Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pelantikan Kepala Daerah

Masa Jabatan Danny, Adnan, Kaswadi, Basli Ali, Indah, Budiman Terpotong Setahun

Sebanyak 11 kepala daerah hasil Pilkada 2020 lalu terpotong masa jabatannya setahun.

Editor: Muh Hasim Arfah
Tribun Timur/ Istimewa/Humas Pemkab Barru/tribun timur
MASA JABATAN TERPOTONG-Kolase foto Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto, Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan, Bupati Barru Suardi Saleh, Bupati Soppeng Andi Kaswadi Razak, dan Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani. Kepala Daerah se-Sulawesi Selatan hasil Pilkada 2020 terpotong masa jabatannya saat pelantikan kepala daerah baru, 20 Februari 2025. 

Terhadap dalil para Pemohon mengenai Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada, sambung Saldi,  Mahkamah perlu mengaitkannya dengan petitum para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar norma Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada dimaknai “Pemungutan suara serentak untuk 276 Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang mengakhiri masa jabatan pada tahun 2022 dan 2023 dilaksanakan pada Bulan November 2024 dan Pemungutan Suara serentak untuk 270 Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 dilaksanakan pada Desember 2025”.

Terhadap petitum demikian, menurut Mahkamah justru akan menghilangkan makna keserentakan yang telah dirancang oleh pembentuk undang-undang.

Sebab, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala dearah serentak secara nasional telah disusun desain penyelenggaraan transisi yang terdiri atas beberapa gelombang, yaitu pelaksanaan pemilihan serentak pada 2015, 2017, 2018, 2020, dan November 2024. 

Terlebih lagi, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024, Mahkamah telah menegaskan jadwal pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016, yaitu November 2024.

“Meskipun penegasan terkait dengan jadwal tersebut tidak diamarkan dalam putusan tersebut, namun melalui putusan a quo, Mahkamah penting menegaskan kembali bahwa pertimbangan hukum putusan Mahkamah juga mempunyai kekuatan hukum mengikat sebab pertimbangan hukum merupakan ratio decidendi dari putusan secara keseluruhan. Berdasarkan pertimbangan hukum, maka permohonan para Pemohon berkenaan dengan norma Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 yang mengakibatkan berubahnya jadwal pemungutan suara serentak secara nasional adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Saldi.

 

Pendapat Berbeda

Putusan MK tersebut diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.

Menurut Daniel, Mahkamah seharusnya melakukan pendalaman lebih lanjut terhadap perkara tersebut, setidak-tidaknya mendengar keterangan Pemerintah terkait evaluasi pelaksanaan pengisian penjabat kepala daerah setelah Putusan MK Nomor 37/PUU-XX/2022 dan pemaknaan baru terhadap Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 dalam Putusan MK Nomor 143/PUU-XXI/2023.

Terlebih lagi, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia telah mengajukan Surat Nomor 100.4.8/875/SJ, tanggal 19 Februari 2024, perihal Permohonan Untuk Menyampaikan Keterangan Pemerintah, yang pada pokoknya memohon kepada Ketua Mahkamah Konstitusi RI agar diberikan kesempatan untuk menyampaikan Keterangan Pemerintah dalam proses persidangan Perkara Nomor 27/PUU-XXII/2024.

Oleh karenanya, Daneil berpendapat, Mahkamah semestinya melanjutkan pemeriksaan perkara a quo ke tahap sidang pleno untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif dan akurat.

Pada sidang terdahulu Rabu (7/2/2024) para Pemohon menyebutkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Para Pemohon menilai pembentuk undang-undang tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan Pilkada Serentak 2024, sehingga berpotensi menghambat pemilihan kepala daerah yang berkualitas. 

Sebab, berpedoman dari pengalaman Pemilu Tahun 2019, menunjukkan fakta bahwa terdapat beban tugas penyelenggaraan ad hoc yang tidak rasional dan terlalu berat. Tercatat dalam Pemilu tahun 2019 menewaskan kurang lebih 894 petugas ad hoc dan 5.175 petugas sakit akibat kelelahan. 

Sehingga apabila tahapan Pilkada Serentak Nasional 2024 dipaksakan dilaksanakan bersamaan dengan Pilpres dan Pileg 2024, maka hal itu dapat berakibat fatal sebab berpotensi kejadian buruk Pemilu tahun 2019 terulang kembali. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved