Catatan Akademisi
Refleksi di Hari Jadi Wajo ke-624: Antara Kebanggaan Historis dan Feodalisme Birokratis
Di tahun-tahun lalu, puncak peringatan HJW selalu digelar persis di tanggal itu mengingat nilai historisnya yang penting.
Oleh:
Wahyuddin Halim
Dosen UIN Alauddin Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Setiap 29 Maret, pemda dan masyarakat Wajo memperingati Hari Jadi Wajo (HJW).
Dihitung sejak pelantikan raja Wajo' (Batara Wajo) pertama, La Tenribali pada 1399, tepat hari ini Wajo menginjak usia ke-624 tahun.
Di tahun-tahun lalu, puncak peringatan HJW selalu digelar persis di tanggal itu mengingat nilai historisnya yang penting.
Namun, puncak peringatan HJW tahun ini diundur hingga setelah lebaran.
Penundaan itu rupanya bukan karena faktor bulan Ramadan, tapi karena menyesuaikan dengan agenda kerja Gubernur Sulsel, Sudirman Sulaiman (Pedoman Media, 20/3/2023).
Padahal, dua pekan lalu diberitakan (pilarmedia.id, 12/3), saat ditemui Bupati Wajo Amran Mahmud, gubernur sudah menyanggupi untuk hadir di tanggal itu.
Lewat beberapa portal media online, Pemda Wajo bahkan sudah mewartakan rangkaian kegiatan peringatan HJW ke-624.
Misalnya, upacara resmi di Lapangan Merdeka Sengkang akan diadakan di sore hari hingga waktu berbuka puasa, disusul salat Magrib berjamaah dan makan malam bersama.
Agenda lainnya adalah pembukaan pasar murah dan pameran UMKM.
Keputusan menunda puncak peringatan HWJ karena gubernur tidak dapat hadir, menurut penulis, mereduksi nilai penting peristiwa ini. Kehadiran gubernur seakan lebih penting daripada nilai historis HJW.
Tapi ini juga tidak mengagetkan. Sejak tahun 1990-an, di hampir setiap peringatan HJW, dan juga hari jadi kabupaten-kabupaten lainnya di Sulsel, puncak peringatan hanya disarati acara protokoler yang menempatkan gubernur atau pejabat lebih tinggi on the spotlight.
Kedatangannya ke tempat acara selalu disambut bagaikan seorang raja dalam kisah-kisah kerajaan masa lalu.
Selain melewati hamparan karpet merah dengan stelan baju adat yang mentereng, gubernur juga menjadi fokus utama agenda protokoler acara.
Seremoni HJW yang masih menempatkan para pejabat pemprov dan pemkab sebagai episentrum penghormatan dapat menyuburkan kembali budaya feodalisme.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.