Dokter Terawan Agus Putranto
Mengenal Metode DSA atau Cuci Otak yang Dikembangkan Dokter Terawan, Berujung Pemecatan dari IDI
lima kelemahan metode DSA tersebut, sehingga menjadi pertimbangan MKEK IDI memberhentikan Terawan secara permanen dari keanggotaan IDI
TRIBUN-TIMUR.COM - Ribut-ribut soal pemecatan Dokter Terawan Putranto sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), berujung pada dipanggilnya perwakilan IDI ke DPR untuk memberikan penjelasan.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar oleh Komisi IX DPR RI, IDI diwakili oleh Prof Rianto Setiabudi dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI).
Dalam pemaparannya, Prof Rianto Setiabudi menjelaskan lima kelemahan metode digital subtraction angiography (DSA) atau yang dikenal dengan metode "cuci otak", yang dikembangkan mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto dalam memberikan terapi pengobatan kepada pasien.
Rianto Setiabudi menyebutkan lima kelemahan metode DSA tersebut, sehingga menjadi pertimbangan MKEK IDI memberhentikan Terawan secara permanen dari keanggotaan IDI setelah tidak ada titik temu dalam penyelesaian masalah ini.
Prof Rianto yang merupakan spesialis Farmakologi Klinik yang mendalami bidang obat mengatakan, pihaknya memahami keresahan dan kegundahan Komisi IX DPR yang mempertanyakan mengapa dokter sekelas Terawan bergelar doktor dipecat IDI.
Rianto menegaskan harus diketahui ada bagian-bagian tertentu dari disertasi yang mengandung kelemahan-kelemahan substansial.
"Nah, dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah saya memberikan sedikit komentar mengenai disertasi dr Terawan ini, tidak untuk men-downgrade beliau. Jadi ada bagian-bagian tertentu dalam disertasi itu yang mengandung kelemahan-kelemahan substansial,” ujar Rianto.
Rianto Setiabudi pun menyebutkan kelima kelemahan metode DSA yang dikembangkan Terawan tersebut:
Pertama, terkait penggunaan heparin dalam metode DSA. Prof Rianto menjelaskan DSA adalah metode radiologi yang mengharuskan memasukkan kateter dari suatu pembuluh darah di paha sampai ke otak. Kemudian, di sana dilepaskan kontras.
"Kontras itu nanti akan menunjukkan di mana letak mampet (pampat)-nya itu. Nah, supaya ujung kateter itu tetap terbuka, diberikanlah sedikit dosis kecil heparin untuk mencegah bekuan darah di ujung kateter," terangnya.
Ia menyebutkan, dosis kecil heparin tidak bisa merontokkan gumpalan darah, tetapi hanya bisa mencegah pampatnya bekuan darah. Ketika metode ini digunakan, masalah yang timbul yang sangat besar.
"Ini digunakan ini adalah orang-orang stroke, yang stroke-nya sudah lebih dari satu bulan, jadi bekuan darah itu sudah mengeras di situ dan tidak mungkin kita cari di literatur mana pun bahwa heparin efektif merontokkan, melarutkan bekuan darah seperti itu," ujarnya.
Menurut Rianto, yang bisa melarutkan bekuan darah seperti itu ada zat lain yang disebut thrombolytic agents.
“Itu pun hanya akan efektif kalau bekuan darah di otak yang menimbulkan stroke itu umurnya baru beberapa jam. Ini sudah satu bulan lebih dan dipakainya bukan obat untuk meluruhkan. Jadi timbul masalah besar di sini,” tegasnya.
Kedua, uji klinis metode DSA ini tidak mempunyai kelompok pembanding dan kontrol. Prof Rianto menegaskan dalam dunia ilmu pengetahuan, uji klinis yang benar mengatakan akan sulit sekali menerima kebenaran penelitian tanpa pembanding.