RS Labuang Baji
Stok Obat Rumah Sakit Labuang Baji Makassar Menipis, Dewan Soriti Kebijakan Baru Pemprov Sulsel
Direktur Jenderal Pemeriksaan Keuangan Negara III (Dirjen PKN III) BPK RI, Dede Sukarjo, dalam sidang paripurna ikut menyimak kritikan tersebut.
Penulis: Erlan Saputra | Editor: Abdul Azis Alimuddin
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) dirundung masalah lagi.
Kali ini, krisis obat ditemukan di sejumlah rumah sakit milik Pemprov.
Anggota DPRD Sulsel Andi Patarai Amir (49), tak bisa menahan emosinya.
Dia meminta Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman (41), segera evaluasi.
Kondisi ini mengkhawatirkan karena berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Rabu (28/5/2025), mantan Ketua DPRD Maros ini meluapkan kekesalannya dalam sidang agenda penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2024, di gedung DPRD Sulsel, Jl Urip Sumoharjo, Makassar.
“Loh, kok bisa tersendat pengadaan obat? BKAD dan Dinkes paham nggak ini tentang BLUD rumah sakit? Mereka bilang harus proses berjenjang, tapi prosesnya malah telat. Akibatnya pelayanan di rumah sakit jadi terhambat,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pemeriksaan Keuangan Negara III (Dirjen PKN III) BPK RI, Dede Sukarjo, dalam sidang paripurna ikut menyimak kritikan tersebut.
Persoalan keterlambatan distribusi obat di rumah sakit merupakan bukti nyata adanya masalah serius dalam mekanisme pengadaan yang berlaku.

Dia menegaskan, pencapaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI bukan jaminan pelayanan berjalan lancar.
Pemprov harus bertanggung jawab atas mekanisme pengadaan obat yang terhambat, berdampak negatif pada pelayanan kesehatan.
“Kami apresiasi Gubernur dan Wagub yang mempercepat pelayanan, tapi kenyataannya di lapangan sangat berbeda,” tegasnya.
Patarai menyebut rumah sakit membutuhkan waktu dua bulan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan baru yang diterapkan oleh Pemprov.
Kebijakan tersebut mengharuskan proses pengadaan obat melalui Bappeda dan BKAD, yang justru memperlambat distribusi.
“Jadi ini sebagai catatan BPK nanti perihal apa yang sedang terjadi di RS,” katanya.
Salah satunya, RS Labuang Baji, Unit Pelayanan Teknis Dinas Kesehatan (UPT Dinkes) Pemprov Sulsel.
Patarai mengaku telah melakukan inspeksi mendadak, Rabu (28/5/2025).
Selama sidak, ditemukan kekurangan stok obat.
Sidak setelah menerima informasi terkait stok obat di RS Labuang Baji menipis.
“Kenyataannya seperti itu. RS mengakui keterlambatan distribusi obat akibat perubahan mekanisme,” jelasnya.
Menurutnya, Labuang Baji harusnya memiliki fleksibilitas anggaran membeli obat sesuai kebutuhan tanpa harus menunggu proses birokrasi panjang.
“Ini bikin bingung kami karena RS ini BLUD. BLUD kan bisa langsung menggunakan uangnya, bisa setiap saat beli obat,” katanya.
“Tapi kenyataannya sekarang RS harus melalui mekanisme berbelit, harus ke Bappeda, ke keuangan, ke barang dan jasa. Ini menyebabkan keterlambatan pasokan obat-obatan,” jelasnya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.