Kisah Kakek Nuru, Korban Penggusuran yang Hidup di Kolong Jembatan CPI Makassar

Penulis: Muslimin Emba
Editor: Imam Wahyudi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Safruddin Daeng Gassing (52) dan Kakek Nuru (68) penghuni kolong jembatan Centre Point of Indonesia, ditemui Minggu (6/12/2020) siang.

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Masih ada warga Kota Makassar yang hidup di bawah kolong jembatan.

Ialah Safruddin Daeng Gassing (52) dan kakek Nuru (68), dua dari 1,5 juta jiwa lebih penduduk ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan.

Sudah lima tahun keduanya menjalani hidup di bawah kolong jembatan Centre Point of Indonesia (CPI).

Jembatan yang menghubungkan Jl Metro Tanjung Bunga dengan Wisma Negara dan Masjid 99 Kuba.

Ditemui, Minggu (6/12/2020) siang, kehidupan keduanya tampak jauh dari kata layak.

Bangunan beton jembatan menjadi atap berlindung dari terik matahari dan hujan. 

Pondasi di sela tiang penyangga, menjadi lantai tempat keduanya menyantap makan dan tidur.

Tidak ada dinding tempat berlindung dari dinginnya hempasan angin laut Makassar.

Begitu juga kompor. Keduanya memasak menggunakan kayu bakar.

Alas tidurnya, kasur lapuk.

Untuk beras, mengandalkan hasil melaut yang kian sulit seiring reklamasi CPI.

"Dulu tiga jam jiki cari ikan bisami dapat Rp 300 ribu, sekarang satu harianki, Rp 100 ribu saja susah, karena banyak lumpur," kata Daeng Gassing.

Beruntung sehari lalu, ada kelompok mahasiwa yang datang membawa sembako berupa beras sekarung, mie intsan dan telur serak.

"Dari pak wakil gubernur katanya itu mahasiswa kemarin datang bawa ke sini," ucap kakek Nuru saat ditanya persediaan makanan yang ia susun di samling tempat tidurnya.

Di tengah pesatnya pembangunan Kota Makassar, khususnya CPI yang tidak lama juga akan dibanguni Twin Tower 36 lantai dengan total anggaran Rp 1,9 triliun, Daeng Gassing dan kakek Nuru hidup seolah terasingkan.

Keduanya memilih bertahan hidup sejak 2015 silam di bawah kolong jembatan sebagai bentuk perjuangan.

Perjuangan atas hak rumah tinggal yang kini lenyap oleh penggusuran proyek reklamasi.

"Kita ini bukan pemulung atau tukang minta-minta, kita ini nelayan pesisir yang digusur dan masih bertahan di sini menunggu ganti rugi," tegas Daeng Gassing.

Rumah keduanya tergusur 2014 lalu yang kini dibanguni kawasan kuliner Lego-lego CPI Makassar.

Padahal, kakek Nuru dan Daeng Gassing telah 25 tahun menetap di pesisir anjungan Pantai Losari itu.

Proses penggusuran tapa ganti rugi itu, masih teringat jelas di ingatan Daeng Gassing.

Ia mengaku tidak dapat berbuat banyak saat rumahnya dan rumah 30-an kepala keluarga lainnya digusur.

"Andaikan preman yang datang menggusur, yakin miki pasti saya berkelahi. Ini yang datang Brimob sama Satpol PP atas nama pemerintah, tidak bisaki apa-apa," ucap Dg Gassing, lirih.

Ayah 12 anak itu mengaku sangat menyayangkan sikap pemerintah yang seolah abai dengan nasibnya bersama Kakek Nuru.

Pasalnya, memasuki tahun ke enam pasca penggusuran itu, ia belum juga mendapatkan kejelasan ganti rugi ataupun lahan baru untuknya membangun rumah kembali.

"Tidak ada pembicaraan bilang diiming-imingiki ganti rugi atau dipindahkanki, langsungji datang menggusur," ujarnya.

Kondisi itu membuat Daeng Gassing mengungsikan istri dan 12 anaknya di Jl Nuri Baru, Kecamatan Tamalate, Makassar.

Di sana, 13 anggota keluarganya hidup dengan mengontrak.

Daeng Gassing mengandalkan hasil melautnya untuk membayar kontrakan keluarganya itu.

Begitu juga dengan kebutuhan sehari-hari keluarganya, Daeng Gassing mengaku dibantu anak dan istrinya yang kerja serabutan.

"Tidak tentu saya ke sana (kontrakan istri dan anak) kalau banyak-banyak saya dapat ikan, saya ke sana bawakan uang makan," kata Daeng Gassing.

"Kemarin empat anak saya datang ke sini bawa makan karena natau kurang ikan karena hujan deras," sambungnya.

Saat rumahnya tergusur, Daeng Gassing memilih bertahan seorang diri tanpa anak dan istri.

Prinsipnya sama dengan kakek Nuru. Bertahan hingga ada ganti rugi dan tempat yang layak.

Alasan lain yang membuatnya betah bertahun-tahun di bawah kolong jembatan ialah akses ke lokasi mata pencaharian mereka sebagai nelayan.

"Andaikan ada lahan tempat tinggal layak dan modal usaha, pasti saya mau pindah dari sini. Mau bagaimana kalau tidak ada lahan baru untuk rumah baru kita hidupnya cari ikanji juga," terang Daeng Gassing.

Sebelum menempati kolong jembatan itu, berbulan-bulan keduanya hidup terlunta-lunta tanpa tempat yang jelas.

Meski kolong jembatan juga bukan tempat yang jelas bagi keduanya.

"Jadi dulu itu pas setelah digusur, saya bangun tenda di bawa pohon yang sudah tumbang, dipindahkan itu pohon, saya pindah lagi ke pohon berikutnya," tutur Daeng Gassing.

Di kolong jembatan itu, lanjut Daeng Gassing, ia seolah bersahabat dengan tikus, kecoak dan nyamuk.

"Kalau dibilang tikus, kecoak tiap malam sama-samaka. Janganmi dibilang lagi kalau nyamuk, pokoknya dia yang tidak menggigit," bebernya.

Hal senada diungkap kakek Nuru, dirinya yang sudah mulai memasuki usia lanjut mengaku kerap mengalami kedinginan di malam hari.

"Kalau saya nak, yang dinginji kurasa kalau malam. Kalau nyamuk, biasami," ungkap kakek Nuru.

Daeng Gassing dan kakek Nuru pun berharap ada belas kasih pemerintah atas kondisinya itu.

"Saya yang kuminta, ada tempat baru yang layak, karena sampah saja ada tempatnya kasihan, apalagi kita ini manusia jiki juga. Ada juga modal usaha kalau bisa, karena susah sekalimi dapat ikan di sini," harapnya.

Berita Terkini