Terlanjur Terkena Difteri, Apakah Bisa Disembuhkan? Simak Penjelasan Dokter Ahli

Editor: Sakinah Sudin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang murid ketakutan ketika petugas medis memberikan suntikan imunisasi TD (Tetanus Toxoid) di SD Kompleks IKIP Jl AP Pettarani Makassar, Selasa (22/8/2017). Kegiatan imunisasi ini guna memberikan perlindungan bagi anak-anak usia sekolah dasar untuk mencegah penyakit tetanus serta difteri. tribun timur/muhammad abdiwan

TRIBUN-TIMUR.COM - Mewabahnya penyakit difteri menimbulkan kekhawatiran di masyarakat.

Penyakit difteri merupakan penyakit yang sangat mudah menular dan bisa menyebabkan komplikasi kematian. Jika ditangani dengan cepat, penyakit ini bisa disembuhkan.

Difteri adalah penyakit yang menyerang saluran napas atas dan kulit akibat bakteri Corynebacterium diphtheriae.

Baca: Heboh! Suami Tata Janeeta Ungkap Kenakalan Nikita Mirzani. Pernah Diajak Begini

Baca: Segini Harga Telur Ayam di Palopo Jelang Natal

Kuman difteri menyebar melalui percikan air liur di udara, misalnya bersin dan batuk, sehingga amat mudah menular. Jadi, pasien difteri harus diisolasi.

"Isolasi juga bertujuan untuk membuat pasien tidak tertular infeksi lain sehingga daya tahan tubuhnya menguat," kata Dr.dr.Hindra Irawan Satari, Sp.A(K), ahli infeksi tropik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Menurut dokter yang akrab disapa Hinki ini, difteri mematikan karena bakteri penyebabnya akan menghasilkan toksin dan membentuk membran putih tebal di tenggorokan atau amandel.

Baca: Terima Undangan Pemprov Sulsel, Ini yang Buat Kadis Pemberdayaan Perempuan Selayar Tertawa

"Membran putih itu dalam beberapa hari akan menutup saluran napas sehingga pasien sesak. Jika terus turun ke saluran napas bawah, pasien makin susah bernapas sehingga harus dilubangi lehernya untuk memberi jalan napas," kata Hinki.

Racun difteri juga dapat terus menyebar ke jantung dan saraf melalui aliran darah, sehingga menimbulkan kematian.

Untuk mencegah komplikasi tersebut, pasien harus dibawa ke dokter dalam kurun waktu 72 jam setelah tertular

Baca: Viral! 7 Ramalan Gus Dur, 6 Terbukti. No 1 Soal Soeharto, No 5 Jokowi. Tinggal Ramalan tentang Ahok

Baca: Ada Tiang Nyaris Roboh di Kalumpang Loe, Begini Respon Menejer PLN Jeneponto

"Karena penyakit ini disebabkan oleh bakteri, penangannya dengan diberikan antibiotik dan juga serum antidifteri. Pasien juga harus diisolasi, diberi asupan makanan dan cairan agar kekebalan tubuh kuat. Sementara anggota keluarganya divaksin," ujar Hinki.

Dijelaskan oleh Prof.Dr.Sri Rezeki Hadinegoro SpA (K), walau penyakit ini mematikan tetapi sejatinya bisa dicegah dengan imunisasi. Tidak hanya pada anak-anak, imunisasi juga perlu dilakukan oleh orang dewasa karena kekebalan dari vaksin lama kelamaan akan berkurang.

"Saat ini banyak orang dewasa yang menjadi pembawa (carier) kuman difteri. Walau tidak menimbulkan gejala penyakit, tapi tetap bisa menularkan," katanya. (*)

Berita ini sudah diterbitkan di Kompas.com dengan judul Bisakah Penyakit Difteri Disembuhkan?

Baca: Siapa Sangka! Jokowi Ternyata Pernah Dibuat Syok Putra Sulungnya, Gibran Rakabuming. Gegara Ini

Kenali Gejala Difteri dan Jenis Vaksinnya, Jangan Sampai Anak Terkena Penyakit Berbahaya Ini

Penyakit difteri kembali mewabah di Indonesia.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan sampai dengan November 2017, ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri.

Terdapat 622 kasus, dan 32 di antaranya meninggal dunia.

Semakin meluasnya wabah difteri, membuat Kementerian Kesehatan akhirnya menetapkan status kejadian luar biasa (KLB).

Sebenarnya difteri merupakan penyakit lama.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, sejak tahun 1990-an, kasus difteri di Indonesia ini sudah hampir tidak ada dan baru muncul lagi pada tahun 2009.

Difteri disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium diphtheriae dan biasanya mempengaruhi selaput lendir hidung dan tenggorokan.

Biasanya, difteri menyebabkan sakit tenggorokan, demam, kelenjar getah bening membengkak dan lemas.

Tapi, ciri difteri yang khas adalah munculnya pseudomembran atau selaput berwarna putih keabuan di bagian belakang tenggorokan yang mudah berdarah jika dilepaskan.

Hal ini yang menyebabkan rasa sakit saat menelan, kadang disertai pembesaran kelenjar getah bening, dan pembengkakan jaringan lunak di leher yang disebut bullneck.

Sumbatan ini bisa menghalangi jalan napas, menyebabkan Anda harus berjuang untuk bisa bernapas.

Obat memang tersedia untuk mengobati difteri. Namun, pada tahap lanjut, difteri dapat merusak jantung, ginjal dan sistem saraf Anda.

Bahkan dengan pengobatan, difteri tetap bisa mematikan.

Diperkirakan ada sekitar tiga persen penderita difteri meninggal dunia. Angka ini lebih tinggi untuk anak di bawah 15 tahun.

Gejala

Biasanya, tanda dan gejala difteri dimulai dua sampai lima hari setelah seseorang terinfeksi.

Gejalanya antara lain: lapisan tebal dan abu-abu menutupi tenggorokan dan amandel, sakit tenggorokan dan suara menjadi serak, pembesaran kelenjar getah bening di leher, dan kesulitan bernapas atau bernapas cepat.

Lalu, diikuti dengan demam dan menggigil, dan rasa tidak enak badan.

Pada beberapa orang, infeksi bakteri merupakan penyebab difteri tapi hanya menyebabkan penyakit ringan -atau tidak menunjukkan gejala yang jelas.

Orang yang terinfeksi, namun tidak menunjukkan gejala dikenal sebagai pembawa difteri, karena bisa menyebarkan infeksi walau dirinya tidak jatuh sakit.

Difteri ditularkan dari orang ke orang melalui kontak fisik dan pernapasan. Hal ini dapat menyebabkan infeksi nasofaring, yang dapat menyebabkan kesulitan bernapas dan kematian.

ADVERTISING

inRead invented by Teads
Difteri juga bisa menyebabkan komplikasi yang serius.

Selama fase awal penyakit atau bahkan berminggu-minggu kemudian, pasien mungkin mengalami detak jantung yang tidak normal, yang dapat menyebabkan gagal jantung.

Beberapa pasien difteri mengalami pembengkakan otot dan katup jantung.

Komplikasi yang paling parah dari difteri adalah obstruksi pernapasan yang diikuti oleh kematian.

Selain mempengaruhi tenggorokan, ada juga tipe kedua difteriyang mempengaruhi kulit.

Jenis kedua ini menyebabkan rasa sakit khas, kemerahan dan pembengkakan yang terkait dengan infeksi kulit bakteri lainnya.

Ulkus yang ditutupi oleh membran kelabu juga dapat terjadi pada difteri kulit.

Difteri sering terjadi di daerah beriklim tropis, terutama di kalangan orang-orang dengan tinggal di lingkungan dengan tingkat kebersihan yang buruk dan padat.

Difteri juga banyak menyerang mereka yang tidak pernah mendapatkan imunisasi.

Difteria jarang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa Barat, di mana petugas kesehatan telah memberi vaksin difteri kepada masyarakat sejak anak-anak.

Sebaliknya, difteri masih umum terjadi di negara berkembang di mana tingkat imunisasi rendah.

Sebelum antibiotik tersedia, difteri adalah penyakit yang umum terjadi pada anak kecil.

Vaksin

Saat ini, penyakit ini tidak hanya bisa diobati tapi juga bisa dicegah dengan vaksin.

Indonesia sudah melaksanakan program imunisasi-termasuk imunisasi difteri sejak lebih dari lima dasawarsa lalu.

Vaksin untuk imunisasi difteri ada tiga jenis, yaitu DPT-HB-Hib, vaksin DT dan vaksi Td yang diberikan pada usia berbeda.

Umumnya, vaksin difteri dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan batuk rejan (pertusis).

Vaksin tiga dalam satu ini dikenal sebagai vaksin difteri, tetanus dan pertusis.

Vaksinasi diberikan melalui suntikan di lengan atau paha, diberikan pada anak-anak pada usia dua, empat dan enam bulan, 15 sampai 18 bulan dan empat sampai enam tahun.

Imunitas terhadap difteri berkurang seiring waktu, dan suntikan booster lebih lanjut mungkin diperlukan.

Suatu program vaksin yang mengandung difteridirekomendasikan untuk siapa saja yang belum pernah divaksinasi.

Tiga dosis diberikan pada interval bulanan dan dua dosis penguat lebih lanjut diberikan 10 tahun terpisah.

Difteri, tetanus dan pembekuan batuk rejan direkomendasikan untuk orang dewasa berusia 50 tahun ke atas dengan dosis sesuai resep dokter.

Pemberian vaksinasi difteri mungkin bisa menyebabkan beberapa efek samping. Beberapa anak mungkin mengalami demam ringan, demam, kantuk atau nyeri di tempat suntikan.

Tanyakan kepada dokter apa yang dapat Anda lakukan untuk meminimalkan atau mengurangi efek ini. (Kompas.com)

Tags:

Berita Terkini