TRIBUNWAJO.COM, WAJO - Gerbangnya berwarna kuning. Ada dua pintu, tapi cuma 1 yang terbuka. Ada semacam palang yang bisa dinaikturunkan.
Palang itu dijaga oleh seorang perempuan, yang juga bertugas sebagai petugas loket di Kawasan Rumah Adat Atakkae, Sengkang, Kabupaten Wajo.
Satu orang, Rp 2.000 ditukar dengan karcis berwarna hijau, kawasan Rumah Adat Atakkae sudah bisa dikelilingi.
Sepi. Nyaris tidak ada aktivitas di dalam kawasan, selain warga yang memang menghuni rumah-rumah adat yang ada, Sabtu (29/12/2018). Ada pula masyarakat sekitar di kawasan Rumah Adat, yang bisa masuk lewat akses pintu yang tidak terawat dan terjaga di bagian utara.
Tak ada pelancong. Angin sedikit kencang berembus dari arah Danau Lampulung di sebelah selatan kawasan Rumah Adat Atakkae atau yang lebih karib di telinga masyarakat Kabupaten Wajo dengan Bola Seratu'e.
Penamaan Bola Seratu'e bukan tanpa alasan. Bukan jumlah rumah yang ada di kawasan tersebut, melainkan jumlah tiang berbentuk segi delapan yang ada di rumah adat utama, Saoraja La Tenri Bali. Jumlahnya bukan 100, tapi 101. Namun, masyarakat pun lebih sering menyebutnya Bola Seratu'e.
Berdasarkan catatan yang dihimpun Tribunwajo.com, kawasan Rumah Adat Atakkae dibangun pada masa pemerintahan Bupati Wajo, Dachlan Maulana dan diresmikan pada 1995 silam. Jaraknya sekitar 3 km dari pusat Kota Sengkang.
Kini, kondisinya tidak terawat. Banyak sampah berserakan. Padahal, ada bak sampah dari Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD) Kabupaten Wajo. Ada pula gazebo dan sarana bermain anak, seperti ayunan dan perosotan dari DLHD Wajo, kondisinya pun sama. Sama-sama tak terawat.
Ada dua kolam besar yang disediakan untuk memancing. Menurut salah seorang masyarakat yang enggang disebutkan namanya, kolam tersebut sengaja digali. Mulanya, untuk memancing di kolam tersebut mesti merogoh gocek.
"Dulu bayar, tapi setelah banjir, keluar semua ikan, tidak diperhatikanmi," katanya.
Untuk memancing di kolam tersebut, butuh kesabaran. Selain sabar menunggu umpan disambar ikan, juga sabar mengatasi mata kail yang acap tersangkut di akar-akar tumbuhan air, ranting pohon yang ada di dasar kolam, serta sampah-sampah plastik.
Jelang siang hari, tidak ada pelancong, cuma ada masyarakat setempat yang beraktivitas. Di rumah adat utama, Saoraja La Tenri Bali tertutup. Namun, jendelanya terbuka.
Tiangnya yang besar, tampak beberapa coretan. Ada yang dari spidol, ada pula sekadar goresan. Nama-nama entah siapa dengan variasi tanda berbentuk hati.
"Sepi di sini, biasanya kalau minggu baru ramai. Tapi tidak ramai sekali. Itupi ramai kalau ada kegiatan," sambung warga tersebut.
Kondisi rumah-rumah adat milik kecamatan pun tak kalah memprihatinkan. Bahkan sudah ada yang lapuk dan tak berdinding. Cuma tiang-tiang dan atap. Kondisi lebih beruntung dimiliki rumah-rumah yang dihuni masyarakat. Lebih terawat meski tak layak.
Di bagian belakang, ada taman. Namanya Plaza La Tenri Bali. Rumputnya tumbuh subur dan hijau, fasilitas yang ada rusak, tidak terawat dan terabaikan. Ada warga yang mengembalakan sapinya dalam kawasan.
Dari empat destinasi wisata yang menarik retribusi di Kabupaten Wajo, salah satunya adalah kawasan Rumah Adat Atakkae. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Wajo, Andi Darmawangsa pun menyebutkan, pendapatan asli daerah (PAD) terbesar di Dinas Pariwisata berasal dari pengelolaan kawasan Rumah Adat Atakkae.
"PAD Dinas Pariwisat tahun ini mencapai 126%, yang terbesar itu dari Rumah Adaf Atakkae," kata Andi Darmawangsa beberapa waktu lalu.
Selain menarik retribusi masuk sebesar Rp 2.000 per orang, Dinas Pariwisata juga menarik berbagai retribusi untuk beragam kegiatan dan tarif untuk penggunaannya.
"Untuk penggunaan keseluruhan kawasan, di luar penggunaan rumah adat, itu kita kenakan tarif per hari, Rp 200.000, itu biasanya untuk buat kegiatan," katanya.
Retribusi lainnya, yakni untuk penggunaan Saoraja La Tenri Bali, Rp 200.000 per hari, kepentingan pameran dikenakan Rp 2.500.000 per hari, juga penggunaan lintasan juga berbeda, ada yang Rp 70.000 per tim ada pula yang Rp 15.000 per orang.
Diketahui, APBD 2019 untuk Dinas Pariwisata Rp 1,7 M, sementara Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 3,2 M.