Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tribun Kampus

IMMIM-UMI Bahas Hijrah dari Anomali Sosial Menuju New Sosial

Di Eropa atau barat secara umum, menghina presiden dianggap bukan sesuatu yang luar biasa. 

Penulis: Rudi Salam | Editor: Hasriyani Latif
UMI
DPP IMMIM dan Universitas Muslim Indonesia (UMI) menggelar diskusi Mubalig secara virtual bertema 'Hijrah Dari Anomali Sosial Menuju New Sosial', Sabtu (21/8/2021). 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - DPP IMMIM dan Universitas Muslim Indonesia (UMI) berkolaborasi menggelar diskusi Mubalig secara virtual bertema 'Hijrah Dari Anomali Sosial Menuju New Sosial', Sabtu (21/8/2021).

Diskusi ini dipandu dua orang Pengurus DPP IMMIM dan juga dosen UMI yakni HM Ishaq shamad dan Hj Nurjannah Abna.

Diskusi yang diikuti oleh pimpinan dan pejabat serta sivitas akademika dua lembaga ini menghadirkan dua guru besar terkemuka yakni Prof M Quraish Shihab dan Prof HM Tahir Kasnawi.

Dalam pemaparannya, Prof Quraish Shihab banyak menjelaskan terkait sejumlah anomali yang berkembang di masyarakat luas. Menghina presiden, misalnya. 

Menurutnya, di Eropa atau barat secara umum, menghina presiden dianggap bukan sesuatu yang luar biasa. 

Namun jika menyimpang atau mengancam peraturan yang tepat atau ekstrem, maka bisa dianggap melampaui batas. 

"Selanjutnya tolak ukur anomali apa? Apakah tolok ukur itu berupa nilai yang dimasyarakat nilai tersebut disepakati? Jika nilai yang disepakati itu buruk, apakah juga dinamai anomali sosial?,” jelasnya via rilis Humas UMI, Minggu (22/8/2021).

“Ada yang berkata, ikuti hati nurani, namun apakah hasil nurani juga disepakati? Karena nurani menurut Aristoteles yang merendahkan wanita,” sambungnya.

Bahkan, kata dia, ketika di Eropa terjadi perbedaan pandangan kaum Agama dengan Ilmuan dan akhirnya sadar bahwa nilai yang dianut berbeda.

Dalam Islam, kata mantan rektor IAIN (sekarang UIN Alauddin) ini, tolak ukur yang digunakan ada dua yakni nilai qat'i, adalah yang pasti, dan yang kedua bersifat zanni (belum pasti) jika disepakati oleh masyarakat, misalnya soal makruf.

"Makruf itu adat kebiasaan yang bisa jadi diakui atau tidak diakui oleh masyarakat. Makruf bisa beda-beda, sesuai dengan agama atau al Quran juga berbeda. Jika menghormati sesuatu, bukan berarti menerima, karena dalam
setiap masyarakat, ada yang dianggap baik oleh masyarakat," paparnya.

Selain itu, Prof Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa nurani juga banyak maknanya, bisa berarti cahaya, bisa juga berarti sumber dari Kitab Suci. 

“Disini kita berbeda dengan yang lain. Apasih yang menyebabkan terjadinya anomali?Jawabnya bisa banyak. Bisa saja Media mempengaruhi kita. Padahal isi media bisa baik, bisa juga buruk," jelasnya.

Lebih dari itu, ia menjelaskan perihal kesalahfahaman yang sering terjadi karena ketidakmampuan membedakan ilmu agama dan keberagamaan.

Katanya, agama pasti sudah sempurna, tetapi Ilmu agama masih berkembang, misalnya shalat dari dulu hukumnya wajib. 

Tetapi syarat-syaratnya, adalah ilmu agama, sehingga bisa berbeda dalam implementasinya.

"Ada yang menjadikan Ilmu agama sama dengan agama, sehingga ada orang yang berbeda ilmu agamanya dengan dia, maka dia menganggap orang yang lain itu salah. Padahal keberagaamaan/praktek beragama yang berbeda. Inilah salah satu sebab, sehingga terjadi anomali sosial," imbuhnya.

Untuk mengatasinya, menurut tokoh yang pernah menjadi dosen di UMI ini, semua pihak harus melibatkan diri mulai dari ulama, pemerintah, tokoh pendidikan, dan banyak lagi.

"Untuk mengatasinya, tidak bisa cuma ulama, ustaz, IMMIM atau UMI, tetapi semua harus terlibat dalam mengkaunter anomali, sebab anomali itu, adalah kezhaliman, atau ketiadaan keadilan sosial," kuncinya.

Sementara itu, Prof Tahir Kasnawi menjelaskan anomali dari tinjauan Sosiologi. 

Dikatakannya, fenomena yang dijalani saat ini, adalah fenomena sosial yang harus diantisipasi dengan baik, agar kita bisa masuk ke New Normal Sosial.

Ia mengutip pernyataan Ibnu Khaldun, Tokoh Sosiologi Muslim, yang menyatakan anomali sosial, adalah sesuatu kondisi yang sulit dihindari karena sebagai proses pada waktunya . 

Di tengah masyarakat ada persoalan yang tidak bisa diprediksi kejadiannya besok atau lusa.

Dia merupakan penyimpangan dari keteraturan sosial.

"Prediksi susah, karena ada anomali sosial menuju New Normal sosial, kita mengkonteskan dalam kehidupan bangsa. Kita menerima fakta, dari kelompok masyarakat tertentu," bebernya.

Dalam Tipologi Sosial, kata Prof Tahir, terbagi ke dalam masyarakat tradisional dan modern. 

Ini Diikat oleh sentimen bersama, itulah masyarakat tradisional. 

Sedangkan masyarakat modern, disatukan oleh kesamaan elemen-elemen, ada proses urbanisasi dan modernisasi yang selalu berkembang dari masa ke masa, termasuk teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana dikemukakan Alfin Toffler.

"Secara perlahan, merubah komunitas yang diikat oleh elemen geografi dan menuju masyarakat society.Secara merdeka namun terikat dalam kehidupan masyarakat modern. Oleh karena itu, masih ada nilai agama yang terjadi penafsiran yang berbeda," tuturnya.

Kegiatan ini juga berlangsung secara interaktif. Peserta mengajukan sejumlah pertanyaan perihal fenomena mutakhir. Dan semuanya tampak mengikuti dengan baik.

Hadir dalam kegiatan ini, Ketua Umum DPP IMMIM Prof Ahmad Sewang, Ketua Dewan syura IMMIM AGH Muhammad Ahmad, Ketua Umum Yasdic IMMIM HM Ridwan Abdullah dan WR IV UMI KH Zain Irwanto, muballigh, pengurus ormas Islam, akademisi dan deretan pejabat terkait.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved