TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pemerintah diminta tidak mempertaruhkan nyawa warga negara dengan keputusan gambling.
Pemerintah diharapkan memutuskan sikap terkait pandemi Covid-19 berdasar kajian pengetahuan, bukan sikap gambling tanpa dasar ilmu.
Pemerintah dinilai belum memiliki pijakan rasional dalam menanggulangi pandemi corona di Indonesia. Relaksasi saat ini dinilai kebijakan gambling yang membahayakan.
“Kebijkan gagah-gagahan relaksasi hampir pasti akan berdampak pada peningkatan angka pasien positif dan pada gilirannya meningkatkan angka kematian. Indonesia betul-betul ‘gambling’ dengan kebijakan yang dipilih,” jelas mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Prof Basri Hasanuddin dalam diskusi Group WhatsApp Senter-senter Bella (SSB), Senin (15/6/2020) pagi.
Belasan akademisi membahas fenomena Covid-19 dan cara pemerintah mengatasinya di SSB. Diskusi rerata mereka mulai usai Salat Subuh.
Prof Basri yang juga mantan Rektor Unhas mengaku sependapat ekonom Amerika Serikat perain Nobel 2008, Paul Robin Krugman.
“Saya sependapat bahwa akan ‘trade off’ (tarik ulur) antara kebijakan relaksasi dan mortality rate. Benar Krugman bahwa manusia harus disehatkan dulu sebelum berekonomi secara produktif,” kata Prof Basri Hasanuddin.
Pencetus Wali Wanua, Taslim Arifin, menilai pendapat Prof Basri Hasanuddin juga senada dengan pendapat Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), Jusuf Kalla.
“Jadi relaksasi belum saatnya. Sabar dua bulan akan menuai kemenangan selamanya, atau tidak sabar akan menuai perderitaan berkepanjangan,” kata mantan Dekan Fakultas Ekonomi Unhas itu.
“Fokus kita di Makassar saat ini adalah kesadaran tinggi dengan penuh semangat masyarakat untuk berpartisipasi mendukung perlawanan total kepada Covid-19,” tegas Taslim Arifin menambahkan.
Menurut Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) Unhas 1977-1978 itu, kebijakan relaksasi itu sama dengan “berjudi”, tidak memiliki dasar akademik yang kuat.
“Dalam agama berjudi itu haram. Jadi kalau haram hindarilah, sehingga istilah jalan tengah tidak selalu baik, keteguhan dalam menegakkan ilmu yang merupakan alat terbaik untuk menebak keinginan Sang Pencipta, adalah yang terbaik daripada spekulasi apalagi emosi yang melatari suatu kebijakan publik yang bukan mangkuk percobaan,” jelas Taslim Arifin.
Menurut Prof Basri Hasanuddin, Indonesia adalah negara yang sangat besar dengan 34 prov dipimpin gubernur yang berpengalaman dan cerdas. Satu provinsi bisa lebih besar dari gabungan beberapa negara kecil di Eropa.
Makanya, menurut Prof Basri Hasanuddin , keadaan dan tingkat kerawanan terhadap Covid-19 di Indonesia sangat variatif.
“Karenanya, menerapkan kebijakan yang seragam dan melihat Indonesia seperti Jakarta tentulah kurang tepat. Berikanlah kesempatan pada masing-masing pemda uuntuk mengambil langkah yang paling tepat dengan memperhitungkan semua variabel yabg relevan, kearifan lokal, memobilisai para ahli yang mereka miliki, dan menetapkan pilihan kebijakan paling tepat,” jelas Prof Basri Hasanuddin.(*)