TRIBUN WIKI: Tolak Ustad Firanda di Polman, Simak Sejarah Singkat Tarekat Qadiriyah di Mandar

Penulis: Nurhadi
Editor: Imam Wahyudi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KH Ilham Shaleh

TRIBUN-TIMUR.COM, MAMUJU - Pimpinan Pusat Tarekat Qadiriyah KH Muhammad Shaleh Provinsi Sulawesi Barat, ikut menolak kedatangan ustadz Firanda Andirjan, hadir menyampaikan kajian di Masjid Agung Syuada, Kabupten Polewali Mandar.

Penolakan ustadz yang pernah memusyrikkan Syeikh Sayyid Alawi Al-Maliki, yang merupakan Guru Mulia dalam sanad Tarekat Qadiriyah disampaikan Mursyid Syekh KH Ilham Shaleh, lewat surat pernyataan resmi atas nama PP Thariqah Qadiriyah Provinsi Sulawesi Barat.

Tuduhan yang dilakukan Firanda terhadap Al Arif Billah Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, merupakan hal menyakitkan, khususnya jemaah Tarekar Qadiriyah Provinsi Sulawesi Barat, dan para umat Aswaja pada umumnya.

Mengingat Guru mulia Al Arif Billah Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki juga bersambung sanad perguruannya dengan para ulama Aswaja lainnya di Indonesia semisal Alm KH. Maimun Zubair (Rembang), KH. Ihya Ulumuddin, dst.

Lalu bagaimana sejarah Tarekat Qadiriyah KH Muhammad Shaleh Provinsi Sulawesi Barat, yang merespon rencana kehadiran ustadz Firanda di Bumi Tipalayo julukan Kabupaten Polman dengan surat pernyataan resmi.

Sejarah singkat Tarekat Qadiriyah di Tanah Mandar.

Perkembangan Islam di wilayah Sulawesi Barat tidak bisa dilepaskan dari peran KH Muhammad Saleh, sebagai pembawa Tarekat Qadiriyah masuk di tanah Mandar.

Pengaruh ajarannya sangat membumi di daerah ini. Ia tidak meninggalkan situs-situs kemegahan, melainkan kesahajaan sebagai seorang manusia dan ulama Mandar yang patut diteladani.

Annangguru Saleh merupakan ulama besar di wilayah Mandar dan Sulawesi. Ia lahir pada 1913 di Pambusuang, sekarang masuk Kabupaten Polewali Mandar.

Annangguru Saleh wafat di Rumah Sakit Majene, Ahad 10 April 1977 Pukul 12.30 Wita, kemudian dikebumikan di Pambusung.

Pengaruh ajarannya begitu luas, baik di Sulawesi Barat maupun di daerah sekitarnya.

Ia adalah pioner ulama yang membawa, mengajarkan, dan mengembangkan tarekat Qadiriyah di Mandar.

Annangguru Saleh merupakan salah satu dari dua ulama besar Mandar yang sampai saat ini belum ada yang menyamai karisma dan pengaruh ajarannya.

Gelar Annangguru di depan namanya lantaran ia memilih berdakwah secara berpindah-pindah, tak terpaku pada satu lokasi, dari satu rumah ke rumah jamaah lainnya.

Khususnya, di beberapa kampung di pesisir Mandar.

Sejak kecil, ia mendapatkan pendidikan keagamaan dan mengkaji kitab kuning dari para sayye' atau ulama habib yang dikabarkan masih keturunan Nabi Muhammad SAW. Keberadaan mereka banyak dijumpai di Pambusuang.

Pada usia 15 tahun Muhammad Shaleh berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.

Namun, ia tidak langsung memutuskan pulang ke Mandar, tapi belajar agama di Madrasah al-Falah.

Setelah lima tahun menuntut ilmu, Muhammad Saleh mendapat kepercayaan untuk mengajar di Masjid al-Haram.

Guru-guru di Mekkah yang banyak memberi ilmu kepada Annangguru Saleh , tentang Al-Quran, Hadist, lugah, fiqih, dan tasawuf antara lain, Sayyid Alwi Al-Maliki, Syekh Umar Hamdan dan Sayyid Muhammad Idrus serta Syekh Hasan Al Masysyat.

Setelah mendalami ilmu di jazirah Arab, Muhammad Saleh kembali ke Mandar di umur sekitar 30 tahun.

Ketika kembali ke Mandar, ia menikah, lalu memimpin tarekat di wilayah ini. Yakni Tarekat Qadiriyah, merupakan aliran tarekat terbesar di Mandar, bahkan jamaahnya tersebar diberbagai daerah di Indonesia.

Beberapa saat setelah tiba di tanah Mandar, atas saran KH Abdurrahman Ambo Dalle, beliau menikah dengan Hj St Salehah binti Lomma, karena alasan tertentu Muhammad Shaleh bercerai untuk kemudian menikah dengan Hj Harah.

Dari istri kedua beliau, mulai mendapat keturunan, KH Muhammad Shaleh menikah beberapa kali, sesuai dengan ramalan gurunya Syekh Alwi Al-Maliki. Dari istri terakhirnya Mulia Sule, beliau mendapat banyak keturunan.

Salah satunya KH Ilham Shaleh yang saat ini melanjutkan ajaran Tarekat Qadiriyah saat ini di Mandar.

Selain menjadi pemimpin tarekat, Syekh KH Ilham Shaleh juga merupakan dosen Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

Populasi jamaah Tarekat Qadiriyah di Indonesia, khususnya di Tanah Mandar kini semakin bertambah, khususnya di tanah kelahiran KH Muhammad Shaleh Pambusuang Provinsi Sulawesi Barat.

Selain KH Ilham Shaleh, sanad keilmuan ajaran Tarekat Qadiriyah di Tanah Mamdar juga turun ke Prof Dr KH Sahabuddin, panrita sufi dari Tanah Mandar dan beberapa murid-murid Annangguru Saleh lainnya yang tersebar berbagai daerah di Mandar juga menerima sanad keilmuannya.

Annangguru Sahabuddin begitu sapaannya, dikenal sebagai ulama yang bersahaja dan disegani para jamaahnya serta umat Islam pada umumnya.

Ilmu tasawufnya diperoleh dari berguru kepada KH Muhammad Saleh. Annangguru Sahabuddin merupakan salah satu murid kesayangan Annaguru Saleh.

Semasa hidupnya, Annangguru Sahabuddin mendapat gelar Guru Besar Ilmu Tasawuf Asia Tenggara dari IAIN Makassar. Di NU, ulama ini juga sempat berkiprah sebagai Katib Awwal Syuriah PWNU Sulsel dan Wakil Rais Syuriah PWNU Sulsel.

Annangguru Sahabuddin juga berpengalaman sebagai snggota DPRD Sulsel.

Selain dikenal sebagai ulama tasawuf, Annangguru Prof. Dr. KH Sahabuddin juga dikenal sebagai ulama yang peduli pendidikan. Tercatat semasa hidupnya beliau membina perguruan tinggi swasta dan pesantren Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) di Kabupaten Polmas.

Pernah sebagai Dekan di IAIN Ambon dan IAIN Ternate. Wakil Kordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais), Rektor Universitas Al Asyariah Mandar di Sulbar dan masih banyak lainnya.

Salat 27 Ramadan

Setiap akhir Ramadan, ada tradisi ibadah yang ditunggu-tunggu umat islam penganut Tarekat Qadiriyah di Mandar, yaitu "Massambayang bukku" Bukku diambil dari nama salah satu kampung di Kecamatan Banggae Majene.

Tradisi itu mulai diperkenalkan Annangguru Shaleh pada tahun 1966. Tradisi itu dilatarbelakangi pembicaraan Annangguru dengan murid-muridnya, bahwa dibutuhkan tempat yang lebih luas untuk menampung jamaah Salat 27 Ramadan yang sebelumnya dilaksanakan dari rumah ke rumah pengikut KH Muhammad Shaleh.

Dalam tradisi "Massambayang Bukku" telah dilaksanakan Salat Isya berjamaah dilanjutkan dengan Salat Sunnah Tarwih 20 rakaat secara berjamaah pula.

Tak hanya itu, pada tradisi tersebut juga dilaksanakan sejumlah salat-salat sunnah secara berjamaah. Seperti Salat Sunnah Taubat, Salat Sunnah Tasbih dan Salat Sunnah Hajat.

Belakangan tradisi "Masssambayang Bukku" tak lagi dipusatkan di Bukku Majene, tapi dipindahkan ke Pambusuang Polman, tepat di Masjid kompleks pemakaman Annangguru Shaleh.

Sebagian jamaahnya yang tak sempat hadir "Massambayang Bukku" di Pambusuang, juga melaksanakan ibadah serupa pada 27 Ramadan di kompleks Unasmah.

Berita Terkini