GURU Besar Filologi Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Nurhayati Rahman sudah sebulan lebih meninggalkan kampus. Prof Nurhayati “hijrah” ke Amsterdam, Belanda.
“Saya akan berada di Amaterdam hingga Agustus ini mengerjakan jilid 3 naskah I Lagaligo. Alhamdulillah semua lancar,” kata Nurhayati, Senin (8/9), via surat elektronik dari Belanda.
Anak sulung pendiri Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI), Anre Gurutta Haji (AGH) Abdurahman Matammeng itu sudah menerjemahkan jilid I dan II I Lagaligo.
“Insya Allah, bulan puasa nanti kami akan berpuasa di Belanda ini selama 19.jam 30 menit sahur jam tiga dan buka puasa pukul 11.30, terbit fajar pukul 04 dan terbenam pukul jam 10.30. Semoga Allah memberi kekuatan dan kesehatan kepada kami untuk menjalaninya,” jelas Nurhayati.
Dia akan menerjemahkan naskah I Lagaligo dari Bahasa Bugis ke Bahasa Indonesia.
Kemarin, Prof Nurhayati yang juga Wakil Ketua Pengurus Besar DDI ngopi bareng Juru Bicara Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, Husain Abdullah, di Amsterdam.
“Sudah sebulan Professor Nurhayati berjibaku di Universitas Leiden menggali karya sastra kelas dunia itu,” kata Uceng, sapaan Husain.
Uceng mampir di Amsterdam setelah menyaksikan final Liga Champions di Berlin, Jerman.
“Saya menyempatkan diri memantau proyek transkrip naskah Lagaligo. Kebetulan saya juga terlibat dalam proyek tersebut,” kata Uceng.
La Galigo terdiri dari 360 ribu bait, tiap bait terdiri dari lima pasang kalimat, menjadikan I Lagaligo yang pernah dipentaskan
Sutradara Teater asal Inggeris Robert Wilson, sebagai karya sastra terpanjang di dunia. “Bandingkan dengan Odyssei berisi kisah dewa dewa Yunani kuno yang hanya 70 ribu bait atau Mahabarata dan Ramayana sebanyak 150 ribu bait,” ujar Uceng.
Penerjemahan Jilid III I Lagaligo itu dibiayai oleh Yayasan Lagaligo yang didirikan JK dan Tanri Abeng. Total transkrip yang akan dikerjakan sebanyak 12 jilid.
“Beruntung ada Pak JK yang membantu proyek ini. Ini soal harga diri bangsa, jangan cuma naskahnya di Belanda, bangsa kita sendiri tidak faham tentang I Lagaligo,” ujar Nurhayati ke Uceng.
“Ini proyek peradaban, bukan soal biaya. Kalau orang seperti Ibu Nurhayati sudah tidak ada, khawatir tidak ada yang peduli adi luhungnya budaya orang Bugis,” kata Uceng.
Menurut Uceng, I Lagaligo itu sangat dahsyat. “Ini sangat dahsyat dan mengagumkan. Orang Luwu pada abad ke 8 sudah punya perababan,” tegas Uceng.(bie)