Bedah RUU KUHAP
11 Rekomendasi Workshop RUU KUHAP Unhas: Jaksa Tidak Mengintervensi Kewenangan Penyidikan Polri
11 poin rekomendasi itu, dibacakan oleh moderator workshop yang merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Unhas, Prof Amir Ilyas.
Penulis: Muslimin Emba | Editor: Alfian
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Workshop RUU KUHAP merekomendasikan agar chek and balance antar penegak hukum Polri dan Jaksa tidak mengintervensi kewenangan penyidikan Polri.
Rekomendasi itu tertuang dalam 11 poin rekomendasi workshop yang menghadirkan lima guru besar hukum pidana yang menjadi narasumber.
11 poin rekomendasi itu, dibacakan oleh moderator workshop yang merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Unhas, Prof Amir Ilyas seusai kegiatan.
"Dalam pengetahuan kita bersama, revisi KUHAP yang kini telah menjadi program legislasi nasional prioritas 2025 oleh DPR RI, maka kegiatan workshop ini, memberikan 11 poin rekomendasi," kata Prof Amir Ilyas seusai workshop yang berlangsung di Hotel Unhas, Jl Perintis Kemerdekaan, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Jumat (21/2/2025).
Poin pertama rekomendasi tersebut adalah, perlunya publikasi RUU KUHAP yang terbaru, muda diakses oleh semua pihak, dengan mengigat RUU KUHAP bukan hanya melibatkan para penegak hukum (Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim) semata, tetapi seluruh rakyat Indonesia yang bersendikan penghargaan terhadap hak asasi manusia dan masyarakat yang beradab.
Kedua, Prinsip check and balance, prinsip diferensiasi fungsional harus lebih diutamakan, daripada memberlakukan prinsip dominis litis secara serta merta. Dimana fungsi penyelidikan dan penyidikan harus tetap menjadi "independensi" kepolisian, begitupula dengan fungsi penuntutan harus tetap menjadi "independensi" Kejaksaan.
Ketiga, dalam rangka menjalankan prinsip check and balance demikian, agar tetap tercipta independensi diantara "kepolisian dan kejaksaan ketentuan-ketentuan dalam RUU KUHAP yang melemahkan independensi penyidikan Polri, seperti Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 50, Pasal 72, Pasal 95, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 120, Pasal 145, dan Pasal 200 perlu pengkajian lebih lanjut dengan melibatkan berbagai kalangan, terutama pihak kepolisian sebagai pihak yang terdampak dengan rencana revisi KUHAP.
Keempat, Fungsi penyidikan kepolisian agar tetap terjamin independensinya dengan tetap memberlakukan prinsip otonomi terbatas, maka pembentuk undang-undang tidak boleh terdistorsi dan terstigma citra institusi yang dapat berubah sewaktu-waktu, arah dan perbaikan KUHAP ke depannya harus berjalan secara netral dengan pengutamaan hak asasi manusia dan penegakan hukum yang berkeadilan.
Kelima, Pelemahan independensi penyidikan Polri diantaranya pengawasan dan pemberian petunjuk, pengarahan kepada penyidik Polri oleh Jaksa, pengambilalihan kewenangan penyidikan tindak pidana umum oleh jaksa, penggeledahan dan penahanan oleh penyidik polri berada dalam kontrol jaksa, penghentian penyidikan oleh Jaksa tanpa perlu persetujuan penyidik Polri, pengawasan BAP penyidik Polin oleh Jaksa, kesemuanya terkualifikasi sebagai ketentuan yang perlu perbaikan sebelum dibahas dan disetujui oleh DPR bersama pemerintah.
Keenam, Adapun perbaikan atas ketentuan tersebut yaitu dengan tetap mempertahankan fungsi-fungsi penyidikan Polri sebagaimana yang telah berlangsung lama dalam praktik, dimana fungsi penyidikan untuk tindak pidana umum sebagai kewenangan mutlak Polri, hanya pada tindak pidana tertentu (seperti korupsi, narkotika, HAM berat, terorisme) menjadi wewenang Jaksa dengan tetap harus berkoordinasi dengan Polri sebagai penyidik utama.
Ketujuh, Pelaksanaan prinsip check and balance antara Polisi dan Jaksa bukan dengan seolah-olah meletakkan institusi kepolisian sebagai bawahan institusi kejaksaan, penyidikan, penggeledahan, penahanan, semuanya tersentralisasi pada kejaksaan sebagai institusi yang bisa menentukan penghentian dan keberlangsungannya harus dikembalikan dalam fungsi aslinya, Polri sebagai penyidik independen, Jaksa juga sebagai penuntut yang independen, dalam fungsi pengawasan yang bersifat horizontal, sama-sama saling mengawasi.
Kedelapan, Hal-hal yang menyangkut kesalahan syarat dan prosedur penyidikan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, penyitaan justru akan menciptakan penumpukan kekuasaan jika berada dalam penilaian Kejaksaan, oleh karena itu pengadilanlah yang harus diberi kewenangan untuk menilainya dengan mengadakan Hakim Pemeriksa Pendahuluan atau memperbaiki mekanisme praperadilan yang telah berlangsung selama ini berikut dengan melakukan harmonisasi atas Putusan MK yang berkenaan dengan hasil uji materi praperadilan.
Kesembilan, Perbaikan tata kelola, reformasi penyidikan Polri, bukan dengan menjadikan Jaksa sebagai pengawas penyidik Polri, mengingat jaksa juga berada dalam kendali dan pengangkatan oleh Presiden, rentan politisasi kasus, akan tetapi dengan peningkatan SDM Kepolisian, pengawasan Kompolnas, atau pembentukan lembaga independen untuk mengatasi kelemahan penyidikan,
Kesepuluh, Pasal-pasal sebagaimana yang telah diuraikan di atas perlu direvisi untuk memastikan independensi kewenangan penyidikan polri berikut kewenangan Kejaksaan tidak melampaui fungsi penuntutan.
Kesebelas, Selain RUU KUHAP harus terbentuk dalam prinsip check and balance antar penegak hukum Polri dan Jaksa, tidak mengintervensi kewenangan Penyidikan Polri, pembaharuan KUHAP ke depannya tentu harus menciptakan keseimbangan kewenangan dalam hal penyelesaian tindak pidana yang memenuhi syarat diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif.
Prof Aswanto Paparkan 4 Model Kemandirian Peradilan
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI Periode 2018-2021, Prof Dr Aswanto, membeberkan empat role model kemandirian peradilan yang berkembang di dunia.
Empat poin kemandirian peradilan itu ia paparkan saat menjadi narasumber dalam Workshop RUU KUHAP yang berlangsung di Hotel Unhas, Jl Perintis Kemerdekaan, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Jumat (21/2/2025).
Meski belum ada materi pasti rancangan KUHAP yang bakal digodok atau disahkan DPR RI, Prof Aswanto mengatakan, itu bukanlah masalah utama.
"Problemnya adalah mau dibawa kemana ini KUHAP?," ujar Prof Aswanto mengawali pemaparan materinya.
Prof Aswanto yang malang melintang di dunia kehakiman, mengatakan, KUHAP sangat ditentukan dengan kemandirian peradilan yang dianut setiap negara.
"Kalau kita berbicara hukum acara, maka suka tidak suka kita tidak bisa lepas dari kemandirian peradilan. Apa yang mengisi substansi hukum acara sangat ditentukan oleh kemandirian peradilan yang dianut suatu bangsa atau negara itu," ucapnya.
Adapun empat poin kemandirian peradilan yang berkembang di dunia kata Prof Aswanto, dimulai dari Crime Control Model.
"Crime control model ini memang dibikin sedemikian rupa, banyak hambatan-hambatan yang dibikin agar setiap tahapan itu tidak ada kesalahan," terang Prof Aswanto.
"Tidak ada penyimpangan-penyimpangan, tidak ada tindakan-tindakan yang tidak memanusiakan manusia. Sehingga indikator keberhasilan hukum acara Crime Control Models ini, ditentukan seberapa lama perkara itu bisa selesai," lanjutnya.
Yang kedua, due procces model, yaitu model peradilan yang sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia.
"Due procces model ini, sangan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Nggak perlu ada penahan, nda perlu ada borgol-borgolan. Nah proses KUHAP kita mau dibawa kemana? Apakah masih mau mempertontonkan orang yang diborgol?," ucapnya.
Kemudian yang ketiga, adalah Family Models.
Penganut Family Model itu kata Aswanto adalah tidak ada batasan antara pemeriksa dan yang diperiksa.
"Yang harus diciptakan dalam penganut Family Model ini adalah penyidik harus betul-betul profesional," terang Aswanto.
"Harus mampu memperoleh informasi yang benar dengan cara tanpa kekerasan atau tanpa ancaman. Jadi dianggap seperti keluarga," lanjutnya.
Selanjutnya yang ke empat adalah Guardians Model atau model pengayoman.
"Model pengayoman itu artinya aparatur penegak hukum terutama dalam tahap penyelidikan dan penyidikan sampai tahap putusan sebenarnya, itu betul-betul harus memberi rasa nyaman kepada yang bersangkut dengan hukum," terang Aswanto.
"Tidak boleh ada tekanan sikologis, tidak boleh ada tekanan menakutkan," sambungnya.
Khusus di Indonesia, kata Aswanto, model peradilannya identik dengan Guardian Model.
Sebelumnya diberitakan, Rencana Revisi Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) dibedah lima guru besar hukum pidana di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Mereka membedah RUU KUHAP itu, melalui workshop yang berlangsung di Hotel Unhas, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Jumat (21/2/2025).
Total ada lima guru besar hukum pidana ternama yang dihadirkan dalam workshop bertemakan 'Reformasi Hukum Acara Pidana: Implikasi dan Tantangan Penegakan Hukum di Indonesia' itu.
Ada pun lima narasumber yang dihadirkan, yaitu Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI Periode 2018-2021, Prof Dr Aswanto, Rektor Universitas Muslim Indonesia Prof Dr Hambali Thalib.
Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Prof Dr Heri Tahir, Guru Hukum Pidana UIN Alauddin Makassar Prof Dr Sabri Samin dan Guru Besar Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Unhas Prof Dr Said Karim.
Peserta yang menghadiri workshop itu, juga dari kalangan praktisi hukum pidana, advokat dan dosen hukum pidana dari berbagai kampus di Kota Makassar.
Wacana Revisi RUU KUHAP ini, memang belakang ini mencuat seiring munculnya berbagai persoalan oleh aparat penegak hukum.
Workshop itu dipandu moderator guru besar Fakultas Hukum Unhas, Prof Dr Amir Ilyas.
Seperti apa, jalannya workshop itu? Tribun-Timur akan mengupdate pada berita berikut.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.