Klakson
Langka
Di negeri kaya ini, apa saja bisa langka. Beberapa pekan lalu, minyak goreng yang licin itu langka di pasar.
Abdul Karim
Pegiat Majelis Demokrasi & Humaniora
DI negeri kaya ini, apa saja bisa langka. Beberapa pekan lalu, minyak goreng yang licin itu langka di pasar.
Barang konsumsi ini lenyap seketika setelah disubsidi.
Para pembesar negeri sebagian besar mengambil langkah seribu. Mereka menghindari bicara minyak goreng yang licin itu.
Hanya publik yang ramai berkoar di medsos dengan segala meme yang menggelitik.
Tak lama kemudian, minyak goreng hadir meramaikan lagi pasar.
Namun harganya tak murah lagi. Kehadirannya setelah negosiasi antar produsen minyak goreng dan pemerintah.
Dari situlah, terbit harga licin minyak goreng yang tak murah lagi. Kesannya, negara pasrah pada kehendak produsen minyak goreng.
Bertepatan dengan itu, solar pun langka.
Truk-truk di beberapa daerah harus antri sepanjang malam di sekitar SPBU.
Ada yang lantas bermimpi, solar dan minyak goreng tumpah ruah dari langit bak hujan deras.
Beberapa tahun lampau, cabe pernah langka pula. Kelangkaan biji pedas ini memicu inflasi negeri.
Orang-orang bertanya, kenapa cabe langka? Jawaban yang muncul, seperti biasa--teoritis.
Tapi begitulah negeri ini, apa saja berpotensi jadi langka.
Ditengah kelangkaan begitu, teori-teori ekonomi menyeruak untuk menetralisasi keadaan.
Namun teori tetaplah teori. Ia seringkali gagal menghadirkan solusi.
Keadaban dalam politik kian hari semakin langka pula.
Kelangkaan minyak goreng dan solar beberapa pekan lalu, sebenarnya berpangkal dari kelangkaan etik ini. Yang "etik" menjadi langka dalam politik kita.
Yang etik tak pernah lagi menjadi bahagian penting dalam setiap percakapan dan tindakan politik kita.
Seorang legislator misalnya, saat reses tak ubahnya sesosok wisatawan.
Dengan bangga ia menayangkan foto selfienya disegala ruang. Reses menjadi panggung hiburan, bukan lagi panggung menjaring persoalan dibawah.
Dan kelangkaan etik dalam politik kian kentara ketika aktor-aktor politik kita mulai mewacanakan calon bupati/walikota, pasangan cagub hingga pasangan capres 2024.
Kita tahu, di Sulawesi Selatan wacana tentang itu bergema sejak tahun lalu. Kinerja masih abu-abu, perkandidatan buru-buru diwacanakan.
Belum reda itu, "tunda pemilu" tiba-tiba meluncur lantas viral di media massa.
Dengan argumen pemulihan ekonomi akibat dampak pandemi Covid 19, pemilu ditunda justeru tidak strategis, bahkan ia berpotensi direduksi.
Sebab pemulihan ekonomi dapat dimanipulasi untuk memperkuat ransum dengan segala upaya demi memenangi pemilu yang tertunda.
Etik ini sesunggunya menjadi pangkal segala kelangkaan di negeri ini.
Pelaku ekonomi dan aktor politik tak sudah-sudah membuang etik dalam sepak terjangnya.
Bila ini terus berlanjut, maka kedepan dapat dibayangkan Indonesia menjadi sebuah negeri yang berisi manusia-manusia yang lengah-lemah etik, hingga bangsa ini menjadi bangsa durjana.
Dan lihatlah kini, segala sesuatu dinegeri ini begitu mudah langka (dilangkakan).
Kemarin minyak goreng, esok atau lusa entah apa lagi.
Bila etik terus dibuang, maka yang langka dinegeri ini adalah pemimpin dan elit yang peduli pada manusia-manusia udik dan rudin.
Dan itulah kelangkaan terfatal dalam negara demokrasi.(*)
