Herry Wirawan
Komnas Perempuan dan Komnas HAM Tolak Hukuman Mati untuk Herry Wirawan, Ini Alasannya
Komnas Perempuan menyatakan tidak sepakat dengan penerapan hukuman mati termasuk kepada predator anak Herry Wirawan.
TRIBUN-TIMUR.COM - Jika keluarga korban pemerkosaan oleh Herry Wirawan setuju dengan hukuman mati terhadap terpidana, tidak demikian dengan Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan menyatakan tidak sepakat dengan penerapan hukuman mati termasuk kepada predator anak Herry Wirawan.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, Selasa (5/4/2022), penerapan hukuman mati bertentangan dengan norma internasional hak asasi manusia yang paing dasar yakni hak untuk hidup.
Rainy mengatakan Komnas Perempuan mengapresiasi putusan Pengadilan Tinggi Bandung terkait restitusi. Dia menyebut pembayaran restitusi yang dibebankan kepada pelaku menjadi bentuk putusan maksimal.
"Hakim banding mengkoreksi bahwa restitusi adalah hak korban dan menjadi kewajiban pelaku untuk memulihkan dampak kekerasan seksual yang dialami korban, yang sumbernya berasal dari kekayaan pelaku, bukan negara. Dengan mengoreksi sebagai hak korban dan bukan pidana tambahan, maka untuk putusan maksimal dapat ditetapkan sebagai pemenuhan kewajiban membayar restitusi," ucapnya.
"Demikian juga halnya untuk perawatan dan pengasuhan anak-anak, menjadikan izin atau persetujuan korban dan keluarganya menjadi prasyarat sebelum anak-anak yang lahir dari pemerkosaan atau kekerasan seksual dirawat dan diasuh dalam perawatan negara," lanjutnya.
Rainy mengatakan Komnas Perempuan mendorong pemerintah memperhatikan kebutuhan dan pemulihan korban. Sehingga, katanya, para korban bisa pulih dan melanjutkan kehidupan.
Adapun biaya restitusi sendiri totalnya mencapai Rp 300 juta lebih. Setiap korban yang jumlahnya 13 orang akan mendapatkan restitusi dengan nominal beragam.
Tanggapan Komnas HAM
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik juga angkat bicara mengenai hukuman mati kepada Herry Wirawan.
"Tren global di mana hukuman mati secara bertahap dihapuskan, hanya tinggal beberapa negara lagi yang masih mengadopsi hukuman mati termasuk Indonesia. Kita menginginkan ada suatu peninjauan dari hakim kasasi, manakala, misalnya terpidana mati ini Herry Wirawan maupun pengacaranya mengajukan kasasi," kata Taufan kepada wartawan, Selasa (5/4/2022).
Taufan kemudian bicara soal HAM yang salah satunya ialah hak untuk hidup. Dia menilai hak untuk hidup merupakan hak yang tidak bisa dikurangi maupun dibatasi dalam kondisi apapun.
"Sebagaimana dijelaskan dalam nilai-nilai hak asasi manusia yang universal, telah ada satu tren yang bersifat global di mana hukuman mati diabolisi atau dihapuskan. Kalau kita melihat konstitusi kita UUD 1945 pasal 28 i ayat 1 di situ juga dikatakan bahwa hak untuk hidup itu merupakan hak yang tidak bisa dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apapun karena itu dia merupakan suatu hak asasi yang absolut," ujarnya.
Taufan menilai tidak ada hubungan antara hukuman mati dengan efek jera dalam tindak pidana. Menurutnya, hukuman mati tidak mengurangi tindak pidana dilakukan orang lain.
"Kalau kita lihat kajian-kajian terkait penerapan hukuman mati, tidak ditemukan kolerasi antara hukuman mati dengan efek jera atau pengurangan tindak pidana. Apakah itu tindak pidana kekerasan seksual, tindak pidana terorisme misalnya atau narkoba dan tindak pidana yang lainnya," ucapnya.