Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Warga Sulsel Ramai-ramai Daftar Pinjol Pasca Lebaran, Pengamat: Lebih Mudah Cairnya dari Bank!

Apalagi usai merayakan hari raya idul fitri, banyak masyarakat yang menggunakan pinjol untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Penulis: Renaldi Cahyadi | Editor: Saldy Irawan
Prof Dr Anas Iswanto Anwar
PROFESOR UNHAS - Pengamat Ekonomi Universitas Hasanuddin, Anas Iswanto. Anas sebut kondisi ekonomi saat ini sangat menekan masyarakat. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) semakin gemar dengan pinjaman online (Pinjol).

Apalagi usai merayakan hari raya idul fitri, banyak masyarakat yang menggunakan pinjol untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Dalam data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total pinjaman melalui layanan pinjaman daring atau Fintech Peer to Peer (P2P) Lending di Sulsel mencapai Rp1,78 triliun hingga Desember 2024.

Hal ini mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk Pengamat Ekonomi Universitas Hasanuddin, Anas Iswanto.

Ia mengatakan, kondisi ekonomi saat ini sudah sangat menekan masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. 

"Jadi memang ini kan kalau dilihat kondisi-kondisi sekarang ini sudah jatuh ke timpat tanggal lagi, karena sudah kesulitan kemudian daya beli turun," katanya saat dihubungi, Rabu (9/4/2025).

Di tengah kesulitan tersebut, kata Anas, bagi mereka yang masih memiliki tabungan di bank, menarik uangnya menjadi salah satu solusi. 

Namun, bagi mereka yang tidak memiliki dana, mencari pinjaman melalui platform pinjol menjadi pilihan yang mudah.

"Sangat mudah untuk mengakses pinjaman online hanya dengan menggunakan handphone, berbeda dengan proses yang harus dilalui di bank," ungkapnya.

Namun, Anas menegaskan, ada masalah besar terkait literasi keuangan di masyarakat, khususnya pemahaman tentang pinjaman online. 

Banyak yang tidak menyadari bahwa pinjaman tersebut harus dikembalikan dan akan ada bunga yang dikenakan.

"Pinjaman itu untuk dikembalikan, dan itu bukan tanpa konsekuensi. Mestinya pinjaman ini digunakan untuk tujuan yang produktif, yang bisa menghasilkan, karena harus dibayar kembali," ujarnya.

"Namun, sebagian besar pemanfaatannya untuk konsumsi, yang justru menambah beban keuangan," tambah dia.

Ia mengingatkan, jika kebutuhan masyarakat lebih bersifat konsumtif dan bukan untuk investasi atau produktivitas, maka risiko gagal bayar semakin besar. 

"Ini akan berakhir pada masalah yang lebih besar lagi, karena pada akhirnya banyak yang tidak bisa membayar kembali pinjaman mereka," kata Anas.

Adapun kata Anas, beberapa langkah untuk mengatasi masalah ini adalah, pentingnya untuk memahami mengapa masyarakat terpaksa meminjam, terutama jika pinjaman tersebut digunakan untuk konsumsi tanpa ada penghasilan tetap. 

"Orang yang punya pendapatan tidak perlu meminjam. Jika pendapatan tidak ada, maka solusi dari pemerintah adalah menciptakan kesempatan kerja yang dapat memberikan pendapatan bagi masyarakat," ungkapnya.

Menurutnya, dengan meningkatnya biaya barang dan jasa akibat perubahan kebijakan ekonomi internasional, banyak perusahaan yang mungkin akan mengurangi produksi atau bahkan merumahkan karyawan. 

Hal ini tentu memperburuk kondisi masyarakat yang tidak memiliki tabungan di bank.

"Solusinya adalah menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan, baik itu melalui kebijakan pemerintah atau dengan menarik investor untuk membuka lebih banyak kesempatan kerja," jelasnya.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved