Pilpres 2024
Bakal Ada 3 Poros, Inilah Parta-partai yang Sulit Bersatu di Pilpres 2024 Menurut Survei SMRC
Pilpres 2024 mendatang diprediksi akan terdapat tiga pasangan calon yang akan meramaikan
TRIBUN-TIMUR.COM - Pilpres 2024 diprediksi tak akan sama dengan 2 Pilpres sebelumnya yang hanya diisi 2 calon saja.
Berdasarkan hasil survei Lembaga Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), akan terdapat setidaknya tiga pasangan calon yang akan meramaikan pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Pendiri SMRC Saiful Mujani mengatakan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan pihaknya setidaknya akan muncul tiga poros atau tiga pasangan. Poros pertama adalah PDIP.
Partai ini bisa mengambil siapa saja, kemungkinan PPP agar suasana Islam bisa terbentuk.
Poros kedua adalah Gerindra.
Suara partai ini tidak cukup, mereka membutuhkan setidaknya satu partai lain. Jika PKB bergabung, itu cukup untuk memasangkan Prabowo dan Muhaimin.
"Sementara poros ketiga adalah Golkar. Golkar bisa terbuka untuk Nasdem, Demokrat, atau PKS," kata Saiful seperti dikutip dari channel Youtube SMRC TV, Jumat (22/4/2022).
Ia menjelaskan, setidaknya ada enam faktor yang bisa mempengaruhi partai politik bisa berkoalisi dan mendukung satu pasangan tertentu.
Faktor pertama, kesamaan ideologi. Ideologi yang dimaksud dalam konteks Indonesia adalah partai yang lebih nasionalis atau kebangsaan, partai yang lebih pluralis dalam pengertian inklusif terhadap pelbagai identitas.
"Di sisi yang lain ada partai yang lebih menekankan Islam, lebih eksklusif karena Islam lebih diutamakan, kurang terbuka pada semua unsur yang beragam dalam masyarakat Indonesia," ujar Saiful.
Ia menilai ada dua kutub ideologi politik di Indonesia. Kutub yang paling nasionalis adalah PDIP. Sementara kutub yang paling Islam adalah PKS.
Karena jarak ideologisnya jauh, antara PDIP dan PKS, kemungkinan untuk bersama-sama di tingkat nasional tidak mudah.
"Sementara partai-partai dalam spektrum antara PDIP dan PKS bisa berkoalisi dilihat dari sisi ideologi, misalnya PDIP dengan Golkar, Demokrat, dan Nasdem," katanya.
Faktor kedua, komunikasi elite. Hal ini sangat menentukan. Sebab, sejak Pilpres 2004 sampai sekarang, terlihat PDIP dan Demokrat tidak mudah untuk melakukan komunikasi.
"Ketika Demokrat berkuasa dan SBY sebagai presiden, PDIP memilih sebagai partai oposisi. Ketika PDIP berkuasa, sebagai partai terbesar pendukung pemerintah, Demokrat sebenarnya ingin bergabung sebagai partai pendukung pemerintah, tapi PDIP nampaknya tidak menerima," kata dia.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, lanjut dia, Nasdem dan Gerindra juga tidak mudah untuk bertemu.
Mereka punya pengalaman tersendiri tentang itu. Belakangan, Nasdem dan PDIP juga tidak mudah berkomunikasi.
“Oleh karena itu, faktor kemudahan komunikasi dan suasana kebatinan di antara elite partai akan mempengaruhi formasi koalisi,” kata dia.
Faktor ketiga, adanya tiga partai besar yang sangat berpengaruh untuk menjadi atau menarik poros koalisi, yaitu PDIP, yang tanpa koalisi pun sudah cukup untuk mencalonkan presiden.
Kemudian Gerindra dan Golkar yang masih membutuhkan sedikit tambahan suara.
Faktor keempat, intensitas harus menjadi calon presiden. Ada partai yang pimpinannya harus jadi calon presiden, yaitu Gerindra.
Saiful menyatakan bahwa mungkin pertimbangannya adalah efek Prabowo pada partai Gerindra itu sendiri. (Kompas TV)