Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

dr Lois Owien

'Saya Kesal Sekarang', Untung Deddy Corbuzier Tak Percaya dr Lois Bahwa Pasien Covid-19 Dibunuh Obat

Untungnya Deddy Corbuzier Tak Percaya Kata dr Lois Pasien Covid-19 Dibunuh Obat, apa itu interaksi obat?

Editor: Mansur AM
net
dr Lois Owien dan Deddy Corbuzier 

TRIBUN-TIMUR.COM - Untungnya Deddy Corbuzier tak percaya dengan teori dr Lois Owien bahwa pasien Covid-19 meninggal bukan karena virus Corona tapi karena interaksi obat.

SEandainya Deddy Corbuzier percaya dengan teori dr Lois Owien, barangkali hasilnya akan berbeda.

Beruntung, Deddy Corbuzier mengikuti rekomendasi dokter yang merawatnya dengan mengkonsumsi sejumlah obat yang diberikan selama masa kritis karena badai sitokin di RS.

Di podcast terbarunya, mantan magician ini blak-blakan menkonsumsi banyak jenis obat atas rekomendasi dokter.

Ayah Azka Corbuzier ini pun membahas tentang perjuangan para dokter menyelamatkan nyawanya.

Bahkan ia mengaku harus mengonsumsi berbagai jenis obat demi melewati masa-masa kritis saat terkena Badai Cytokine tersebut.

Karena momen itu pula, Deddy mengaku menjadi kesal dengan dr. Lois Owien yang dulu koar-koar tak percaya dengan Covid-19, hingga menyebarkan isu soal interaksi obat yang membuat banyak orang meninggal.

Menurut Deddy, nyawanya bisa tertolong pada waktu yang tepat karena para dokter memberikannya obat yang tepat.

Ia bahkan tak bisa membayangkan jika dokter tak memberikan obat yang tepat kepadanya.

"Anda masukin obat ke saya banyak sekali. Kemarin ada dr. Lois yang bilang orang mati gara-gara masukin obat," kata Deddy.

"Saya jadi kesal sekarang, karena saya tahu jika pada saat itu tidak anda tolong dengan obat yang banyak itu, saya mati malahan," ucapnya menambahkan.

dr. Gunawan yang bertanggung jawab menangani Deddy pun mengaku para tenaga medis selalu memberikan obat sesuai dengan keluhan pasien.

"Obat yang saya berikan sesuai dengan patokan dan prosedur. Tapi di luar dari prosedur itu kita harus improvisasi. Jadi setiap kasus beda penanganannya, itu art seorang dokter," ujar dr Gunawan SpPD dikutip tribun-timur.com dari podcast Deddy Corbuzier.

Interaksi Obat versi dr Lois dan Dokter Berpengalaman

Beberapa waktu lalu, jagat maya dihebohkan viralnya pernyataan dokter Lois Owien atau dr Lois yang menyebut bahwa kematian pasien COVID-19 akibat interaksi obat.

Bahkan dalam akun twitternya @LsOwien, ia mengaku tidak percaya COVID-19.

Polisi sampai turun tangan dan memeriksa dr Lois Owien

dr Lois Owien kemudian meminta maaf atas pernyataannya bahwa interaksi obatlah yang menyebabkan kematian pasien Covid-19. 

Terungkap juga fakta lain jika dr Lois Owien ternyata bersoal dengan izin praktiknya sebagai dokter. 

Namun demikian, pernyataannya tentang interaksi obat yang menyebabkan banyak pasien Covid-19 wafat sudah terlanjur menyebar.

Sontak hal itu tentu menimbulkan pertanyaan dan keresahan masyarakat, karena hal itu bertentangan dengan apa yang terjadi selama 1,5 tahun ini.

Bagaimana faktanya, benarkah seseorang dapat meninggal karena interaksi obat?

Berikut penjelasan detail dari Guru Besar Farmasi UGM Prof Zullies Ikawati, PhD, Apt.

Ia menjelaskan, Interaksi obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien.

Secara umum, interaksi ini dapat menyebabkan meningkatnya efek farmakologi obat lain bersifat sinergis atau additif atau mengurangi efek obat lain (antagonis), atau meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan

"Karena itu, sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya, ada yang menguntungkan, ada yang merugikan. Jadi tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Senin (12/7/2021).

Lalu, kapan interkasi obat menguntungkan?

Ia memaparkan, banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat untuk terapinya, apalagi jika pasien memiliki penyakit lebih dari satu (komorbid).

Bahkan satu penyakitpun bisa membutuhkan lebih dari satu obat. Contohnya hipertensi.

Pada kondisi hipertensi yang tidak terkontrol dengan obat tunggal, dapat ditambahkan obat antihipertensi yang lain, bahkan bisa kombinasi 2 atau 3 obat antihipertensi.

Dalam kasus ini, memang pemilihan obat yang akan dikombinasikan harus tepat, yaitu yang memiliki mekanisme yang berbeda, sehingga ibarat menangkap pencuri, dia bisa dihadang dari berbagai penjuru.

Obat tersebut dapat dikatakan berinteraksi, tetapi interaksi ini adalah interaksi yang menguntungkan, karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah.

"Memang tetap harus diperhatikan terkait dengan risiko efek samping, karena semakin banyak obat tentu risikonya bisa meningkat," jelasnya.

Kemudian untuk terapi COVID-19, Prof Zullies menyebut COVID-19 merupakan penyakit yang unik di mana kondisi satu pasien dengan yang lain dapat sangat bervariasi.

Misalnya pasien yang bergejala sedang sampai berat dapat terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lain-lain.

"Karena itu, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin-vitamin. Justru jika tidak mendapatkan obat yg sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian," ungkap dia.

Menurutnya, dokter tentu akan mempertimbangkan manfaat dan risikonya dan memilihkan obat yang terbaik untuk pasiennya. Tidak ada dokter yang ingin pasiennya meninggal dengan obat-obat yang diberikannya.

Lantas, kapan interaksi obat dapat merugikan?

Interaksi obat dapat merugikan jika adanya suatu obat dapat menyebabkan berkurangnya efek obat lain yg digunakan bersama.

Atau bisa juga jika ada obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain yang digunakan bersama, maka akan makin meningkatkan risiko total efek sampingnya.

"Jika efek samping tersebut membahayakan, tentu hasil akhirnya akan membahayakan," tutur perempuan berhijab ini.

Seperti contohnya obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang dulu digunakan untuk terapi Covid, atau azitromisin dengan levofloksasin.

Keduanya sama-sama memiliki efek samping mengganggu irama jantung.

Jika digunakan bersama maka bisa terjadi efek total yang membahayakan.

Selain itu, interaksi obat dapat meningkatkan efek terapi obat lain.

Pada tingkat tertentu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain dapat menguntungkan, tetapi juga dapat berbahaya jika efek tersebut menjadi berlebihan

Misalnya efek penurunan kadar gula darah yang berlebihan akibat penggunaan insulin dan obat diabetes oral, bisa menjadi berbahaya.

Cara Menghindari Interaksi Obat

Ia menjelaskan, kadangkala dalam terapi tidak bisa dihindarkan untuk menggunakan kombinasi obat, bahkan bisa lebih dari 5 macam obat.

Untuk itu, perlu dipilih obat yang paling kecil risiko interaksinya.

"Faktanya, tidak semua obat yang digunakan bersama itu menyebabkan interaksi yang signifikan secara klinis. Yang artinya aman-aman saja untuk dikombinasikan atau digunakan Bersama," terang Prof Zullies.

Pada dasarnya, interaksi obat dapat dihindarkan dengan memahami mekanisme interaksinya.

Mekanisme interaksi obat itu sendiri bisa melibatkan aspek farmakokinetik (mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain), atau farmakodinamik (ikatan dengan reseptor atau target aksinya).

Untuk obat yang interaksinya terjadi jika bertemu secara fisik, seperti obat antibiotika golongan kuinolon dengan calcium yang membentuk ikatan kelat misalnya, maka pemberian dengan jeda waktu yang lebar dapat menghindarkan interaksinya.

Tetapi jika mekanismenya adalah mempengaruhi metabolisme obat sehingga menyebabkan kadar obat lain meningkat atau berkurang, maka pengatasannya adalah dengan penyesuaian dosis obat, karena hanya memberi jeda waktu pemberian tidak akan mengurangi dampak interaksinya.

Jika pemberian jeda pemberian dan penyesuaian dosis tidak dapat mencegah dampak interaksi, maka cara lain menghindari interaksi obat adalah dengan mengganti obat yang berinteraksi dengan obat lain yang kegunaannya sama, tetapi kurang berinteraksi.

" Sekali lagi, dampak interaksi obat tidak bisa digeneralisir dan harus dilihat kasus demi kasus secara individual, sehingga pengatasannya pun berbeda-beda pada setiap kasus," tegasnya.

Lebih jauh ia mengungkapkan interaksi obat tidak semudah itu menyebabkan kematian.

Jika ada penggunaan obat yang diduga akan berinteraksi secara klinis, maka pemantauan hasil terapi perlu ditingkatkan.

Sehingga, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat interaksi obat, dapat segera dilakukan tindakan yang diperlukan, misal menghentikan atau mengganti obatnya.

Hal ini menunjukkan juga perlunya kerjasama antar tenaga kesehatan dalam memberikan terapi kepada pasien (dokter, perawat, apoteker, dll) sehingga dapat memantau terapi dengan lebih cermat, sehingga tidak berdampak membahayakan bagi pasien.

"Jadi, jika ada yang menyebutkan bahwa kematian pasien Covid adalah semata-mata akibat interaksi obat, maka pernyataan itu tidak berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan," jelas akademisi UGM ini.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved