Opini Tribun Timur
Gonggongan Anjing Itu Membuyarkan Aturan Toa Masjid
Akhir-akhir ini tiba- tiba anjing disebut dimana-mana terutama di media sosial. Gonggongannya sudah sedemikian penting.
Sebuah maksud baik yang disampaikan secara kurang baik, kerap justru dianggap tidak baik.
Kurang lebih itulah yang terjadi pada Permen Nomor 5 tahun 2022 tentang pengaturan Toa Masjid, yang penjelasannya disampaikan langsung oleh Menag Yaqut.
Kemudian dimasalahkan secara viral di media sosial, karena dianggap melecehkan.
Bahkan Roy Suryo mantan Menteri Pemuda melaporkannya ke Polda Metro, namun laporannya ditolak dengan alasan tidak memenuhi asas locus delicti.
Pengaturan tentang penggunaan pengeras suara (Toa) di Masjid dan Mushallah sebenarnya sudah ada sejak tahun 1978 yang ditanda tangani oleh Dirjen Bimas Islam Drs. Kafrawi, MA.
Kemudian diperkuat lagi melalu Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor B. 3940/DJ III/HK 007/08/2018 Tentang Pelaksanaan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor. Kep/D/101/1978 Tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Mushallah.
Namun Instruksi Dirjen tersebut seolah tidak pernah ada, karena pihak Kemenag sendiri tidak begitu serius dalam mengimplementasikannya.
Persoalan Toa Masjid kembali ramai dimasalahkan, ketika sebuah media Asing AFP di Paris, Perancis, memuat artikel bertajuk 'Piety or noise nuisance? (Kesalehan atau Gangguan Kebisingan?) yang memasalahkan dampak kesehatan seorang perempuan yang mengidap gangguan kecemasan (anxiety disorder).
Disebutkan bahwa Rina ( nama samaran) merasa terganggu akibat suara Toa Masjid yang terlalu keras di dekat rumahnya. Setiap dini hari pada pukul 03.00 pagi.
Berita itu pun viral dan diduga ikut menggelitik Menag Yaqut Cholil Quomas yang terkenal selalu terdepan membela umat Non Muslim atas nama toleransi.
Maka, tak lama kemudian, terbitlah Surat Edaran No.5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushallah yang isinya sebagian besar berasal dari Instruksi Dirjen Bimas Islam Tahun 1978.
Hanya saja memang ada perubahan dan perbedaan prinsip antara keduanya, yaitu terjadi perubahan durasi penggunaan pengeras suara sebelum tiba waktu azan subuh dari sebelumnya 15 menit dikurangi menjadi 10 menit paling lama.
Namun, point yang bisa menjadi masalah serius adalah pembatasan tentang suara azan di Toa Masjid tidak boleh lebih dari 100 dB (desibel).
Sementara itu, di Instruksi Dirjen Bimas Tahun 1978 pada huruf D point 5 tentang syarat-syarat penggunaan pengeras suara disebutkan, bahwa dari tuntunan Nabi, suara azan sebagai tanda masuknya sholat memang harus ditinggikan.
Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak dapat diperdebatkan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/aswar-hasan-dosen-fisipol-unhas-4.jpg)