Ulasan Pengamat
Fenomena Politisi Loncat Partai di Sulsel, Akademi UIN: Pragmatisme Politik
Setahun terakhir, sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah ramai-ramai berganti partai.
Penulis: Ari Maryadi | Editor: Sukmawati Ibrahim
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Sejumlah politisi ramai pindah partai seusai gelaran pilkada serentak 2020 lalu.
Juga setelah gelaran suksesi kepemimpinan di internal partai.
Setahun terakhir, sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah ramai-ramai berganti partai.
Tokoh-tokoh tersebut seperti Wakil Bupati Selayar Saiful Arif loncat dari Demokrat ke Golkar.
Wakil Bupati Jeneponto Paris Yasir hengkang dari Gerindra ke Nasdem, Wakil Bupati Maros Suhartina Bohari pindah dari PAN ke Golkar.
Wakil Bupati Pangkep Syahbam Sammana dari PDIP hengkang ke Nasdem. Wabup Barru Aksa Mappe pindah dari Nasdem ke Gerindra.
Bupati Toraja Utara Yohanis Bassang pindah dari Demokrat ke Golkar.
Wakil Bupati Toraja Utara Frederik Victor Palimbong dari Golkar ke Gerindra.
Terbaru, suksesi kepemimpinan di Partai Demokrat Sulawesi Selatan menimbulkan perpecahan internal.
Ilham Arief Sirajuddin (IAS) memutuskan kembali ke Golkar setelah kalah bersaing memimpin segitiga mercy.
Akademisi komunikasi politik Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Dr Firdaus Muhammad menanggapi hal tersebut.
"Fenomena tersebut sebagai bentuk pragmatisme politik," kata Dr Firdaus saat dihubungi Tribun Senin (6/6/2022).
Tokoh-tokoh tersebut dinilai tidak ideologis kepada satu partai, tapi pindah-pindah demi mengejar karier politik dan kekuasaan.
"Hubungannya dengan demokrasi, fenomena seperti itu tidak sehat karena orang tidak konsisten. Apa yang diperjuangkan hari ini bisa berbeda dengan hari esok. Padahal partai itu wadah perjuangkan aspirasi masyarakat," katanya.
Firdaus menilai, fenomena politisi berpartai ujungnya untuk berkuasa, baik kekuasaan di legislatif ataupun kekuasaan di eksekutif.
Tokoh pindah partai demi mencari jalan mudah mengejar karier politiknya.
"Jadi bicara demokrasi, di sini problemnya, orang tidak ideologis dengan partai, orang jadi pragmatis pindah ke mana saja," katanya.
Firdaus mengungkapkan, ada dua alasan mendasar seorang politisi pindah.
Pertama karena tidak nyaman dengan partainya.
Alasan kedua, karena ancaman karier politiknya terhambat, maka seorang politisi kadang memutuskan pindah partai.
"Karena orang semua masuk partai tujuannya untuk kekuasaan. Kalau kariernya terhambat di partai, maka cari alternatif partai lain," kata Firdaus.
Firdaus melihat, keinginan Ilham Arief Sirajuddin maju calon Gubernur Sulsel 2024 berpotensi terhambat karena tidak punya jabatan sebagai ketua partai.
Ia melihat, keinginan IAS sedikit terhambat kalau dia tidak punya panggung dan jabatan politik untuk sosialisasikan diri.
"Seperti pak ilham, saya melihat, kalau dia mau maju gubernur di Partai Demokrat, sulit, karena dia butuh panggung politik. Kalau tidak dapat ruang maka cari alternatif lain," katanya.
"Jadi orang pindah karena tidak sejalan partai atau terhambat karier politiknya, dia merasa kader biasa peluangnya kecil. Lalu kemudian pindah dengan harapan terakomodasi kepentingan politik. Jadi karena kekuasaan, itu jadi pragmatisme politik," katanya.
Firdaus mengatakan, regulasi di Indonesia memungkinkan seorang tokoh pindah partai. Undang-undang politik tidak melarang.
Kedua, kata Firdaus, di internal partai tidak ada aturan mengikat melarang seorang tokoh keluar.
"Jadi tidak ada aturan melarang, meskipun sebenarnya partai tidak ingin kadernya pindah. Partai itu kemungkinan melarang pindah, tetapi ada peluang terima di partai lain, orang bebas keluar masuk partai. Itu karena bergantung pada kenyaman orang itu di partai mana, lalu partai terbuka terima siapa, itu lebih karena persoalan regulasi aturan," katanya.(*)