Demo Tolak Omnibus Law di Makassar

2 Anggota DPRD Sulsel Temui Massa Aksi Tolak UU Cipta Kerja

Penulis: Rudi Salam
Editor: Suryana Anas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dua anggota DPRD Sulsel dari Fraksi Demokrat, Andi Januar Jaury Dharwis dan Risma Kadir Nyampa temui massa aksi tolak UU Cipta Kerja di depan kantor DPRD Sulsel, Jl Urip Sumoharjo, Kota Makassar, Kamis (8102020) siang.

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dua anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) menemui massa aksi demo tolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kantor DPRD Sulsel, Jl Urip Sumoharjo, Kamis (8/9/2020).

Dua anggota DPRD Sulsel tersebut berasal dari Fraksi Demokrat. Keduanya adalah Andi Januar Jaury Dharwis dan Risma Kadir Nyampa.

Andi Januar Jaury mengatakan bahwa secar kepartaian, pihaknya sejak April sudah menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Menurutnya, UU tersebut akan merugikan masyarakat secara luas.

"Praksi kami sangat memahami bahwa UU ini nantinya akan merugikan masyarakat secara luas , khususnya tenaga kerja dan buruh," katanya.

Dirinya mengatakan bahwa Partai Demokrat akan menyusun langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menggagalkan UU tersebut.

"Tetapi harus dipahami bahwa DPR juga adalah penegak konstitusi negara. Sehingga kami harus melakukan ini kepada otoritas tertinggi Partai Demokrat dalam rangka menyusun langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk menggagalkan UU tersebut," jalasnya.

Dirinya yakin masih ada ruang untuk sama-sama membatalkan UU Cipta Kerja tersebut.

"Kami sangat yakin, negara kita negara hukum, negara konstitusi. Masih ada ruang untuk kita berjuang sama-sama dalam rangka membatalkan UU ini," tuturnya.

Sementara itu, Risma Kadir Nyampa mengatakan bahwa dirinya bersama  Januar diutus untuk menerima aspirasi peserta aksi.

"Tadi telah disampaikan, bahwa kami diberikan tugas untuk menerima aspirasi dari teman-teman sekalian hari ini," katanya.

Menurut Risma, apa yang dilakukan massa aksi menorehkan sejarah untuk kepentingan rakyat.

"Hari ini alhamdulillah saudara-saudara tampil menorehkan sejarah bahwa hari ini turun ke jalan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.

Delapan poin yang mendapat sorotan dalam UU Cipta Kerja, yakni dikutip dari Kompas.com:

1. Masifnya kerja kontrak

Dalam Pasal 59 ayat 1 huruf b disebutkan bahwa pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Pergantian batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi "tidak terlalu lama" bisa menyebabkan pengusaha leluasa menafsirkan frasa tersebut.

Berdasarkan Pasal 59 ayat 4, pengaturan mengenai perpanjangan PKWT dialihkan untuk diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Sementara, pelanggaran penerapan kerja kontrak selama ini cenderung tidak pernah diusut secara serius oleh pemerintah.

Dengan demikian, PP yang akan dibentuk ke depan sangat berpotensi memperburuk jaminan kepastian kerja.

2. Outsourcing pada seluruh jenis pekerjaan

Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktik outsourcing hanya dibatasi pada jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi.

Batasan ini kemudian dihapuskan oleh UU Cipta Kerja. Padahal, praktik kerja outsourcing selama ini hanya menguntungkan perusahaan dan berimbas pada pengurangan hak-hak buruh.

3. Jam lembur yang semakin eksploitatif

Pada pasal 78, batasan maksimal jam lembur dari awalnya maksimal tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.

Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding mengingat upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

4. Menghapus hak istirahat dan cuti

Berdasarkan pasal 79, hak istirahat selama dua hari kepada pekerja yang bekerja dalam lima hari seminggu dihapus.

Hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal enam tahun juga dihapus oleh UU Cipta Kerja.

5. Gubernur tak wajib menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota

Berdasarkan pasal 88C UU, disebutkan gubernur “dapat” menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota.

Artinya, tidak ada kewajiban hukum bagi Gubernur untuk menetapkan UMK.

Dengan demikian, kepastian adanya jaminan upah minimum yang selama ini dinarasikan sebagai “jaring pengaman sosial”, terancam.

Ketentuan pengupahan yang termuat dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan juga diadopsi oleh UU Cipta Kerja yang mengakibatkan semakin kokohnya cengkraman mekanisme pasar dalam penentuan upah.

6. Peran Negara dalam mengawasi praktik PHK sepihak diminimalisasi

Sebelumnya, di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat kewajiban pengusaha untuk meminta penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial saat melakukan PHK kepada buruh.

Hal ini, kendati sering dilanggar, penting guna memastikan terpenuhinya hak-hak buruh saat terjadi PHK.

Namun, UU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan ini.

7. Berkurangnya hak pesangon

Berkurangnya hak itu karena penggabungan atau pengambilalihan perusahaan; perusahaan tutup; sakit berkepanjangan; dan meninggal dunia.

Sebelumnya berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, dinyatakan berhak atas pesangon sebanyak dua kali lipat dari perhitungan berdasarkan masa kerja, kini dihapus UU Cipta Kerja.

8. Perusahaan makin mudah PHK sepihak

Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, diatur bahwa PHK kepada pekerja yang mangkir atau melanggar peraturan perusahaan, diatur syarat yang cukup ketat.

Namun, ketentuan ini dihapus oleh UU Cipta Kerja. Hal ini akan mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK dengan alasan yang tidak objektif.

Hal ini juga membuat pengurus dan anggota serikat buruh sangat potensial untuk mengalami PHK sepihak oleh perusahaan.

Berdasarkan temuan tersebut, FBLP mendesak agar UU Cipta Kerja dibatalkan.

Laporan Wartawan Tribun Timur, Rudi Salam

Berita Terkini