Ada Andil Rini, Jepang Nyesal dan Kecewa Gegara Proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung Direbut China
Di tengah dikebutnya proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung agar bisa selesai pada tahun 2020, tahun depan, polemik terus bermunculan.
TRIBUN-TIMUR.COM - Di tengah dikebutnya proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung agar bisa selesai pada tahun 2020, tahun depan, polemik terus bermunculan.
Bukan hanya tahun ini, terkait dengan tambahan anggaran, polemik bahkan sudah menyeruak sejak perencanaan pada tahun 2015 silam.
Proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung dikritik karena nilai investasinya bengkak dari estimasi sebelumnya yakni Rp 86,5 triliun menjadi Rp 114 triliun.
Di mana pemerintah Indonesia rencananya akan menutup kekurangan melalui dana APBN agar tidak mangkrak.
Masih ingatkah Anda jika sebenarnya proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung merupakan inisiasi dari Jepang, bukan China.
Negara itu menawarkan proposal pembangunan ke pemerintah Jokowi melalui Japan International Cooperation Agency (JICA).
JICA bahkan rela menggelontorkan modal sebesar 3,5 juta dollar AS sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan.
Nilai investasi kereta cepat berdasarkan hitungan Jepang mencapai 6,2 miliar dollar AS, di mana 75 persennya dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1 persen per tahun.
Belakangan di tengah lobi Jepang, tiba-tiba saja China muncul dan melakukan studi kelayakan untuk proyek yang sama.
Pendukung China dalam menggarap proyek kereta cepat salah satunya adalah Menteri BUMN 2014-2019 Rini Soemarno.
Presiden Jokowi akhirnya memutuskan memilih China meski bunga pinjaman yang ditawarkan lebih tinggi daripada proposal Jepang.
Pertimbangan utama pemerintah Indonesia yakni karena China berjanji bahwa pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung tidak akan menggunakan uang APBN alias dijalankan dengan skema murni business to business (B to B) antar BUMN kedua negara.
Jepang kecewa dan menyesal
Jika menilik ke belakang, polemik Kereta Cepat Jakarta Bandung sempat membuat hubungan Indonesia-Jepang merenggang.
Terlebih setelah Tokyo mengetahui kalau pemerintah Jokowi lalu berpaling ke China dalam proyek itu.
Duta Besar Jepang untuk Indonesia saat itu, Yasuaki Tanizaki, sempat meluapkan kekecewaan dan penyesalan pemerintahnya kepada Indonesia.
"Saya telah menyatakan penyesalan saya karena dua alasan," kata Tanizaki memulai pembicaraan di hadapan wartawan yang mengerubunginya di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI.
Pertama, pihak Jepang menyesal lantaran dana yang sudah dikucurkan untuk studi kelayakan high speed rail (HSR) rute Jakarta-Bandung sangat besar.
Studi kelayakan HSR dikerjakan selama tiga tahun dan melibatkan pakar teknologi Jepang yang bermitra dengan Indonesia.
Kedua, Tanizaki menuturkan teknologi yang ditawarkan Jepang merupakan teknologi terbaik dan memiliki standar keamanan tinggi.
"Tapi keputusan ini sudah dibuat pemerintah Indonesia dan kami menghormatinya, karena ini bukan keputusan yang mudah. Saya akan langsung menyampaikannya ke Tokyo," kata Tanizaki.
Alasan proposal Jepang ditolak
Di penghujung tahun 2015, pemerintah Indonesia mantap menolak Jepang ikut andil dalam pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung.
Absennya Jepang dalam pengembangan megaproyek itu dikarenakan Negeri Sakura tidak bisa memenuhi syarat yang dimintakan pemerintah agar bentuk kerja sama diarahkan pada business to business, bukan antar pemerintahan.
"Kalau Jepang kan memang dari awal maunya G to G tapi jadinya B to B, di situ Jepang nggak bisa ikut dalam pengadaan Kereta Jakarta Bandung," ujar Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki (kini Menkop UKM) pada 29 September 2015.
Andil Rini Soemarno
Belakangan usai secara resmi menolak proposal Jepang, pemerintah Indonesia mengumumkan kerja sama dengan China dalam pengerjaan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Menteri BUMN 2014-2019, Rini Soemarno menyebut pemerintah Indonesia menerima China karena negara itu menawarkan pembangunan proyek tanpa APBN dan jaminan pemerintah.
Sebaliknya, Jepang melalui JICA meminta pemerintah Indonesia untuk menjamin proyek tersebut.
Karena menurut Jepang, pengerjaan kereta cepat sulit apabila menggunakan skema murni business to business.
"Begini soal kereta cepat supaya semua jelas. Padahal kan sebetulnya keputusan pemerintah sangat jelas. Nah kalau dilihat dari dua proposal yang diterima, yang memenuhi syarat adalah proposal dari Tiongkok. Karena dari Tiongkok tidak meminta jaminan dari pemerintah. Tidak minta anggaran dari pemerintah dan ini transaksi B to B karena BUMN dengan BUMN," ujar Rini Soemarno kala itu.
Karena itu pula kata dia, Kementerian BUMN melakukan pendalaman kepada BUMN China.
Lalu, akhirnya disepakti untuk membuat joint venture agreement.
"Yang diputuskan juga adalah ini konsorsium dari BUMN (dikerjakan BUMN tanpa APBN)," kata Rini Soemarno.
Adapun BUMN yang terlibat dalam konsorsium proyek kereta cepat meliputi PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga, PT Kereta Api Indonesia, serta PT Perkebunan Nusantara VIII.
Sementara China juga membentuk konsorsium demi proyek yang akan menelan dana puluhan triliun itu.
Tutur Rini, China Railway Corporation (CFC) akan memimpin konsorsium BUMN Tiongkok itu.
"Skema pembiayaan kan sudah jelas. Mereka sudah tawarkan 40 tahun (tenor) dari CDB (China Development Bank), 10 tahun grace period, 30 tahun pengembalian, bunga 2 persen. Ini 2 persen fixed untuk 40 tahun untuk komponen dollar," kata dia.
Tawaran China lainnya yang tidak dimiliki Jepang, yakni Beijing terbuka soal teknologi kepada Indonesia.(*)
Berita ini sebelumnya ditayangkan Kompas.com dengan judul "Kala Jepang Menyesal dan Kecewa pada Indonesia Gara-gara Kereta Cepat".