JAKARTA, TRIBUN-TIMUR.COM - Program pemberian token listrik gratis dan diskon tagihan hingga 50 persen kepada pelanggan PLN 450 VA dan 900 VA sedang berjalan mulai April hingga Juni 2020.
Kebijakan ini diharapkan dapat membantu masyarakat kalangan menengah ke bawah yang mengalami kesulitan mendapatkan penghasilan selama pandemi Virus Corona atau Covid-19, dan mengikuti imbauan pemerintah untuk tinggal di rumah.
Namun, tak semua pelanggan 900 VA mendapatkan diskon, hanya yang masuk kategori tidak mampu (kode R1T) atau penerima subsidi.
Sementara seluruh pelanggan 450 VA mendapatkan token listrik gratis atau penghapusan tagihan.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020.
Sebanyak kurang lebih 24 juta pengguna listrik 450 VA akan dibebaskan sepenuhnya dari biaya tagihan listrik selama 3 bulan, terhitung untuk bulan April, Mei, dan Juni.
Sementara sekitar 7 juta pengguna listrik 900 VA akan mendapatkan keringanan berupa subsidi 50 persen untuk biaya di 3 bulan yang sama.
Saat program tersebut mulai berjalan, muncul lagi usulan agar pelanggan 900 VA nonsubsidi dan 1.300 VA juga mendapatkan diskon tagihan 50 persen.
Demikian disampaikan nggota Komisi VII dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB ), Ratna Juwita dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi VII DPR RI (bidang energi, riset dan teknologi, dan lingkungan hidup) dengan Direktur Utama PT PLN melalui telekonferensi video pada Rabu (22/4/2020).
Menurut dia, perluasan insentif itu perlu dilakukan karena pelanggan 900 VA non-subsidi dan 1.300 VA juga terdampak pandemi Virus Corona atau Covid-19.
"Kami mengusulkan pemberian insentif bagi rumah tangga yang non subsidi 900 VA dan 1.300 VA. Mohon ditanggapi," kata Ratna pada Rabu (22/4/2020).
Menanggapi permintaan tersebut, Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini, mengatakan tidak sanggup.
Sebab, untuk menerapkannya membutuhkan anggaran sebesar Rp16,9 triliun.
Kebutuhan dana tersebut dihitung dari jumlah pelanggan 900 VA yang mencapai 22,7 juta pelanggan, dengan tagihan listrik mencapai Rp143.000 per pelanggan tiap bulannya.
Sementara, untuk kelompok pelanggan 1.300 VA tercatat ada sekitar 11,7 juta pelanggan dengan rata-rata tagihan sebesar Rp221.000 per pelanggan tiap bulannya.
"Apabila diminta kepada PLN untuk melaksanakannya dengan kemampuan keuangan PLN sendiri, kami ingin menyampaikan itu akan sangat sulit karena kami tidak memiliki kemampuan untuk bisa memberikan insentif," ucap Zulkifli Zaini.
Akan tetapi, Zulkifli menambahkan, jikalau pemberian insentif itu ditanggung pemerintah, PLN siap menjalankannya.
"Saya ingin sampaikan, apabila di masa yang akan datang itu ada keputusan pemerintah terkait itu pasti akan kami laksanakan," ungkap Zulkifli Zaini.
Ada Donasi untuk Prasejahtera
Kendati demikian, ada kabar baik dari Yayasan Cinta Anak Bangsa ( YCAB) Foundation yang didukung penuh oleh PLN, menginisiasikan gerakan "Light Up" Indonesia, yakni Gerakan sosial untuk mendonasikan biaya listrik bagi puluhan juta masyarakat prasejahtera.
Inisiatif ini dihadirkan sebagai lanjutan setelah bantuan yang dihadirkan oleh pemerintah melalui PLN.
Sekaligus dalam rangka memunculkan semangat Hari Kartini "habis gelap terbitlah terang."
Donasi yang dikumpulkan melalui gerakan "Light Up" Indonesia akan menyasar pelanggan PLN 900 VA hingga 1300 VA di kalangan masyarakat prasejahtera yang belum terbantu dari subsidi pemerintah.
Founder dan CEO YCAB Foundation Veronica Colondam mengatakan, listrik menjadi salah satu biaya rumah tangga yang selalu keluar setiap bulannya.
Sehingga dengan adanya bantuan biaya listrik, diharapkan anggaran rumah tangga dapat disimpan untuk kebutuhan pokok yang lebih mendesak.
"Ayo masyarakat melawan kegelapan corona ini dengan membawa terang, dengan cara membantu membayar rekening listrik (masyarakat prasejahtera)," ajak Veronica dalam konferensi daring, Rabu (22/4/2020).
Mulai dari Rp 20.000, masyarakat sudah dapat berkontribusi untuk "menerangi" sesama.
Partisipasi donasi dapat dilakukan dengan mengunjungi situs www.lightup.id.
Donasi akan diberikan dalam bentuk token dan voucher Agar lebih tepat sasaran, donasi uang dari masyarakat akan diberikan langsung ke PLN.
Sehingga keluarga terpilih akan mendapatkan bantuan biaya listrik sebesar Rp 100.000 dalam bentuk token (prabayar) ataupun voucher (pascabayar).
"[Alurnya] pendonor, yayasan, PLN untuk membayarkan rekening token. Jadi bersih, langsung masuk ke rumah yang dituju dan tepat sasaran," ujar Veronica.
Target penerima donasi di tahap awal ialah 100.000 keluarga prasejahtera, yang terbagi atas dua komunitas.
Komunitas pertama ialah 40.000 ibu-ibu pelaku usaha mikro di kawasan Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Lampung. Ibu-ibu ini merupakan binaan YCAB Ventures yang menopang biaya hidup akibat ekonomi keluarga yang terdampak Virus Corona.
Lalu, komunitas kedua adalah 60.000 masyarakat umum yang merasa membutuhkan bantuan keringanan tagihan listrik.
Untuk masyarakat yang membutuhkan bantuan, dapat segera mendaftar pada awal Mei 2020 berdasarkan pendaftaran ID pelanggannya melalui situs "Light Up" yang dikembangkan oleh PT Glotech Prima Vista (Do-It).
“Merupakan suatu kebanggaan bagi Do-It dapat dipercaya oleh PLN dan YCAB untuk mendukung gerakan ini dari segi teknologi. Penyaluran donasi nantinya akan dilakukan secara digital bekerja sama dengan OVO. OVO berperan penting dalam menyalurkan subsidi pembayaran bagi pengguna PLN pasca-bayar secara tepat dan aman. Kami harapkan program Light Up dapat mendukung upaya pemerintah dalam meringankan beban masyarakat,“ kata CEO Do-It Jennifer Claudia, dalam kesempatan yang sama.
Senior Executive Vice President Bisnis dan Pelayanan Pelanggan PLN, Yuddy Setyo Wicaksono mengatakan, PLN sangat mengapresiasi gerakan Light Up Indonesia.
"Pada situasi seperti ini, semua bantuan yang dihadirkan bagi masyarakat memberikan tambahan semangat untuk dapat melalui masa-masa sulit. PLN terlibat langsung membantu dalam penyaluran bantuan ini kepada pelanggan yang menjadi target penerima donasi," imbuh Yuddy.
Program Diskon dan Token Gratis Belum Efektif
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI ) menilai, kebijakan keringanan beban tagihan listrik bagi masyarakat terdampak Virus Corona belum begitu efektif.
Sebab, kebijakan ini belum sepenuhnya menjangkau pelanggan yang benar-benar membutuhkan keringanan tarif listrik.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, ketika wabah Virus Corona menyerang, pendapatan sebagian masyarakat mengalami penurunan akibat pembatasan sosial.
Di sisi lain, pemakaian listrik rumah tangga dipastikan naik selama masa pandemi.
Meski secara umum mengapresiasi, Tulus menyebut, kebijakan keringanan tarif listrik untuk pelanggan golongan 450 VA dan 950 VA terkesan terlalu populis.
Menurutnya, jika ditelusuri lebih lanjut, masyarakat perkotaan baik golongan miskin maupun nonmiskin sangat rentan terdampak efek penyebaran Virus Corona.
Pasalnya, masyarakat tersebut rawan kehilangan pekerjaannya akibat beberapa perusahaan terpaksa tutup selama pandemi Virus Corona.
Di sisi lain, tak sedikit masyarakat di kota-kota besar merupakan pelanggan listrik golongan 1.300 VA yang notabene tidak bisa mengakses kebijakan subsidi listrik dari pemerintah.
Bahkan, pelanggan yang masuk kategori 1.300 VA tampak berada di zona abu-abu.
Dalam hal ini, pelanggan tersebut awalnya hendak mengakses listrik golongan 900 VA.
Namun, karena ada pembatasan jumlah pelanggan listrik bersubsidi, mereka terpaksa berlangganan listrik di golongan 1.300 VA.
“Banyak masyarakat yang secara ekonomi rentan, tapi mereka menggunakan listrik 1.300 VA. Ketika pemakaian listrik naik, mereka tidak mendapat subsidi. Harusnya ini jadi perhatian pemerintah,” ungkap dia dalam diskusi daring, Selasa (14/4/2020).
Saat ini, seluruh pelanggan listrik golongan 450 akan digratiskan dari tagihan listrik selama bulan April, Mei, dan Juni.
Sedangkan pelanggan listrik golongan 900 VA bersubsidi mendapat keringanan tarif listrik sebanyak 50 persen di periode yang sama.
Tulus mengusulkan, bisa saja pelanggan golongan 450 VA cukup diberikan diskon tarif listrik 50 persen selama tiga bulan.
Adapun jatah diskon tarif listrik 50 persen yang tersisa dapat ditujukan untuk pelanggan listrik golongan 1.300 VA dalam periode yang sama.
Kategori Miskin Perlu Dievaluasi
Institute for Essential Service Reform (IESR) menilai, kebijakan keringanan tagihan listrik untuk pelanggan golongan 450 VA dan 900 VA bersubsidi menjadi langkah yang tepat oleh pemerintah di tengah pandemi Virus Corona.
Namun, terdapat beberapa evaluasi penting mengenai implementasi kebijakan tersebut.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyampaikan, kebijakan subsidi listrik yang ada saat ini sebenarnya juga menunjukkan adanya kelemahan pemerintah Indonesia dalam merespons sebuah krisis.
Sebab, selama ini Indonesia belum punya jaring pengaman sosial untuk energi.
“Sejauh ini jaring pengaman sosial kerap dikorelasikan dengan tingkat kemiskinan, tetapi justru Indonesia belum punya ukuran dan mekanisme kemiskinan energi,” ujar dia dalam sesi diskusi daring, Selasa (14/4/2020).
Dalam praktiknya, pemerintah Indonesia baru bisa mengukur kategori rumah tangga miskin berdasarkan jenis sambungan listrik yang ada. Padahal, hal tersebut belum sepenuhnya akurat.
Fabby memberi contoh, ada seorang pengemudi ojek online yang kebetulan tinggal di rumah dengan golongan listrik 1.300 VA.
Begitu wabah Virus Corona meluas, pemerintah mulai melarang ojek online mengangkut penumpang.
Suka tidak suka, pendapatan pengemudi ojek online mengalami penurunan drastis akibat hal tersebut.
Di sisi lain, kebutuhan listrik di rumah sang pengemudi ojek online tadi meningkat selama pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar ( PSBB ).
Sayang, pengemudi ojek online tersebut tidak bisa mengakses program subsidi listrik dari pemerintah lantaran bukan berasal dari golongan listrik 900 VA.
“Di saat seperti ini, tidak hanya masyarakat miskin saja yang butuh keringanan tarif listrik, tapi juga masyarakat kategori rentan,” kata dia mengungkapkan.
Maka dari itu, momentum pandemi Virus Corona sebenarnya bisa menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk mengembangkan database pelanggan listrik yang lebih komprehensif.
Database tersebut juga mesti memuat data pelanggan rumah tangga miskin dengan indikator yang lebih jelas dan akurat.
“Memang ini perlu waktu yang tidak sebentar, perlu proses kajian yang matang dan pengumpulan data yang tepat,” katanya mengimbuh.
Di kesempatan yang sama, Fabby juga menyoroti kualitas penyediaan listrik di dalam negeri.
Berhubung belum lama ini Presiden Joko Widodo menyebut ada 433 desa di wilayah timur Indonesia yang belum tersambung aliran listrik.
Pemerintah sendiri masih berupaya mengejar rasio elektrifikasi di seluruh Indonesia mencapai 100 persen pada 2020.
Menurut Fabby, penting bagi pemerintah untuk tidak sekadar mengejar rasio elektrifikasi semata, melainkan juga kualitas akses listrik.
Sebab, sekalipun saat ini rasio elektrifikasi di Indonesia sudah mencapai level 99 persen, belum tentu semua wilayah bisa menikmati aliran listrik selama 24 jam penuh tanpa terinterupsi.
Pemerintah pun mesti mencermati wilayah-wilayah yang belum bisa mendapatkan akses listrik secara maksimal, apalagi dalam kondisi penyebaran wabah Virus Corona seperti sekarang ini.
“Perlu ditelusuri apakah masyarakat yang belum mendapat listrik secara maksimal ikut terdampak Corona atau tidak. Mereka juga layak mendapat subsidi keringanan tarif listrik,” kata dia.(kompas tv/kontan)