TNI
Wakil Panglima TNI Jenderal Tandyo Pernah Dua Kali Jadi Pejabat di Sulsel
Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Jenderal Tandyo Budi Revita menjadi Wakil Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI).
TRIBUN-TIMUR.COM, JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Jenderal Tandyo Budi Revita menjadi Wakil Panglima Tentara Nasional Indonesia atau wakil panglima TNI.
Pelantikan dilkukan dalam Upacara Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer di Lapangan Udara Suparlan, Pusdiklatpassus, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu (10/8).
Dalam acara pelantikan tersebut, Prabowo menyematkan tanda pangkat kepada Jenderal Tandyo Budi Revita dari bintang tiga menjadi bintang empat di pundak.
Baca juga: Deretan Jenderal Asal Makassar Raih Pangkat Penuh Terbaru Sjafrie-Yunus Yosfiah
Presiden lalu menyalami Jenderal Tandyo.
Posisi Wakil Panglima TNI selama 25 tahun terakhir ini kosong.
Nama terakhir yang menjabat sebagai Wakil Panglima TNI adalah Jenderal Purnawirawan Fachrul Razi pada 1999-2000.
Jenderal Tandyo sebelumnya menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakil KSAD).
Ia kemudian ditunjuk untuk mengisi jabatan Wakil Panglima yang sudah kosong selama 25 tahun terakhir. Jenderal Tandyo sebelumnya menjabat Wakasad sejak 21 Februari 2024.
Ia lahir 21 Februari 1969 silam dan merupakan lulusan Akademi Militer 1991.
Jenderal Tandyo merupakan lulusan dari kecabangan Infanteri (Kostrad).
Kariernya dua kali dia habiskan di Sulawesi Selatan.
Pada kedatangan pertamanya, ia menjabat sebagai asisten operasi Kasdam VII/Wirabuana tahun 2014.
Ketika berpangkat kolonel, ia promosi menjabat sebagai Danrem 142/Taroada Tarogau selama periode 2016-2017.
Komando Resor Militer 142/Taro Ada Taro Gau atau disingkat Korem 142/Tatag merupakan satuan teritorial yang berada di bawah kendali Kodam XXIII/Palaka Wira.
Hari jadi Korem 142/Taro Ada Taro Gau ditetapkan pada tanggal 13 November 1962. Penetapan hari jadi itu didasarkan pada Surat Pangdam VII/Wirabuana No. K/162/VII 1985, tanggal 9 Juli 1985.
Resimen Infanteri 23 merupakan cikal bakal Korem 142/Tatag. Surat Perintah Kasad No. 1672/19/1959, tanggal 24 Oktober 1959 mengatur perubahan Resimen Infanteri 23 menjadi Korem/Mattirowalie di bawah pimpinan Mayor A. Rifai, yang berkedudukan di Parepare.
Danrem ini membawahi Kodim 1401/Majene, Kodim 1402/Polewali, Kodim 1418/Mamuju, Kodim 1427/Pasangkayu, Kodim 1428/Mamasa, dan Yonif 873/Vovasanggayu (Dalam Tahap Pembangunan).
Respon Komisi DPR RI
Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn) TB. Hasanuddin menilai jabatan Wakil Panglima TNI yang kosong selama 25 tahun menjadi sangat relevan dengan kebutuhan kesatuan TNI ke depan.
Terlebih kata Hasanuddin, baru saja Presiden RI Prabowo Subianto meresmikan sejumlah satuan baru di jajaran TNI diantaranya 20 Brigade Teritorial Infanteri Pembangunan dan 100 Batalyon Teritorial Infanteri Pembangunan di jajaran TNI Angkatan Darat.
Tak hanya itu, saat ini TNI juga kata Hasanuddin, telah ketambahan 6 Komando Daerah Militer (Kodam) yang membuat makin luasnya daerah pengendalian.
"Gini ya, pelantikan atau penambahan jabatan wakil panglima TNI menurut hemat saya itu relevan ya, kenapa? sekarang ini ada penambahan 6 Komando Daerah militer, kemudian 20 brigade, dan 100 batalyon banyak loh itu," kata Hasanuddin.
"Maka jumlah pasukan makin banyak satu, dua rentang kendalinya komando dan pengendalian makin lebar ya, dan ketiga tentu tugasnya menjadi bertambah dan bervariasi," sambung dia.
Atas hal itu, menurut Hasanuddin, penambahan jabatan setingkat Wakil Panglima TNI menjadi penting ke depannya.
Pasalnya, siapapun perwira tinggi TNI yang nantinya ditunjuk sebagai Wakil Panglima TNI akan bisa membantu peran Panglima TNI dengan wilayah atau teritori pengendalian yang semakin luas tersebut.
"Sehingga dibutuhkan wakil panglima untuk menjadi panglima TNI di dalam melaksanakan tugas pokoknya begitu," ucap dia.
Hanya saja perihal dengan mekanisme terhadap penambahan jabatan Wakil Panglima TNI tersebut kata dia, sepenuhnya akan diatur dalam Peraturan Presiden RI (Perpres).
Sehingga pembahasan penambahan jabatan Wakil Panglima TNI tidak akan dilakukan di DPR RI.
"Di dalam struktur organisasi, penambahan ya, pengurangan itu tidak dicantumkan. Gini, undang-undang tidak mengatur berapa jumlah satuan-satuan TNI itu nggak diatur, jadi besarannya diatur oleh Perpres oleh Presiden," tandas dia.
Kesiapan Alutsista
Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memandang pengembangan struktur TNI yang diresmikan Prabowo perlu dilihat dalam bingkai pembangunan postur pertahanan jangka panjang, bukan semata respons instan terhadap situasi terkini.
Di satu sisi, menurut dia, langkah ini bisa memperkuat kemampuan TNI Angkatan Darat (AD), TNI Angkatan Laut (AL), dan TNI Angkatan Udara (AU) dalam menjawab dinamika ancaman, mulai dari ancaman konvensional hingga non-konvensional di darat, di ruang maritim maupun di udara.
Bagi TNI AD, kata dia, penambahan dan pengembangan satuan bisa memperkuat fungsi proyeksi kekuatan, kecepatan mobilisasi, dan kemampuan menghadapi ancaman di wilayah perbatasan maupun daerah rawan konflik.
Untuk TNI AL, menurut Fahmi, struktur baru harus diarahkan pada kemampuan sea control dan sea denial yang relevan di tengah intensitas dinamika Laut Natuna Utara dan perairan strategis lainnya.
Sedangkan di TNI AU, kata dia, pengembangan satuan idealnya meningkatkan kemampuan pertahanan udara berlapis dan proyeksi kekuatan udara jarak jauh terutama menghadapi ancaman modern.
"Catatannya, struktur baru ini jangan sampai hanya menambah lapisan birokrasi, tetapi benar-benar diikuti oleh peningkatan kemampuan operasional, kualitas personel, dan kesiapan alat utama sistem senjata (alutsista)," kata Fahmi.
"Tanpa itu, risiko yang muncul adalah organisasi menjadi lebih besar di atas kertas, tetapi tidak signifikan di lapangan," lanjut dia.
Selain itu, menurut Fahmi, dalam kaitannya dengan anggaran pertahanan, pengembangan struktur TNI berarti konsekuensi pembiayaan secara jangka panjang dan berkelanjutan, baik untuk pembangunan sarana-prasarana, pengadaan alutsista, maupun pemeliharaan dan pembinaan personel.
Menurutnya, dalam konteks itu penting memastikan bahwa penambahan struktur diiringi efisiensi, akuntabilitas dan prioritas yang jelas.
"Dengan anggaran pertahanan kita yang relatif terbatas dibanding beberapa negara lain di kawasan, setiap rupiah harus diarahkan pada pencapaian force goals yang realistis dan sesuai Optimum Essential Force," ungkap Fahmi.
"Pengembangan struktur ini harus terintegrasi dalam roadmap modernisasi TNI, sehingga tidak membebani fiskal secara berlebihan, tetapi justru memberikan nilai strategis yang optimal bagi pertahanan negara," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Centra Initiative dan Peneliti Senior Imparsial Al Araf memandang pengembangan struktur dan organisasi TNI bukan berada dalam ruang yang kosong.
Pengembangan organisasi itu, menurutnya seharusnya hanya menjadi kelanjutan dari bagaimana pemerintah membangun orientasi pertahanannya, serta kebijakan postur dan strategi pertahanannya dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Kebijakan postur dan strategi itu, menurut Al Araf, seharusnya didahului dengan membuat strategic defence review dan juga buku putih pertahanan.Sehingga, lanjut dia, sebelum membangun sektor pertahanan dan organisasi TNI, keduanya sudah sesuai dengan kebijakan postur dan strategi pertahanan yang dibuat pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertahanan.
"Sayanganya sejak prabowo jadi Menhan kita belum melihat strategic defense review-nya, buku putih pertahanan, serta kebijakan strategi dan postur pertahanananya, sehingga hal ini menjadi ruwet, kompleks dan terkesan terlihat sebagai kebijakan yang pragmatis dan tidak simultan," ungkapnya.
"Mengingat membangun kekuatan pertahanan tidak bisa dilakukan dalam waktu semalam maka kebijakan-kebijakan pertahanan tadi penting sebagai dasar pengembangan organisasi dan pembangunan tentara yang profesional secara simultan dan bertahap," kata dia.
Selain itu menurutnya, pengembangan struktur dan organisasi ini khususnya penambahan 6 komando teritorial baru menunjukkan orientasi pertahanan masih inward-looking (ke dalam) dan belum outward-looking (ke luar).
Padahal sebagai negara kepulauan dan martim, menurut dia, seharusnya pembangunan orientasi pertahanan dibangun keluar yakni outward-looking dengan membangun kekuatan armada laut, pangkalan udara strategis, serta brigade infantri dan batalyon di bawah Kostrad yang dapat dikerahkan secara cepat, bukan justru menambah struktur teritorial baru.
Apalagi, kata Al Araf, penambahan struktur komando teritorial (Koter) tidak sejalan dengan semangat reformasi TNI dan semangat dalam Undang-Undang (UU) TNI.
Menurut dia, sebagai struktur yang di masa Orde Baru adalah kelanjutan dari doktrin dwi fungsi ABRI dan berperan sosial-politik menopang rezim Soeharto, seharusnya Koter direstrukturisasi atau dikurangi, bukan ditambah.Hal itu karena doktrin dwi fungsi sudah dihapus.
Sehingga lanjut dia struktur Koter seharusnya di restrukturisasi atau dikurangi. "Sayangnya kini yang terjadi justru ditambah bukan dikurangi dan ini masalah. Apapalagi di dalam UU TNI Nomor 3 tahun 2025 di dalam bagian penjelasan tentang gelar kekuatan TNI, gelar kekuatan TNI tidak boleh mengikuti dan menduplikasi struktur pemerintahan sipil di daerah," ungkapnya.
Ia menduga penambahan struktur dan pengembangan organisasi TNI kali ini sangat pragmatis yakni untuk mengatasi penumpukan jumlah perwira TNI yang banyak Sehingga, lanjut dia, dikembangkan strukturnya tanpa menghitung implikasinya dan dampak pada beban anggaran.
Al Araf juga menduga pengembangan struktur organisasi TNI itu dilakukan tanpa didasari kebijakan postur dan startegi pertahanan yang baru."Pengembangan organisasi ini juga punya potensi tumpang tindih fungsi seperti fungsi antara Wakil Panglima TNI, Kasum (Kepala Staf Umum) TNI dan Kepala Staf Angkatan," kata dia.
Lebih dari itu, ia memandang pembentukan 100 batalion infanteri pembangunan terlalu berlebihan. Menurutnya, militer dididik, dilatih, dan dan direkrut untuk menghadapi perang.
Sehingga upaya menarik militer untuk mengatasi masalah pangan dengan membentuk batalion tersebut sudah berlebihan dan akan melemahkan profesionalisme militer sendiri untuk hadapi perang. "Pengembangan organisasi ini akan berdampak pada bertambahnya beban anggaran di sektor pertahanan. Padahal selama ini anggaran pertahanan sudah terbebani dengan banyaknya anggaran rutin dan operasional sehingga untuk membeli alutsita modern terbatas dan meningkatkan kesejahteraan prajurit juga sulit," kata dia.
"Dengan pengembangan organisasi ini akan punya dampaknya pada menambahnya beban anggaran di sektor pertahanan," pungkasnya. (Tribun Network/fik/gta/riz/wly)
Deretan Jenderal Asal Makassar Raih Pangkat Penuh Terbaru Sjafrie-Yunus Yosfiah |
![]() |
---|
Prabowo Anugerahkan Dua Tokoh Militer asal Sulsel Pangkat Jenderal Bintang 4 |
![]() |
---|
Prabowo Naikkan Pangkat Kopassus, Marinir, dan Kopasgat Jadi Bintang 3 |
![]() |
---|
Panglima Ganti Jenderal Danpaspampres Era Presiden Joko Widodo |
![]() |
---|
TNI Turun Gunung Kerahkan Intel Endus Preman Berkedok Ormas |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.