TRIBUN -TIMUR.COM, MAKASSAR - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar mengecam penangkapan tiga nelayan Kodingareng Makassar, Minggu (23/08/2020).
Polisi dari Polairud Polda Sulawesi Selatan dan kapal patroli dari Mabes Polri disebut menangkap tiga nelayan saat sedang mencari ikan di wilayah tangkapnya.
"Ini kriminalisasi terhadap nelayan. Penangkapan nelayan sangat berlebihan saat melakukan aktivitas mencari ikan di wilayah tangkap nelayan. Polisi harus hentikan penangkapan nelayan,” kata pengacara rakyat dari LBH Makassar, Edy Kurniawan Wahid dalam rilisnya.
Bagi Edy, nelayan punya hak untuk mencari penghidupan dan melakukan aktivitas di wilayah tangkapnya. Jika ada protes terhadap kebijakan negara dengan adanya tambang pasir yang merusak lingkungan dan wilayah tangkap nelayan, itu wajar dan dilindungi Undang-Undang.
“Memperhadapkan nelayan dengan aparat, sama halnya negara membunuh rakyatnya. Negara harus hadir untuk rakyatnya, bukan malah sebaliknya. Dikriminalisasi,” tegasnya.
Warga Kodingareng, Maidah yang merupakan ibunda Faisal yang menjadi korban penangkapan polisi menceritakan awalnya anaknya bersama nelayan kodingareng lainnya berangkat melaut untuk mencari ikan sekitar pukul jam 3 pagi.
Namun, sekitar pukul 10.00 WITA, kapal penambang pasir laut milik PT Boskalis kembali melakukan aktivitasnya di lokasi tangkap nelayan. Disekitar lokasi sudah banyak nelayan yang sedang melaut.
“Itu kapal penambang pasir (kapal Queen of Nederlands milik PT Boskalis) semakin mendekat ke tempat nelayan. Nelayan semakin terancam dan tetap bertahan di lokasi tangkap. Nelayan berada tepat di hadapan kapal pengeruk Pasir laut,” kata Maidah.
Karena mengganggu dan juga mengisap alat tangkap nelayan seperti pancing. Nelayan yang melaut sejak pagi mulai protes. Namun, diperhadapkan dengan polisi dari Dit Polairud Polda Sulsel dan kapal patroli dari Mabes Polri yang mengawal penambangan pasir.
“Nelayan protes itu penambang pasir. Na isap ki itu penambang pasir alat pancingnya nelayan. Pas protes ki, ni ondang ngasengki (diminta bubar dan diburuh) nelayan sama polisi. Sekitar pukul 14.00 WITA, puluhan anggota Dit Polairud Polda Sulsel dengan menggunakan 1 kapal perang dan 4 sekoci,” ujar Maidah.
Saat nelayan melakukan protes, terjadi adu mulut dengan anggota kepolisian dari Polair Polda Sulsel. Salah satu nelayan didatangi dan diancam diborgol namun menolak, kemudian diancam lepa-lepa-nya (perahu kecil) nelayan ditenggelamkan. Hingga dia melompat dari lepa-lepa dan kapalnya tenggelam.
Tanpa alasan jelas, saat Polisi ingin menangkap para nelayan. Namun nelayan menolak, hingga terus terjadi ketegangan. Sempat beberapa kali terdengar suara tembakan dari Polisi.
“Faisal ditangkap sama polisi. Tallui dijakkala (tiga ditangkap). Appaki, tapi lompaki satua di air ka tenggelam ki perahuna (empat ditangkap, tapi satu diantaranya lompat karena tenggelam perahunya). Baru pergi ki di perahu nelayan lain, ditanggalkan perahunya. Baru kembali ke pulau. 3 perahu ditenggamkan polisi,” kesal Maidah, istri salah satu nelayan di pulau Kodingareng, yang sedang memperjuangkan penolakan tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan.
Dari puluhan nelayan yang sedang mencari ikan, 3 orang ditangkap anggota Dit Polairud Polda Sulsel dan dibawa ke kantor Dit Polair Polda Sulsel di Makassar. Sementara 2 kapal nelayan ditenggelamkan dan 1 nelayan kapal dirusak.
“Kami tuntut tempat pencarian ikan ta’. Kalau tidak na hentikan itu penambangan pasir. Bukan kami temani polisi bertengkar, tapi itu tambang pasir. Disitu (daerah tangkap nelayan) selalu mengambil pasir.”
“Kita semua di pulau tidak makan maki semua. Tidak bisa beli beras. Karena susah dapat pencarian ikan. Disitu mi kita tidak biarkan, karena penambangan disitu berdampak sama pencarian ikan tenggiri, cumi-cumi dan banyak ikan lainnya,” ujarnya.