Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Hutan Lindung

Ketua FKH Tanggapi Kasus Dugaan Penyerobotan Hutan Lindung Jufri Sambara

Jufri Sambara diduga membangun vila di kawasan hutan lindung Pongtorra, Desa Polopadang, Kecamatan Kapala Pitu, Kabupaten Toraja Utara.

Penulis: Noval Kurniawan | Editor: Muh. Irham
zoom-inlihat foto Ketua FKH Tanggapi Kasus Dugaan Penyerobotan Hutan Lindung Jufri Sambara
ist
Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH), Ahmad Yusran

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH), Ahmad Yusran angkat suara terkait kasus dugaan penyerobotan hutan lindung di Toraja Utara yang dilakukan anggota Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan (DPRD Sulsel) periode 2019-2024, Jufri Sambara.

Jufri Sambara diduga membangun vila di kawasan hutan lindung Pongtorra, Desa Polopadang, Kecamatan Kapala Pitu, Kabupaten Toraja Utara.

Kini, kasus itu masih ditindak lanjuti pihak Polisi Daerah (Polda) Sulsel.

Ketua Forum Komunitas Hijau, Ahmad Yusran kemudian memberikan tanggapan perihal kasus Jufri Sambara.

Menurutnya, penanganan perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan telah mengalami banyak perkembangan.

Khususnya terkait kebijakan kriminal dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UU PPLH) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XII/2014 dan berlakunya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disingkat UU CK).

Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU XVIII/2020 menguji konstitusionalitas pembentukan UU CK (uji formil) merupakan salah satu dinamika hukum yang harus disikapi dan diantisipasi. 

Yakni terkait keberlakuan UU CK untuk kepastian hukum dalam penanganan perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dia menilai, Kejaksaan Republik Indonesia di mana fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan kekuasaan negara.

Terkhusus di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang mempunyai fungsi dan peran penting dalam penegakan hukum di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan.

"Penanganan perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehuatanan itu mempunyai karakteristik khusus dan sangat kompleks," katanya, Selasa (25/10/2022).

"Antara lain terkait pemenuhan alat bukti serta pelaksanaan pidana dan tindakan yang berorientasi pada pemulihan dan pengembalian fungsi lingkungan hidup dan kehutanan," sambungnya.

Untuk menyikapi berbagai dinamika hukum dimaksud, lanjut Yusran, harus ada pedoman, baik dari kepolisian, kejaksaan hingga di pengadilan.

Kususnya bagi penuntut umum dan jaksa dalam menangani perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan sebagaimana diatur dalam UU PPL dengan mengakomodasi hal-hal sebagai berikut : 

Pertama, terkait koordinasi dalam rangka penegakan hukum terpadu (vide Pasal 95 ayat (1) UU PPLH), harus dimaknai bahwa pelaksanaannya dilakukan tanpa mengurangi kedudukan jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis).

Kedua, penegakan hukum di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tidak jarang berbenturan dengan aktivitas pihak yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Sehingga diperlukan penguatan pengaturan tentang pelindungan hukum terhadap setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup (side Panal 66 UU PPLH). 

Pelindungan hukum ini dikenal dengan konsep Anti Strategin Litigation Against Public Participation (ANTI-SLAPP).

Ketiga, dengan berlakunya UU CK, beberapa ketentuan pidana dalam UU PPL mengalami perubahan.

Antara lain, perbuatan yang sebelumnya dikualifikasikan sebagai delik form didepenalisasi sehingga dikualifikasikan sebagai pelanggaran administrasi dan dikenal sanksi administratif. 

"Dengan demikian, kebijakan kriminal dalam UU PPL lebih dititik beratkan pada delik materil. Selain itu, ada juga perbuatan yang dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi pidana (kumalasi eksternal)," jelasnya.

Pengaturan kebijakan ini dan penerapannya dilakukan dengan mengedepankan pemulihan dan pengembalian fungsi lingkungan hidup dan kehutanan berdasar pada prinsip pidana sebagai jalan terakhir (ultimum remedium).

Keempat, perkembangan tipologi dan modus tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan banyak melibatkan badan usaha (korporasi sebagai pelaku tindak pidana).

Namun demikian, Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Bubjek Hukum Korporasi belum mengatur secara khusus penanganan perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan.

"Hidup yang dilakukan oleh badan usaha (korporasi), dikaitkan dengan pengenaan pidana tambahan atau tindakan tata tertib sebagaimana diatur dalam Pasal 119 UU PPL," ucap Dewan Pembina Sintalaras UNM. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved