Tribun Wiki

1 Muharram Sering Disebut Satu Suro, Ini Artinya, Tradisi, dan Kisah Mistis, Sering Dianggap Keramat

Penulis: Desi Triana Aswan
Editor: Ina Maharani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Beberapa topik tentang Satu Suro menjadi trending di google.

Banyak yang belum mengetahui, apakah satu suro tersebut.

Berikut Tribunwiki telah merangkumnya dari berbagai sumber.

Apa Itu Satu Suro?

Dilansir dari wikipedia, Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro di mana bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender hijriyah, karena Kalender jawa yang diterbitkan Sultan Agung mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).

Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tangal satu biasanya disebut malam satu suro.

Hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.

Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap kramat terlebih bila jatuh pada jumat legi.

Untuk sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain.

Tradisi

Tradisi saat malam satu suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal ini, sebagai contoh Tapa Bisu, atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini.

Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya.

Tradisi lainnya adalah Kungkum atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu, Yang paling mudah ditemui di Jawa khususnya di seputaran Yogyakarta adalah Tirakatan (tidak tidur semalam suntuk) dengan tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan Pagelaran Wayang Kulit.

Di antara tradisi tersebut ada juga sebagian masyarakat yang menggunakan malam satu suro sebagai saat yang tepat untuk melakukan ruwatan.

Kisah di Balik Malam Satu Suro

Dilansir dari Kompas.com, peringatan Malam 1 Suro atau malam Tahun Baru Hijriah 2019dilakukan pada Sabtu (31/8/2019) malam.

Peringatan ini menandai pergantian tahun Hijriyah, atau tahun baru Islam.

Pada malam 1 Suro, biasanya digelar sejumlah tradisi dan gelaran budaya untuk merayakan malam yang dianggap sakral itu.

Di Surakarta misalnya, ada tradisi Kirab Kebo Bule.

Beberapa ekor kebo bule (kerbau berwarna putih) diarak keliling kota.

Bagi warga Surakarta, mereka percaya bahwa kerbau-kerbau itu turunan Kebo Bule Kiai Slamet yang dianggap keramat.

Perayaan-perayaan yang sama juga banyak dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, seperti Yogyakarta dengan tradisi Mubeng Benteng.

Ada tradiri "Tapa Bisu Lampah Mubeng Beteng".

Tradisi ini digunakan sebagai sarana untuk merenung dan introspeksi atas berbagai hal yang telah terjadi selama setahun ini.

Seperti apa awal mula perayaan Malam 1 Suro atau malam Tahun Baru Hijriah?

Menilik sejarahnya, dikutip dari Harian Kompas, 4 Maret 1971, penetapan 1 Suro sebagai tahun baru Jawa dilakukan sejak zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Raja yang memimpin Mataram pada 1613-1645 itu mendapat gelar Wali Radja Mataram dari para ulama karena berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam tanpa menghapus tradisi Jawa.

Pada 1633 M atau tepat pada tahun Jawa 1555, Sultan Agung mengadakan pesta atau selametan secara besar-besaran.

Dalam pesta itu juga, Sultan Agung menyatakan bahwa Tahun Jawa atau Tahun Baru Saka berlaku di kerajaan bumi Mataram.

Tak hanya itu, Sultan juga menetapkan Satu Suro sebagai tanda Tahun Baru Jawa.

Mengutip pemberitaan Kompas.com, 10 September 2018, keputusan ini diambil setelah dilakukan perpaduan kalender Hijriah dan kalender Jawa.

Sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu, dan sedikit pengaruh penanggalan Julian dari Barat dipadukan.

Selanjutnya, Sultan Agung mengeluarkan sebuah dekrit.

Dekrit itu menyatakan mengganti penanggalan Saka yang berbasis putaran matahari dengan kalender Qamariah yang berbasis putaran bulan.

Dengan adanya perubahan ini, maka setiap angka tahun Jawa diteruskan dan berkesinambungan dengan tahun Saka.

Sementara itu, dikutip dari belajar.kemdikbud.go.id, penetapan 1 Muharam sebagai awal kalender Islam dilakukan sejak zaman Khalifah Umar bin Khatab.

Untuk memperkenalkan kalender Islam pada masyarakat Jawa, maka Sunan Giri II membuat penyesuaian antara sistem kalender Hijriah dengan sistem kalender Jawa pada tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru.

Pada saat itu, Sultan Agung menyerukan agar rakyatnya bersatu untuk melawan Belanda di Batvia demi menyatukan Pulau Jawa.

Oleh karena itu, ia menyatukan seluruh kalangan masyarakat, termasuk kaum santri dan abangan.

Untuk mengontrol pemerintahannya, setiap hari Jumat Legi (hari pasaran Jawa) diadakan laporan pemerintahan setempat.

Tak hanya itu, kegiatan tersebut juga disertai dengan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus diadakan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel (Sunan Ampel) dan Giri.

Oleh karena itu, 1 Muharam atau 1 Suro yang dimulai pada hari Jumat Legi secara tidak langsung turut dianggap sakral.

Kenapa Mistis?

Malam satu Suro memang terkenal sakral dan penuh aura mistis bagi sebagian orang, Sebenarnya ada apa sih di malam satu suro?

Sejak saya kecil hingga sekarang mitos malam satu suro sering terdengar di telinga manakala hari pergantian tahun baru islam tersebut semakin dekat.

Banyak cerita angker dan penuh mistis tentang malam satu suro, Dibawah ini adalah diantaranya:

* Malam Satu Suro adalah Lebarannya Makhluk Gaib

Kisah ini pasti sudah kerap terdengar di telinga kita, sebagian masyarakat pada masa lalu mempercayai jika malam 1 suro merupakan lebaran bagi makhluk gaib sehingga banyak diantara mereka yang keluar dari tempat persinggahan masing-masing.

Anehnya mitos ini kerap dikaitkan dengan adanya penampakan serta gangguan makhluk halus di malam tersebut. Entah darimana awal mitos ini muncul yang jelas mitos tersebut hingga kini masih banyak dipercaya.

Terlalu berlebihan jika ada yang percaya bahwa malam satu suro merupakan malam paling buruk dalam satu tahun. Bahkan ada beberapa orang yang menganggap bahwa di bulan suro terdapat banyak sekali sial dan bencana yang akan menimpa umat manusia.

Tak heran jika orang-orang jawa abangan pada zaman dulu kerap menghindari berbagai pesta upacara pada bulan ini termasuk pesta perkawinan dan hajatan lain.

Di lain sisi masyarakat kejawen meyakini bahwa musibah dan bencana dapat ditolak dengan cara melakukan ritual tertentu. Karena itulah kemudian dikenal beberapa tradisi malam satu suro seperti ruwatan untuk buang sial.

* Kembalinya Arwah Leluhur Ke Rumah

Sebagian masyarakat jawa pada masa lalu lebih sakral lagi dalam menanggapi datangnya pergantian tahun Hijriyah. Banyak diantara mereka yang meyakini, bahwa di malam satu suro, arwah leluhur yang telah meninggal dunia akan kembali dan mendatangi keluarganya di rumah.

Bukan hanya itu saja, bahkan beberapa orang menambahkan peristiwa lebih seram lagi dimana mereka meyakini jika pada malam satu suro arwah dari orang-orang yang menjadi tumbal pesugihan akan dilepaskan dan diberi kebebasan pada malam tersebut sebagai hadiah pengabdiannya selama setahun penuh.

Nah demikianlah mitos-mitos di malam satu suro yang diyakini sebagian masyarakat awam, Kita sebagai umat Islam yang memegang teguh ajaran Rasulullah hendaknya tidak memakan mentah-mentah cerita tentang angkernya malam satu suro seperti yang disebutkan diatas.

Sumber berita:

https://www.tribunnews.com/regional/2019/09/01/ritual-kungkum-mewarnai-tradisi-malam-satu-suro-di-bendan-dhuwur

https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/31/191949265/cerita-di-balik-peringatan-malam-1-suro?page=all

https://www.tribunnews.com/regional/2017/09/20/inilah-mengapa-misteri-malam-satu-suro-dikenal-angker.

Foto: Ist via Tribun Sumsel
Ilustrasi

Berita Terkini