Citizen Analisis
Memuji dengan Kritikan, Pun Belum Cukup Menggambarkan Mulawarman
Tetapi Bang Mul, tetap konsisten. Besok pagi akan kembali 'menyerang.' Janganlah berharap pujian darinya
Oleh: Zulkarnain Hamson
Menulis dari Maros
TRIBUN-TIMUR.COM - Mulawarman adalah kritik itu sendiri. Sosoknya unik dan kata yang tepat untuknya adalah 'manusia otentik'.
Ia adalah simbol kebersahajaan. Mungkin juga kejengkelan bagi mereka yang pernah ataupun sedang dalam 'bidikan' komentar (kritiknya).
Sekira 8-9 tahun terakhir, Bang Mul, begitu ia sering disapa, mewarnai grup IKA UNHAS, saya belajar pada gaya Bang Mul mengkonstruksi rasa gundah gulana, baik itu person, situasi juga kebijakan dan saya tertarik menuliskannya.
Dalam kamus hidup Mulawarman, tak ada kosa kata istimewa, hari ini dijempol, besok mungkin jadi bulan-bulan kritiknya.
Mau marah, silakan. Juga mau terima silakan. Begitu kira-kira menggambar hasrat Bang Mul, merespon sesuatu.
Jiwa jurnalis bersemayam dalam dirinya secara permanen. Maka tak heran jika Bang Mul, 'mengalir' mengikuti liukan tahun dan peralihan era.
Hari ini berteriak tentang nasib mahasiswa, besok marah pada kasus pribadi. Pekan kemarin bertutur tentang tokoh politik utama bangsa, tetapi pekan ini menyoroti kepala daerah. Hampir tak ada yang lolos dari 'lensanya'.
Sedikit yang bisa tahan, tetapi tidak sedikit juga yang ikut terbawa emosi. Empat tahun lalu saya pernah rasa jadi 'korban' kritiknya.
Keberanian dalam kata-kata, tidak sedikit mengenal tempat, batas waktu juga orang. Maka berkali-kali komentarnya dengan ciri yang saya sebut otentik memakai huruf kapital (besar), itu cukup memberi gambaran simbol kemarahan, masih pula diikuti dengan emotikon wajah bulat merah (lobe-lobe).
Anehnya beberapa menit kemudian bisa berganti dengan kata-kata mendayu-dayu, tetapi tetap huruf besar dan menyertakan lobe-lobe merah. Mereka dengan status 'sumbu pendek' akan mudah jadi meledak.
Tetapi Bang Mul, tetap saja konsisten. Besok pagi akan kembali 'menyerang.' Janganlah berharap pujian darinya, karen kritik keras dan pedas itulah 'pujian'. Bang Mul, mengajarkan kita cara pandang (perspektif) berbeda. Juga kejujuran.
Pagi tadi saya agak terkejut membaca grup IKA Unhas, karena seorang bupati periode lalu bertanya mengapa grup IKA besar hilang. Saya penasaran dan membukanya, ternyata benar grup WhatsApp itu terbaca sudah dihapus. Pertama yang saya ingat adalah Bang Mul, bagaimana nasib lobe-lobe merah karena grup itu identik dengan emotikon ????.
Tak jarang saya dibuat tertawa atau berkerut kening, bagaimana tidak Bang Mul, melontarkan kritiknya tepat di depan orangnya. Juga tak peduli, apakah pejabat tinggi atau adik-adik angkatan.
Semakin ditanggapi semakin panjang dan penuh warna. Ia paham betul bagaimana meluruskan yang dianggap keliru. Hari ini walikota besok gubernur jadi sasaran dan tak terbayangkan bagaimana mereka yang ada di grup itu bereaksi.
Mulawarman adalah guru, sejak saya masih berada di lembaga kemahasiswaan, Bang Mul bersama Bang Hasymi Ibrahim sudah menjadi mentor bagi kami. Sekalipun tidak satu fakultas, namun cara mereka berdua melintasi fakultas menunjukkan jiwa pejuang yang saya sebut otentik.
Menuliskan sosok Bang Mul, tidak cukup untuk menggambarkan jiwa dan kepribadiannya. Ia simbol kebajikan, kebenaran, keberanian dan konsistensi sikap pada cara-cara memperjuangkan kepentingan publik, melalui kritik. Terserah bagaimana cara kita memahaminya.
Saya juga mengenal gaya jurnalisnya yang tak lekang oleh waktu. Bang Mul selalu terlihat energik, penuh semangat, penekun literatur dan penulis buku yang produktif. Karya-karyanya menumpuk dan berada dalam rak pajang penerbit nasional.
Mungkin dalam filosofi hidupnya, tidak ada kawan sejati, dan tak ada musuh yang abadi, Bang Mul protes saat kalimat itu terucap dari mulut saya.
Katanya menimpali kalimat itu "Belajarlah pada Nabi Muhammad menjalin persahabatan," ujarnya menasihati saya.
Selain Bang Mul, saya kenal adik beliau bernama Mulapada (almarhum), juga sama berprofesi sebagai seorang wartawan di Palu, Sulawesi Tengah.
Cerita saya dan Mulapada cukup bisa dikenang terutama saat itu kami masih jadi mahasiswa, saya dan empat orang kawan sedang dalam tugas lembaga mahasiswa untuk sosialisasi Ikatan Mahasiswa Ilmu Sosial dan Politik Indonesia (IMAISPI).
Tugas itu diamanahkan oleh Ketua Bang Saifullah Yusuf (kini menteri sosial), era 1992 saat Orde Baru (ORBA) demonstrasi mahasiswa sangat ditakuti, dan kami akhirnya diintai polisi hingga ke Manado, karena demonstrasi besar pecah usai gelar diskusi sehari sebelumnya bersama Bang Mulapada.(*)
Camba, 29 Juli 2025
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/Zulkarnain-Hamson.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.