Siaga Gelombang Ketiga COVID-19, Potret Pelanggaran Kebijakan Pandemi di Indonesia
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, per tanggal 10 Desember 2021 Indonesia telah mengkonfirmasi kasus kumulatif sebanyak 4,
Penulis: Jeremy Paulus Wijaya, Kezia Ratu Audrya, Raffi Ammar Akbar, mahsiswa Ilmu Administrasi Niaga, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Latar Belakang Kebijakan COVID-19 di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang mengalami Pandemi COVID-19.
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, per tanggal 10 Desember 2021 Indonesia telah mengkonfirmasi kasus kumulatif sebanyak 4,26 Juta dengan total kematian sebanyak 144 ribu penduduk.
Data tersebut telah menunjukan bahwa Indonesia telah mengalami dampak yang cukup besar akibat Pandemi COVID-19.
Selama 21 Bulan, pemerintah serta masyarakat Indonesia telah berjuang melawan Pandemi COVID-19 dengan fluktuasi kasus terkonfirmasi serta pergantian kebijakan penanganan COVID-19 oleh pemerintah.
Terlebih pada masa liburan pelonjakan kasus COVID-19 selalu melejit, hal ini juga disebabkan oleh masih banyaknya pelanggaran kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam menghadapi kondisi pandemi. Mendekati masa liburan akhir tahun 2021, tentunya kita harus waspada akan terjadinya gelombang ketiga dari COVID-19.
Lalu sebenarnya apa faktor yang menyebabkan meroketnya jumlah kasus COVID-19 di Indonesia setiap masa liburan? Mari kita bahas kilas balik pelanggaran kebijakan pandemi yang masih banyak terjadi di Indonesia selama masa pandemi COVID-19.
Kasus Pelanggaran Kebijakan
Salah satu faktor yang menyebabkan pelanggaran kebijakan pandemi COVID-19 yaitu kepercayaan publik yang masih cenderung rendah.
Laelatus Syifa, seorang Psikolog dari UNS mengatakan bahwa mereka yang menganut paham atau teori konspirasi seperti mereka yang tidak percaya dengan keberadaan COVID-19 adalah orang-orang yang sebenarnya takut pada ketidakpastian.
Ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap keberadaan dari COVID-19 menyebabkan respon kebijakan publik yang cenderung lama, hal tersebut juga memberikan celah bagi para oknum untuk melakukan pelanggaran tertentu. Sebagai contoh, terdapat pelanggatran penerbitan surat vaksin palsu.
Dengan begitu masyarakat yang tidak percaya vaksin akan tertarik menggunakan jasa pembuatan surat vaksin palsu. Terdapat beberapa kasus pemalsuan bukti vaksin COVID-19 untuk kepentingan diri sendiri.
Polda Jawa Barat berhasil mengungkap terjadinya pemalsuan surat vaksin pertama kali pada tanggal 27 Agustus 2021 dengan pelaku berinisial JR. Pelaku tersebut memperjualbelikan sertifikat vaksin palsu yang diakses dari website P-Care dan menerbitkan 9 sertifikat dengan biaya Rp100.000 hingga Rp200.000.
Pelanggaran tersebut merupakan penyalahgunaan akses dan tergolong ilegal authorization.
Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Barat Kombes Pol Arif Rahman, para pelaku pemalsuan surat vaksinasi COVID-19 ini pun akan diberikan sanksi pasal berlapis dengan minimal 4 tahun hingga maksimal 12 tahun kurungan penjara
Melihat beberapa kasus pelanggaran yang terjadi, seperti misalnya banyak terjadi kasus dimana banyak WNA yang negaranya termasuk dalam negara yang dilarang untuk memasuki Indonesia, memberikan isyarat terhadap pemerintah untuk meningkatkan pengawasannya terhadap peraturan yang sudah mereka buat.
Pelanggaran tetap terjadi ketika beberapa WNA tersebut berhasil memasuki Negara Indonesia. Di Indonesis sendiri, terdapat kasus influencer RV yang terbukti kabur dari kewajibannya untuk melakukan karantina setelah pulang dari Amerika Serikat selama 8 hari sebelum beraktivitas kembali di Indonesia. Oknum RV telah melanggar SE Nomor 18 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional Pandemi COVID-19.
Pihak pemerintah telah mengonfirmasi influencer RV dibantu oleh oknum yang bertugas di Bandara Soekarno-Hatta. Pemerintah langsung berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memberikan hukuman berupa menonaktifan oknum yang membantu pelanggaran karantina tersebut.
Kebijakan-kebijakan yang diciptakan oleh pemerintah mengenai kebijakan COVID-19 juga dirasa masih menciptakan ruang celah terjadinya pelanggaran dan kerap berubah-ubah secara mendadak dalam jangka waktu yang singkat.
Terkait hal tersebut, terdapat satu usaha FnB yang berlokasi di Kemang telah ditutup oleh Satpol PP DKI Jakarta karena terbukti melanggar ketentuan yang ditetapkan pada Peraturan Gubernur DKI Nomor 3 Tahun 2021.
Usaha FnB tersebut tidak menerapkan pembatasan kapasitas pengunjung, penerapan jaga jarak antar pengunjung, dan melewati batas jam operasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
Satpol PP DKI Jakarta pun memberi sanksi berupa pembekuan operasional dan denda sebesar Rp 50 Juta. Penyidik Ditereskrimum Polda Metro Jaya pun menetapkan manajer dari usaha FnB dengan inisial JAS sebagai tersangka yang sebelumnya telah diberikan sanksi oleh Satpol PP sebanyak tiga kali pada bulan Februari, Maret, dan September.
JAS juga tidak menyiapkan scan barcode aplikasi Peduli Lindungi dalam mengantisipasi penyebaran COVID-19.
Dampak Pelanggaran Kebijakan
Pelanggaran kebijakan COVID-19 dapat menyebabkan domino effect terhadap situasi Pandemi di masa mendatang. Efek domino merupakan kejadian yang tidak terlihat signifikan namun memiliki konsekuensi yang tinggi jika terjadi secara terus menerus. Pada masa awal PSBB, masyarakat sangat mematuhi adanya kebijakan tersebut.
Namun, pemerintah mencetuskan istilah baru “New Normal” pada 5 Juni 2020. Istilah “New Normal” yang diharapkan dapat memulihkan kondisi negara seperti sebelum Pandemi berujung pada perubahan stigma masyarakat yang menganggap Pandemi COVID-19 sebagai masalah yang tidak terlalu serius.
Sangat disayangkan kondisi New Normal telah menimbulkan pelanggaran yang dilakukan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah. Terlihatterjadi kerumunan di tempat-tempat publik sehingga terjadi peningkatan kasus terkonfirmasi COVID-19.
Mobilitas masyarakat pun mengalami peningkatan signifikan mencapai 50 persen di era New Normal. Efek dari peningkatan mobilitas pada era New Normal menimbulkan peningkatan kasus COVID-19 pada awal Desember sampai Januari sehingga dikenal sebagai istilah “gelombang pertama”.
Domino effect dari pelanggaran kebijakan COVID-19 juga kembali dirasakan oleh bangsa Indonesia pada Bulan Juni sd Agustus terjadi lonjakan kasus positif COVID-19 yang dikenal sebagai istilah “gelombang kedua”.
Efek domino tersebut dimulai dari ketidakpedulian masyarakat terhadap PPKM yang melarang adanya mudik hari raya lebaran.
Namun kebijakan tersebut tidak dapat membendung mobilitas masyarakat yang meningkat sebesar 38 sd 100 persen pada periode menjelang serta pasca lebaran 2021. Akibat fenomena tersebut, Indonesia secara bertahap mengalami peningkatan kasus positif COVID-19 dan mengalami situasi yang lebih buruk daripada gelombang pertama.
Menanggapi peningkatan kasus yang terjadi pada gelombang pertama dan kedua COVID-19, pemerintah serta masyarakat perlu menjadi lebih peduli terhadap situasi Pandemi yang sedang berlangsung. Siklus domino effect akan terus terjadi seperti yang telah dialami sebelumnya jika pelanggaran kebijakan COVID-19 tetap terjadi di masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa masih terdapat pelanggaran dalam kebijakan pandemi COVID-19. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah ataupun pandemi COVID-19, dan kurang ketatnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan-kebijakan menjadi salah satu alasan dari potensi kenaikan kasus COVID-19 di masa mendatang yang dikenal sebagai Gelombang Ketiga.
Melihat dari apa yang telah terjadi sebelumnya, pemerintah harus bisa memberikan pengawasan yang lebih ketat terhadap implementasi dari kebijakan yang mereka keluarkan.
Kita sebagai masyarakat juga harus menerapkan kebijakan yang telah dibuat pemerintah supaya kebijakan tersebut dapat terlaksana dengan efektif.