Kolom Andi Suruji: Duka Palu dan Lara Kemanusiaan

Editor: Sakinah Sudin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Satu korban reruntuhan bangunan Hotel Roa-roa, Kota Palu, Sulawesi Tengah, berhasil dievakuasi oleh tim Basarnas, Munggi (30/9/2018).

TRIBUN- TIMUR.COM - Kolom Andi Suruji: Duka Palu dan Lara Kemanusiaan

"Air... air...air.... ibu.... ibu.... ibuuuu... naik...naik....oiii... naik.... tsunami bu.... tsunami.... cepaattt ibu.... cepaatt... ya Allah.... ya Allah... tsunami.... huhuhu...."

Begitulah suara laki-laki itu berteriak-teriak dengan suara parau... kadang tercekat... bergetar... Satu tangannya menunjuk-nunjuk ke arah laut sementara lainnya memegang kamera merekam peristiwa pilu itu.

Ia memberitahukan bakal tibanya air bah besar itu kepada orang-orang yang ada di pinggir jalan... Ia berdiri di ketinggian gedung (mungkin lantai tiga). Mungkin suaranya sudah tak terdengar lagi oleh orang-orang yang diteriakinya.

Silih berganti kameranya diarahkan ke air laut yang terus bergulung menuju pantai. Putih dan tinggi. Sementara orang-orang sibuk berlarian panik. Kendaraan di jalan terlihat bergerak dalam kecepatan tinggi. Klakson bersahutan.

Praakkk..... air putih raksasa itu tiba dan menghempas daratan. Seketika berubah warna menjadi coklat setelah menerjang pasir pantai. Mengamuk, menerjang segala bangunan. Roboh... ambruk....

"Ya Allah.... tsunami ya Allah.... ya Allaaaahhhh....." suaranya bergetar, dan terisak. Ia menangis tersedu-sedu....

Dan videonya pun putus. Itulah drama tsunami rekaman seseorang yang disiarkan salah satu stasiun televisi.

Memilukan. Ngilu pula persendian kita menyaksikannya. Sesak kepala dan dada membayangkan kacaunya kehidupan manusia di sana. Rasa kemanusiaan kita pun terkoyak, tercabik-cabik.

Hingga tulisan ini saya buat, Ahad petang, Badan Nasional Penanggulangan Bencara (BNPB) telah merilis angka 832 jiwa melayang, tewas akibat gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan Kota Palu, Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah. Ratusan lainnya luka parah dan sedang dirawat di sejumlah rumah sakit.

Ratusan bahkan ribuan mungkin bangunan berantakan. Permanen apalagi yang cuma semi permanen. Terlalu kuat gempa bermagnitud 7,4 pada skala richter dan mendatangkan tsunami dalam waktu relatif cepat.

Orang-orang tidak memiliki cukup waktu untuk segera mengungsi. Mereka baru saja meloloskan diri dari maut gempa, secepat kilat tsunami datang. Ajal pun menjemput.

Sekitar 15.000 orang dilaporkan mengungsi. Penduduk Kota Palu cuma 335 ribu jiwa. Rumah dan bangunan berantakan, luluh lantak menyisakan duka lara.

Pengungsian pun luka baru. Dingin, lapar mencekam. Menanti penuh harap akan datangnya bala bantuan. Gelap hidup mereka. Listrik padam, komunikasi putus. Transportasi pun lumpuh.

Anak-anak terpisah orang tuanya. Sanak saudara tak jelas nasibnya. Trauma membekap mereka.

Derita warga Palu dan Donggala seketika terasa getarannya di seantero dunia. Ia mengoyak relung-relung perasaan manusia dan rasa kemanusiaan. Tak pandang bangsa, suku, ras, agama dan ideologi. Simpati dan berduka.

Simpati dan duka lara itu juga lirih terdengar di warung kopi pinggir jalan hingga suara penentu kebijakan dunia di dalam gedung Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa di New York, Amerika Serikat.

Sekjen PBB Antonio Gutteres menyampaikan simpati dan duka cita untuk Palu. Perwakilan negara-negara sahabat pun mengutarakan hal serupa, seperti Konferensi Negara-negara Islam (OKI) yang juga menggelar pertemuan di sela-sela waktu penyelenggaraan SU PBB.

Rasa "kemanusiaan yang adil dan beradab" sebagaimana bunyi Sila Kedua Pancasila, Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, pun menembus grup-grup whatsapp.

"Tidaklah adil dan tidak beradab apabila kita terus membahas isu politik di grup ini. Stop dululah. Mari kita fokus berbagi informasi kemanusiaan yang beradab dari saudara-saudara kita yang sedang berduka di Palu dan Donggala," imbau salah seorang anggota WAG politik.

Kita masih Indonesia. Kita masih punya rasa kemanusiaan. Perbedaan tercampakkan oleh masih tebalnya perikemanusiaan kita. Dunia saja bersimpati.

Tidak bisa membantu secara langsung, setidaknya kita berbagi informasi baik dan benar. Berdoa buat mereka kiranya diberi kekuatan memikul derita dan duka laranya, pun sudah cukup.

Rasa dan perasaan kemanusiaan itu pulalah yang menggerakkan berbagai organisasi kemasyarakatan dan kemanusiaan, serta komunitas untuk mengulurkan bantuan. Bahkan mereka langsung bergerak menuju Palu dan Donggala dengan segala tekad.

Kita berharap dan mengimbau, pengiriman relawan hendaknya hanya mereka yang betul-betul memiliki keahlian menangani kedaruratan. Modal dan semangat saja tidak cukup. Apalagi hanya dengan peralatan dan perlengkapan serta perbekalan seadanya.

Jangan sampai mereka tiba di daerah bencana justru menambah kerunyaman penanganan korban. Darurat, serba terbatas, situasi dan kondisi medan serta korban yang serba kacau, adalah persoalan berat yang membutuhkan penanganan cekatan.

Andi Suruji ()

Andi Suruji, Pemimpin Umum Tribun Timur

*Tulisan ini dimuat Edisi Cetak, Senin 1 Oktober 2018

Berita Terkini