Opini Tribun Timur
Good University Governance
Tulisan ini terinspirasi dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK, terhadap raktor Universitas Lampung (Unila), Sabtu (20/8/2022).
Oleh: Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar dan Wakil Ketua Dewan Pendidikan Sulawesi Selatan
Tulisan ini terinspirasi dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK, terhadap raktor Universitas Lampung (Unila), Sabtu (20/8/2022).
Selain Rektor, penangkapan itu juga disertai tiga orang lainnya masing-masing Wakil Rektor I Bidang Akademik, Ketua Senat Universitas Lampung; dan AD sebagai swasta.
Rektor Prof Karomani diduga kuat menerima suap terkait penerimaan mahasiswa di Universitas Lampung.
Kasus OTT ini, tentu saja disayangkan sebab terjadi pada diri rektor yang juga menyandang gelar Profesor atau Guru Besar.
Demikian juga kejadiannya di lembaga pendidikan, tempat dimana orang memelihara dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui Tridarma Perguruan Tinggi.
Dari sinilah seharusnya kehidupan berawal.
Dengan begitu jika lembaga pendidikan dikotori oleh pikiran dan perilaku yang korup, apalagi oleh pimpinannnya, maka ini menjadi alamat buruk bagi kehidupan manusia, kemanusiaan dan kebenaran.
Apa yang terjadi di Universitas Lampung, oleh banyak pengamat disebut sebagai kejadian yang luar biasa, meskipun sesungguhnya itu bukan hal yang baru.
Artinya, masyarakat sudah lama mencium aroma tak sedap itu, terutama saat penerimaaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri.
Jalur ini memang membuka peluang bagi terjadinya pelanggaran, sebab test terkadang bukan lagi menjadi prioritas kelulusan, tetapi sangat ditententukan oleh panitia di dalam perguruan tinggi tersebut.
Kriteria dibuat sedemikian rupa dan dalam kenyataannya variable uang dan kedekatan sangat menentukan.
Biasanya, semakin popular program studi, semakin mahal biaya masuknya dan semakin memerlukan beking yang kuat.
Good University Governance
Kasus Universitas Lampung tentu saja membuka tabir bahwa perguruan tinggi tidak steril dari pelanggaran hukum, terutama dalam pengelolaan keuangan, dan hal ini diduga kuat berhubungan dengan tata kelola pergruan tinggi yang kurang bagus.
Tata kelola dimaksud meliputi, Transparansi, Akuntabilitas, Partisipasi, dan beberapa lagi unsur yang harus ada dalam prinsip Good University Governance.
Prinsip Governance itu sendiri melibatkan tiga pilar utama yaitu Pemerintah (Government), Coorporate (Usahawan) dan masyarakat (Society).
Berdasar pada perspektif Governance, maka sesungguhnya tata kelola perguruan tinggi tidak bisa terlepas dari keterlibatan pemerintah, baik sebagai regulator maupun implementor di lapangan.
Sebagai regulator pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan antara lain Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Dan sebagai implementor pemerintah sudah melaksanakan tugasnya melalui Fungsi dan peran Perguruan Tinggi yang dilaksanakan melalui kegiatan Tri Dharma meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
Terkait keterlibatan coorporate dalam Good University Governance, maka perguruan tinggi seharusnya membina kerjasama dengan kalangan usaha terutama terkait dengan penggunaan alumni sebagai pemasok men power, dan produk-produk ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan perguruan tinggi.
Hubungan ini penting dalam rangka mendekatkan pergururan tinggi dengan dunia industri sekaligus memberi penguatan pada program link and match, serta merdeka belajar dan kampus merdeka (MBKM).
Dalam hubungannya dengan masyarakat (society), maka tata kelola perguruan tinggi seharusnya melibatkan semua komponen masyarakat, sebab komponen inilah yang menjadi subjek sekaligus objek dari kepeberadaan perguruan tinggi.
Sebagai subjek, maka perguruan tinggi seharusnya aktif membaca dan memahami apa keinginan dan tuntutan masyarakat.
Berilah akses kepada mereka untuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan sekaligus evaluasi, dan sebagai objek, maka perguruan tinggi seharusnya mengerti dan memahami apa keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Mewujudkan kerjasama pilar-pilar governance (collaborative governance) sebagaimana diuraikan di atas, tentu saja bisa dilakukan melalui dua hal.
Pertama adalah merubah paradigma pengelolaan pergruran tinggi dari paradigma birokrasi ke paradigma governance.
Kedua adalah menerapkan prinsip prnsip-prinsi governance dengan baik dan konsisten, prinsi-prinsip dimaksud antara lain meliputi, Transparansi, Akuntabilitas dan Partisipasi.
Transparansi artinya, ada keterbukaan, terutama dalam pengelolaan keuangan.
Akuntabilitas artinya ada pertanggung jawaban atas berbagai kegiatan, mulai dari penerimaan calon maba, terutama yang melalui jalur mandiri, proses perkuliahan, hingga menjadi sarjana.
Jadi perguruan tinggi, tidak cukup hanya melaporkan jumlah wisudawan, alumni terbaik dan IPK saat wisuda berlangsung, akan tetapi juga melaporkan seperti apa alumninya setelah selesai.
Selanjutnya partisipasi adalah melibatkan dan memberi akses bagai masyarakat untuk terlibat, mulai saat perencanaan sampai kepada evaluasi.
Lagi-lagi terkait dengan jalur mandiri.
Kalau-prinsip-prinsip ini diterapkan dengan baik dan konsiten, sekurang-kurangya bisa mencegah, mengurangi.
Bahkan meniadakan penyimpangan-penyimpangan yang selama ini terjadi di Pergruran Tinggi. Semoga.(*)