Bincang Kampus
Ketua BEM Kema Fisip Unibos: Mahasiswa yang Berkonflik itu, Salah Memahami Manajemen Konflik
manajemen konflik itu materi yang didapatkan ketika masuk menjadi mahasiswa atau masuk lembaga kemahasiswaan.
Penulis: Kasdar Kasau | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Ketua BEM Kema Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Bosowa (Unibos), Baso Muhammad Ikram mengatakan, konflik di kemahasiswaan harus diperhatikan pemicunya.
Sebab, secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak pada aspek kehidupan, aspek lingkungan masyarakat dan aspek kampus.
"Di sini saya mau katakan, mahasiswa yang berkonflik itu, mereka salah memahami manajemen konflik," katanya dalam Bincang Kampus Tribun Timur, Jumat (10/12/2021).
Tema diangkat Solusi Mahasiswa Atasi Konflik Etnis di Kampus.
Lanjut Baso, manajemen konflik itu materi yang didapatkan ketika masuk menjadi mahasiswa atau masuk lembaga kemahasiswaan.
Di luar pada itu, yang selalu dipikirkan bagaimana cara mencari solusi untuk mengatasi konflik, tapi tidak pernah berpikir bagaimana caranya mencegah agar konflik tersebut tidak terjadi.
"Di sini mau saya katakan mahasiswa yang berkonflik ini salah memahami terkait manajemen konflik. Mungkin dia memahami manajemen konflik sebagai suatu cara membuat strategi mengalahkan lawan dengan baik dan benar. Padahal tidak seperti itu sebenarnya, manajemen konflik ini menjadi suatu cara untuk mencari resolusi bagaimana konflik itu terselesaikan," tuturnya.
Pemicu Konflik
Dia menyebut pemicu konflik itu ada tiga faktor. Pertama, faktor individu. Hal ini terjadi karena aspek psikologis tidak terpenuhi. Salah satunya, ingin dihargai.
"Ada konteks ketersinggungan sehingga menimbulkan konflik. Parahnya lagi, melebar ke teman-teman dan lembaga. Ini melahirkan konflik antar kelompok," jelasnya.
Faktor kedua adalah antar kelompok. Konflik ini terjadi karena ingin menunjukkan eksistensinya.
Misalnya di lembaga kemahasiswaan. Ada lembaga kemahasiswaan yang ingin menunjukkan eksistensinya dengan berbagai cara.
Mereka menganggap lembaga kemahasiswaan lain adalah kompetitor, akan tetapi mereka menggunakan cara yang salah. Harusnya berkompetisi dalam produktivitas.
Lalu pemicu konflik antar kelompok karena warisan. Bisa dilihat kampus baik di Pulau Jawa maupun di Makassar menjadi tawuran sebagai tradisi.
"Setiap tahun terulang terus, karena ada warisan yang belum terselesaikan. Solusinya adalah bagaimana menyelesaikan sumber konflik tersebut dari pada pendahulu-pendahulu".