"Ia berkarakter. Tak pernah mendukung situasi lawan apa pun, licik dan pintar.
"Ini membuat kami berdua dipanggil Timnas Piala Asia 1996 di Abu Dhabi," tegas Yeyen Tumena yang merupakan rekan setim Ansar di PSM di era 1995.
Luciano Leandro yang juga pernah bermain bersama Ansar Razak mengagumi mental dan jiwa kepemimpinan yang dimiliki Ansar Razak.
"Dia seorang yang saya hormati. Sebagai pemain dia punya mental yang kuat dan selalu memberi semangat untuk kita semua di lapangan.
"Dia kalau masuk lapangan selalu memberikan nyawa untuk PSM menang", ujar Luciano Leandro
Namun karier Ansar harus terhenti di usia yang masih sangat muda, 24 tahun.
Ansar mengalami kecelakaan lalulintas di sekitar Panaikang Jl Urip Sumoharjo Kota Makassar yang merenggut nyawanya pada 30 Desember 1998.
Reinkarnasi Masa Kini
Sejumlah pemain asal Makassar disebut-sebut menjadi rienkarnasi atau jelmaan dari sosok Ansar Razak.
Nama-nama seperti Syamsul Chaeruddin, Rasyid Bakri, Muh Arfan bahkan Asnawi Mangkualam Bahar.
Sosok Asnawi menjadi pemain paling terakhir sebagai rienkarnasi Ansar Razak di PSM sejak tahun 2017 sampai saat ini.
Apalagi, memasuki musim 2018, Asnwai resmi mengganti nomor punggung 14 yang ditinggalkan Ansar Razak.
Saat itu, Asnawi mengaku ingin mengembalikan kejayaan nomor punggung 14 di PSM. Sosok Ansar Razak tak lain merupakan paman dari Asnawi.
"Peran keluarga jadi alasan saya ganti nomor punggung. Utamanya Bapak saya (Bahar Muharram).
"Tetapi jujur, perubahan nomor punggung ini juga murni keinginan saya," tegas Asnawi.(cr3)