Timor Leste
Timor Leste Dikenal Negara Miskin Tapi Harga Makanan Sangat Mahal, Air Mineral Dijual Segini
Meski dikenal dengan negara miskin di dunia, tapi makanan dan minuman saja, harganya terbilang mahal.
TRIBUN-TIMUR.COM - Fakta seputar Timur Leste setelah merdeka dari Indonesia hingga kini terungkap.
Salah satu fakta Timor Leste, seputar mahalnya harga makanan dan minuman.
Meski dikenal dengan negara miskin di dunia, tapi makanan dan minuman saja, harganya terbilang mahal.
Saat berkunjung ke Timor Leste, jangan harap mendapat harga makanan seperti yang ada di Indonesia.
Diketahui, Negara Timor Leste terletak 400km utara Australia, melintasi Laut Timor, dan di Kepulauan Sunda Kecil di ujung timur kepulauan Indonesia.
Puncak tertinggi Timor Leste memiliki fosil laut dan daerah berhutan penuh dengan gua.
Hampir setengah dari 15.000 sq/km tanah Timor Leste memiliki kemiringan 40 derajat atau lebih.
Hal ini membuat pemandangan Timor Leste indah tetapi sangat sulit untuk pembangunan jalan dan penanaman.
Medan yang curam dikombinasikan dengan curah hujan yang tidak konsisten dan berbatu, tanah kapur menjadi tantangan bagi para petani di Timor Leste.
Daerah di sebelah barat Baucau dan di sekitar Lospalos dan Maliana merupakan dataran tinggi bergulung yang penting untuk pertaniandi Timor Leste.
Di sisi selatan Timor Leste, dataran pantai memiliki lebar 20-30 km, sedangkan di utara jauh lebih sempit dengan banyak bentangan pegunungan yang langsung ke laut.
Ada tanjung berbatu dan hamparan panjang pantai pasir putih halus.
Di sepanjang kedua pantai, pemandangan laut yang berkilauan sangat menakjubkan.
Terumbu karang tepi Timor Leste sangat luas dan patut dipuji.
Biaya Makan di Timor Leste
Ketika Anda mengunjungi Timor Leste, jangan berharap bisa menemukan makanan murah di sana.
Mengutip Intisari-online.com di artikel berjudul Mahalnya Biaya Makan di Timor Leste, Segini Harga Air Mineral yang di Indonesia Saja Paling Mahal Dihargai Rp5.000 dengan Ukuran Sama, rata-rata harga sekali makan di restoran yang ada di sana sekitar USD 3 atau setara Rp42 ribuan.
Bahkan harga air mineral berukuran 330 ml dihargai USD 0,67 atau Rp9.400,- di Indonesia saja harga air mineral paling mahal sekitar Rp5.000 dengan ukuran yang sama.
Mata uang Timor Leste yang mengadopsi dolar AS mungkin memberi keuntungan tersendiri bagi negara tersebut.
Sayangnya, kenyataan yang terjadi adalah kondisi perekonomian mereka masih jauh dari kata kokoh.
Meski menggunakan dolar sebagai mata uangnya, Timor Leste belum bisa memaksimalkan potensi dari penggunaan dolar tersebut.
Alasan Habibie Lepas Timor Leste
Seperti diketahui, Timor Leste telah memutuskan untuk memisahkan diri dari Indonesia sejak 20 tahun silam.
Salah satu kebijakan sarat akan polemik yang diputuskan Presiden ke-3 Republik Indonesia BJ Habibie, adalah referendum atau melepaskan Timor Timur (Timtim) dari Indonesia.
Dalam buku berjudul Detik-Detik yang Menentukan, Habibie menceritakan mengapa bumi Loro Sae ini harus menjadi bagian dari Indonesia atau justru menjadi negara yang merdeka.
Pada 30 Agustus 1999, hampir 80 persen rakyat Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia.
Referendum yang didukung PBB itu mengakhiri konflik berdarah sekaligus mengakhiri kependudukan mereka sebagai Warga Negara Indonesia.
Memberikan jalan bagi rakyat Timor Leste untuk meraih kemerdekaan.
Dilansir dari AFP via Kompas.com, pendudukan Timor Leste memantik aksi penindakan memilukan selama 24 tahun yang menelan nyawa 250.000 baik karena perang, kelaparan, hingga penyakit.
Namun kegembiraan berubah menjadi duka setelah militer Indonesia dan milisinya menyerbu dengan menghancurkan infrastruktur mereka, serta memaksa ratusan ribu orang mengungsi, dan membunuh 1.400 orang.
Timor Leste, negara yang sebagian besar dari 1,3 juta penduduknya memeluk agama Katolik, baru diakui secara Internasional tiga tahun setelah pemungutan suara.
Tidak seperti Indonesia yang dijajah Belanda, negara yang menjajah Timtim adalah Portugal.
Pada 1974, Revolusi Bunga terjadi di Portugal yang menyebabkan distabilitas politik di dalam negeri.
Portugal semakin kewalahan menghadapi pemberontakan di negara-negara jajahan di Afrika.
Masyarakat Timtim memanfaatkan momen tersebut, untuk memproklamirkan berdirinya suatu bangsa yang merdeka melalui pembentukan partai politik.
Oleh karena itulah wilayah Timor Timur atau pulau Timor bagian timur belum menjadi bagian dari Indonesia sejak awal.
Berbeda dengan pulau Timor bagian barat yang dikuasai Belanda atau yang nantinya menjadi provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Namun, proses kemerdekaan tidak semudah yang dibayangkan.
Ketegangan politik hingga fisik terjadi antara partai pro-kemerdekaan, dengan partai yang menginginkan Timtim menjadi bagian dari Indonesia.
Di tengah pertumpahan darah, masyarakat Timtim pada 30 November 1975 menggelar Deklarasi Balibo yang menegaskan poisis Timtim sebagai provinsi ke-27 Indonesia.
Pada tahun-tahun berikutnya muncul konflik antara pendukung kemerdekaan Timor Leste dan pemerintah Indonesia serta pendukung integrasi Timtim.
Sampai pada tahun 1991, terjadi apa yang disebut pembantaian Santa Cruz.
Ketika itu, tentara Indonesia melepaskan tembakan ke 4.000 pelayat pro-kemerdekaan di sebuah pemakaman yang sedang mengubur seorang siswa muda yang dibunuh oleh tentara.
Seorang jurnalis foto Inggris memfilmkan peristiwa yang menyebabkan lebih dari 200 orang tewas.
Rekaman tersebut disiarkan di televisi di negara-negara Barat dan untuk pertama kalinya pemerintah Amerika Serikat mengutuk kekerasan di Indonesia.
Bekas provinsi ke-27 itu membuat Indonesia menjadi bulan-bulanan dunia Internasional.
Banyak pihak yang menggunakan isu Timtim sebagai salah satu sarana memukul dan mempermalukan bangsa Indonesia di percaturan Internasional.
Tujuh bulan setelah BJ Habibie memegang tampuk kekuasaan atau tepatnya 19 Desember 1998, Perdana Menteri Australia, John Howard mengirim surat kepada Presiden Habibie. Ia mengusulkan untuk meninjau ulang pelaksaan referendum bagi rakyat Timtim.
Hari referendum pun tiba, pada 30 Agustus 1999 dilaksanakan referendum dengan situasi yang relatif aman dan diikuti hampir seluruh warga Timtim.
Namun, satu hari setelah referendum dilaksanakan suasana menjadi tidak menentu, terjadi kerusuhan berbagai tempat.
Sekjen PBB akhirnya menyampaikan hasil refrendum kepada Dewan Keamanan PBB pada 3 September 1999.
Hasilnya 344.580 suara (78,5 %) menolak otonomi, 94.388 (21 %) suara mendukung otonomi, dan 7.985 suara dinyatakan tidak valid.
Hasil referendum tersebut kemudian diumumkan secara resmi di Dili pada 4 September 1999, akhirnya masyarakat Timtim memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Habibie mengutarakan alasan dan fakta yang sangat cerdas.
1. Alasan Pertama
"Timtim dengan populasi sekitar 700.000 rakyat telah menarik minat dunia. Tapi saya punya 210 juta rakyat. Jika saya biarkan tentara asing mengurus Timtim, secara implisit saya berarti mengakui bahwa TNI tak bisa menjalankan tugasnya dan ini bisa berakibat buruk bagi stabilitas negara. Dan saya tak mau ambil risiko ini."
"Masalah Timor Timur sudah harus diselesaikan sebelum Presiden ke-4 RI dipilih, sehingga yang bersangkutan dapat mencurahkan perhatian kepada penyelesaian masalah nasional dan reformasi yang sedang kita hadapi."
2. Alasan Kedua
Saya menganggap Australia sejak lama telah menjadi 'sahabat' Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan 1945.
"Saya yakin bila saya biarkan tentara Australia masuk ke Indonesia, saya tidak hanya akan menghina dan mempermalukan TNI, tapi juga bila Australia masuk, apa pun keputusannya nanti, yang kalah akan menyalahkan Australia."
Atas alasan cerdas inilah Habibie pun mendapat respons yang baik dari belahan dunia, karena tidak mengandalkan kekerasan dan menumpahkan darah.
Bahkan jika dilihat dari segi ekonomi, Indonesia mendapatkan hal yang baik dari Timor-Timur.
Kini Timor Leste butuh pembangunan di infrastruktur, alhasil tender pembangunan di sana dimenangkan BUMN Indonesia dengan hal ini Indonesia diuntungkan, karena sebagai negara merdeka mereka tidak memakan dana dari Indonesia bahkan mereka mengeluarkan dana untuk keuntungan di pihak BUMN.
Dan apapun yang dikirim ke Timor Leste sekarang menjadi ekspor dan mendapatkan keuntungan devisa bagi negara.(*)