Opini Tribun Timur
Gonggongan Anjing Itu Membuyarkan Aturan Toa Masjid
Akhir-akhir ini tiba- tiba anjing disebut dimana-mana terutama di media sosial. Gonggongannya sudah sedemikian penting.
Oleh Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
Akhir-akhir ini tiba- tiba anjing disebut dimana-mana terutama di media sosial.
Gonggongannya sudah sedemikian penting.
Sehingga seorang menteri agama memerlukannya sebagai analogi untuk memahamkan publik.
Bahwa kegaduhan gongongannya yang mengganggu itu, diibaratkan sama dengan mengganggunya suara Toa Masjid yang lima kali sehari semalam menggaungkan Azan.
Akibatnya, banyak pihak tersinggung dan merasa terlukai imannya.
Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memberikan teguran keras terhadap Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, yang membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing.
PKB minta Yaqut mengakui kesalahannya.
Wakil Ketua Umum DPP PKB Jazilul Fawaid meminta Yaqut fokus bekerja dengan benar (CNN Indonesia,24/2-2022).
Demikian juga dengan KH. DR. Cholil Nafis Ketua MUI Pusat yang juga salah seorang pimpinan Nahdlatul Ulama (NU) melalui Twitter menilai perbandingan yang dipakai Menag Yaqut tidak sepadan, sembari mengaduh dengan menyatakan: "Ya Allah… Ya Allah .. Ya Allah.
Kadang malas berkomentar soal membandingkan sesuatu yang suci dan baik dengan suara hewan najis mughallazhah," kata Kiai Cholil Nafis dikutip JPNN.com, Kamis (24/2).
Menag Yaqut Cholil Qoumas memang sosok menteri yang paling gemar perihal toleransi antar agama sehingga tidak tanggung-tanggung dalam membela kaum minoritas, sekali pun berakibat ia sendiri akhirnya dicibir oleh komunitas Islam yang seagama dengan dirinya.
Mungkin, karena untuk itulah ia ditunjuk oleh Presiden menjadi Menteri Agama.
Meski pun di kalangan agamawan dia lebih dikenal sebagai aktifis Banser daripada ahli agama.
Sebuah maksud baik yang disampaikan secara kurang baik, kerap justru dianggap tidak baik.
Kurang lebih itulah yang terjadi pada Permen Nomor 5 tahun 2022 tentang pengaturan Toa Masjid, yang penjelasannya disampaikan langsung oleh Menag Yaqut.
Kemudian dimasalahkan secara viral di media sosial, karena dianggap melecehkan.
Bahkan Roy Suryo mantan Menteri Pemuda melaporkannya ke Polda Metro, namun laporannya ditolak dengan alasan tidak memenuhi asas locus delicti.
Pengaturan tentang penggunaan pengeras suara (Toa) di Masjid dan Mushallah sebenarnya sudah ada sejak tahun 1978 yang ditanda tangani oleh Dirjen Bimas Islam Drs. Kafrawi, MA.
Kemudian diperkuat lagi melalu Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor B. 3940/DJ III/HK 007/08/2018 Tentang Pelaksanaan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor. Kep/D/101/1978 Tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Mushallah.
Namun Instruksi Dirjen tersebut seolah tidak pernah ada, karena pihak Kemenag sendiri tidak begitu serius dalam mengimplementasikannya.
Persoalan Toa Masjid kembali ramai dimasalahkan, ketika sebuah media Asing AFP di Paris, Perancis, memuat artikel bertajuk 'Piety or noise nuisance? (Kesalehan atau Gangguan Kebisingan?) yang memasalahkan dampak kesehatan seorang perempuan yang mengidap gangguan kecemasan (anxiety disorder).
Disebutkan bahwa Rina ( nama samaran) merasa terganggu akibat suara Toa Masjid yang terlalu keras di dekat rumahnya. Setiap dini hari pada pukul 03.00 pagi.
Berita itu pun viral dan diduga ikut menggelitik Menag Yaqut Cholil Quomas yang terkenal selalu terdepan membela umat Non Muslim atas nama toleransi.
Maka, tak lama kemudian, terbitlah Surat Edaran No.5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushallah yang isinya sebagian besar berasal dari Instruksi Dirjen Bimas Islam Tahun 1978.
Hanya saja memang ada perubahan dan perbedaan prinsip antara keduanya, yaitu terjadi perubahan durasi penggunaan pengeras suara sebelum tiba waktu azan subuh dari sebelumnya 15 menit dikurangi menjadi 10 menit paling lama.
Namun, point yang bisa menjadi masalah serius adalah pembatasan tentang suara azan di Toa Masjid tidak boleh lebih dari 100 dB (desibel).
Sementara itu, di Instruksi Dirjen Bimas Tahun 1978 pada huruf D point 5 tentang syarat-syarat penggunaan pengeras suara disebutkan, bahwa dari tuntunan Nabi, suara azan sebagai tanda masuknya sholat memang harus ditinggikan.
Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak dapat diperdebatkan.
Yang perlu diperhatikan adalah agar suara Muadzin tidak sumbang dan sebaiknya enak, merdu dan syahdu.
Narasi atau klausul pada point tersebut, bersumber pada hasil keputusan Lokakarya Pembinaan Perikehidupan Beragama.
Point 5 huruf D tersebut, sejalan dengan hadis sahih Bukhari dalam bab tentang azan, yang memulai dengan judul: “mengeraskan suara azan berdasarkan hadis dari Abdurrahman bin Abdullah yang menjelaskan pentingnya mengeraskan suara ketika azan karena segala sesuatu yang didengarnya akan menjadi saksi.
Bahkan, dalam hadis tersebut terdapat kalimat: “kaum mengumandangkan azan sholat, maka keraskanlah suaramu karena tidak ada yang mendengar suara Muadzin, baik manusia, jin atau apa pun dia, kecuali akan menjadi saksi.
Imam An Nasai bahkan secara khusus menulis bab khusus tentang pahala mengeraskan azan.
Khalifah Umar pun tidak melarang Muadzin untuk mengeraskan suara azan.
Sementara kini, Menag Yaqut justru membatasi suara azan tidak boleh lebih 100 desibel, ini tentu suatu masalah.
Dengan demikian, Surat Edaran Menag Yaqut tentang penggunaan pengeras suara di masjid bukan hanya cara sosialisasinya yang dimasalahkan, tetapi juga kontennya, karena dianggap melanggar syariat Islam.
Dari kedua permasalahan serius tentang Toa Masjid tersebut maka solusi yang dipandang bisa mengobati luka perasaan umat Islam, adalah; Pertama, akan lebih bijak jikalau Menag Yaqut menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
Sembari mengklarifikasi bahwa tidak bermaksud untuk membandingkan antara suara azan dan gonggongan anjing tetangga.
Klasifikasi yang sudah disampaikan pihak pejabat Kemenag, tidak cukup. Terbukti klasifikasi yang sudah dilakukan, tidak meredakan masalah.
Justru publik bisa menilai Menag Yaqut arrogan dan memamfaatkan aparat birokratnya demi gengsi pribadi, ketimbang meminta maaf secara langsung.
Padahal, minta maaf dan memaafkan itu, ajaran agama.
Kedua, merevisi Surat Edaran No 5 Tahun 2022 Tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushallah khusnya tentang pembatasan 100 desibel untuk suara azan di Toa Masjid.
Sementara suara selain azan silahkan diatur durasi dan besaran desibelnya, karena jika jam 03.00 dinihari suara Toa Masjid sudah bersahut- sahutan dengan Masjid lainnya, memang bisa mengganggu kekhusu’an sholat tahajut di rumah masing-masing penduduk.
Wallahu a’ lam Bishshawabe.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/aswar-hasan-dosen-fisipol-unhas-4.jpg)