TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dosen Bahasa Parsi dan Kajian Budaya Persia Jurusan Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin (Unhas), Supratman “Supa” Atha’na, memutuskan tak mudik Lebaran ke kampung halamannya, Labolong, Pinrang, tahun ini.
Supa Salat Idulfitri di Makassar untuk mempersiapkan keberangkatannya ke Amerika Serikat, Rabu (8/7/2016), sehari setelah Lebaran.
"Saya diundang oleh Universitas Drew University, New Jersey-Amerika Serikat. Pertemuan tanggal 9 Juli sampai dengan 30 Juli 2016. Program ini dibawah koordinasi Center on Religion Conflict and Culture (CRCC) yang berpusat di New Jersey, Amerika Serikat,” jelas Supa di Makassar, Senin (4/7).
Di Unhas, Supa yang juga Direktur Iranian Corner itu membina Bahasa Parsi, satu-satunya program studi yang ada di perguruan tinggi di Indonesia.
Supa adalah alumnus Universitas Tarbiyat Modares Teheran, Iran. Supa menyelesaikan program magister Sastra Persia di universitas pendidikan terbaik di Iran ini tahun 2006.
Mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Asia Barat (Himab) Unhas itu mewakili Indonesia dalam pertemuan itu bersama utusan dari Pakistan, Mesir, dan Nigeria.
“Dalam pertemuan ini akan dibahasa masalah tentang cara dan solusi dalam menghadapi konflik-konflik sosial yang dipicu oleh masalah agama, suku, dan budaya,” kata Supa.
Selain Supa, diundang juga dari Indonesia Dosen STAIN Kediri Maufur, Hindun Anisah dan Reza Zahid dari Bandung, Toar Palilingan dari Sulawesi utara, Franciscus Xaverius dari Jakarta, serta Ahmad Najib Burhani dari LIPI.
“Kegiatan ini juga akan menggelar pameran kebudayaan dari berbagai negara, juga mengunjungi tempat-tempat dan pusat-pusat keagamaan di New York dan Manhattan,” ujar mantan wartawan Koran Kampus Identitas Unhas itu.
Dalam Summer School itu, Supa akan menyampaikan gagasan dan pandangan kebudayaan Sulsel terkait dengan masalah penanganan konflik yang berbasis pada kebijakan lokal.
“Ada banyak kebijakan lokal di Sulawesi Selatan yang sangat efektif untuk dijadikan paradigma untuk menyelesaikan konflik maupun peristiwa-peristiwa sosial lainnnya misalnya konsep Siporannu, Sipopaddi, Sipatuo, Sipatokkong karena karena kebijakan lokal kita mengenal Ade'E temmakeana' temmakeeppo," jelas Supa.
Menurut Supa, konsep penyelesaian konflik warisan Bugis yang termaktub dalam Lontara itu tidak kalah dari pemikiran ilmuwan dunia.
“Leluhur Bugis-Makassar sudah meninggalkan warisan peradaban yang luar biasa. Ade’e temmakkeana temmakkeepo yang berarti hukum tak mengenal anak dan cucu itu sudah dicetuskan pemikir Bugis beberapa abad lalu, jauh sebelum Trias Politika dikembangkan di Indonesia,” jelas Supa.(*)