Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pengalaman Terpapar Covid

Catatan Hikmah dan Pengalaman Terpapar Covid-19: Vaksin, Jika Tubuh Mau Imun!

Setiap saat sejak terpapar, tidak boleh perut kosong,makan apapun termasuk buah-buahan, minum air hangat,menjaga tidur dan istirahat, serta berjemur

Editor: AS Kambie
zoom-inlihat foto Catatan Hikmah dan Pengalaman Terpapar Covid-19: Vaksin, Jika Tubuh Mau Imun!
dok.tribun
Dr Adi Suryadi Culla, Dosen Fisipol Unhas

Oleh
Adi Suryadi Culla
Koordinator Forum Dosen, Ketua Dewan Pendidikan Sulsel dan Dosen Fisipol Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - “Tidak ada jaminan setelah vaksin (vaksinasi), orang tidak akan terpapar Covid-19. Namun, dengan vaksin, dijamin risiko jika terkena tidak akan separah dibandingkan belum pernah vaksinasi”.

Ini, kutipan jawaban Prof Idrus Paturusi menjawab pertanyaan Ustad Dasad Latif, dalam suatu video singkat yang beredar di medsos di sela kegiatan vaksinasi umum di kampus Universitas Hasanudin.

Tak ada jaminan, tapi dapat dibayangkan jika terkena Covid belum vaksin. Saya mengalami dua kali serangan terasa berat, terjangkit.

Belum vaksin? Sudah! Bahkan ada bukti sertifikat atau kartu. Saya bangga bahkan menceritakan dan menunjukkannya ke banyak orang.

Saya selalu ingin memotivasi siapapun untuk segera vaksin. Dengan manfaat saya katakan, imun tubuh lebih kuat.

Ini pengalaman saya. Sudah vaksin? Ya, tapi terserang sudah dua kali. Tetapi, saya merasa lebih kuat.

Berkat vaksin, untuk membahasakan secara medis saya tak paham – tetapi, lebih terasa mekanisme pertahanan tubuh. Imun dari dalam fisik lebih resisten, membantu melawan virus Covid.

Tambahan dengan vaksin, optimisme dan semangat lebih terasa organik. Dalam agama, pun mengajarkan, berikhtiar lebih baik daripada tanpa tindakan.

Serangan Dua Kali

Pengalaman terserang Covid, mungkin tidak sama. Pasti saya tidak lebih parah daripada banyak orang.

Banyak lebih berat dan tersiksa. Apalagi tak terhitung sudah menjadi korban meninggal. Penyebab dari awalnya?

Kalau saya boleh membuat testimoni sederhana: tidak disiplin maka terpapar. Karena berada dalam kerumunan, tidak steril saat cuci tangan, boleh jadi karena teledor masker, dan berbagai pelanggaran protokol kesehatan lainnya.

Kali pertama terserang, dugaan dari acara kumpul bersama di bulan Ramadhan lalu. Saat itu buka puasa bersama, di tengah kerumunan saling berhadapan di meja makan.

Setelah balik ke rumah, tubuh terasa tak menentu.

Belakangan baru ketahuan : terpapar Covid-19. Ada hasil foto roentgen, gambaran bercak di sekitar paru-paru. Itu tanda serangan Covid yang sebenarnya sudah berlangsung beberapa hari sehingga bermanifestasi menjadi pneumonia, kata dokter yang menangani.

Saat mengalami tekanan sakit fisik selama sekian hari terpapar, baru pemeriksaan diri dan roentgen di rumah sakit.

Kali kedua, sumber terinfeksi Covid kemungkinan dari sejumlah acara keluarga khususnya perkawinan.

Terasa semua wajar, menghadiri acara perkawinan beberapa keluarga dan kerabat dekat yang sulit ditolak.

Kembali pasti teledor, meskipun berusaha tidak abai disiplin. Tetapi alhasil: terpapar kembali. Dengan gejala terasa jauh lebih berat daripada pengalaman terpapar sebelumnya. Namun dengan isyarat serupa: panas dari dalam, kepala sangat berat, demam, batuk, persendian seluruh tubuh sakit, suara parau, nafas terganggu, dan mengalami hilang penciuman bau. Gejala lainnya sulit tidur, rasa cemas di malam hari. 

Menyesal, pasti. Bukan salah bunda mengandung.

Pengalaman kedua terpapar adalah di tengah merebaknya kembali angka masyarakat Indonesia terpapar virus Covid, setelah gelombang virus varian Delta dari India yang ramai dibicarakan menyerang.

Namun, di tengah gencarnya proses vaksinasi masyarakat juga digalakkkan di hampir semua daerah.

Antigen Negatif

Pengalaman kedua terpapar Covid, ada yang menarik. Perbedaan antara hasil test antigen dengan test PCR. Test antigen, negative, sedangkan test PCR positif. Tetapi, hal tersebut saya angap wajar, pun hal biasa saya dengar berbeda. 

Namun, menurut medis test PCR dianggap dan diakui lebih sensitif akurasinya daripada pemeriksaan test antigen.

Cerita awalnya, saya pikir hanya penyakit demam biasa. Namun berlangsung sampai hari ke dua makin berat, barulah memutuskan untuk melakukan test antigen di sebuah klinik yang dapat dipercaya lebih terjamin akurasinya.

Alhamdulilllah, hasilnya negatif! Tetapi, kemudian belum yakin juga! Apalagi dengan kondisi yang terus memberat. Maka, saya memutuskan, untuk lebih meyakinkan memeriksakan diri ke dokter ahli paru-paru.

Kebetulan dokter ahli yang memeriksa sudah akrab. Dokter Jamal, bekerja di Rumah Sakit Labuang Baji, yang mengobati saat pengalaman pertama. Tidak perlu roentgen  seperti dulu, katanya, itu Covid!

Meskipun,  belum ada bukti dengan test PCR. Itu pengalaman beliau selama menangani banyak kasus Covid. Meski begitu, tetap merekomendasikan, saat itu sebenarnya sudah sekitar pukul 23.00 menjelang tengah malam, agar segera mencari klinik yang masih terbuka. Untuk test PCR.

Segera! Karena, hasil test PCR juga butuh waktu 1 x 24 jam. Itu pun belum tentu, di tengah banyaknya layanan pasien Covid. Untuk mengantisipasi lebih awal, agar obat tepat dapat diresepkan.

Lebih baik seperti itu, daripada terlambat diketahui atau dilaporkan seperti dialami banyak pasien hingga kemudian sulit penyembuhan.

Dan bersyukur, melalui bantuan dua anak saya – satunya dokter Puskemas, bersama adiknya juga calon dokter baru saja selesai koas -- yang terus mencari informasi malam itu melalui teman-temannya, hingga akhirnya diperoleh info ada satu klinik yang masih bersedia melayani test PCR.

Terjawab. Test PCR, saya positif. Dengan gambaran CT Value 15. Untuk perawatan lebih baik, dokter menyarankan agar segera dirawat di rumah sakit.

Komunikasi saya dengan Prof Idrus Paturusi, Prof Irawan Yusuf, dan Prof Budu, bahwa dengan hasil PCR dan gejalanya seperti itu sebaiknya isolasi mandiri (Isoman) di rumah sakit.

Tetapi, saya memutuskan isoman di rumah saja, dengan pertimbangan antara lain: pengawasan dokter yang tetap ada, tersedia alat pengukur tanda vital dan saturasi, serta gejala juga cenderung membaik.

Doa Keluarga dan Sahabat

Coretan ini saya buat, saat mengalami isolasi mandiri (isoman) di rumah sudah hari ke-7 dari 14 hari yang disarankan ke depan.

Juga saat berlangsung pengobatan melalui resep dokter, dan konsultasi melalui media sosial yang menjadi penguat selama menjalani isoman.

Sejumlah obat yang diresepkan ternyata tidak mudah diperoleh. Obatnya harus dengan resep dokter, dan tidak semuanya tersedia di apotik. Anak saya harus berkeliling ke beberapa apotik untuk mendapatkan obat yang diresepkan.

Dukungan keluarga menjadi obat yang tak kalah ampuh. Selama isoman di rumah, isteri dan anak dengan penuh kesetiaan, tanpa kenal lelah memberi perhatian. Saya mengikuti dengan perasaan yang tidak tega, mendapatkan semangat!

Segera harus sembuh. Setiap saat sejak terpapar, disiapkannya obat yang diresepkan dokter, tidak boleh perut kosong, harus makan makanan apapun termasuk buah-buahan, minuman air hangat, menjaga tidur dan waktu istirahat, berjemur di terik matahari setiap pagi, dan sebagainya.

Saya seringkali malu sendiri, dan menyesal, karena mendapatkan perhatian saat yang sama masih seringkali sulit diatur dan “bandel” tak terbuang.    

Demikian tak terbayangkan, ternyata banyak teman sejak beberapa hari mendoakan. Di awal sebenarnya saya tidak ingin menyampaikan kondisi terpapar ke orang lain, cukup terbatas isteri dan anak di rumah saja yang tahu.

Namun, dengan pertimbangan sosial, saya hari ketiga kemudian akhirnya mengumumkan secara terbuka dengan menulis pesan yang kemudian menyebar di berbagai group WhatsApp.

Bersyukur, begitu banyak yang mendoakan, memberi dukungan semangat. Sungguh salah satu berkah media sosial terasakan, jika digunakan secara positif, untuk menjalin silaturahmi kemanusiaan.

Beberapa pesan muncul tiap saat dari keluarga dan sahabat dekat yang berempati. Semua menanyakan kabar. Hari ketujuh ini baru saya membalas pesan: “Setelah melalui isoman hingga 7 hari ini (seminggu).

Alhamdulillah, kondisi mulai agak membaik. Mohon doa, semoga dapat pulih kembali ke depan. Terima kasih semuanya atas perhatian ta …”

Terapi Doa dan Empati

Paparan di atas mungkin terkesan sebagai lagu lama atau coretan biasa. Silahkan dipetik jika maknanya bermanfaat.

Bahwa pengalaman terpapar Covid sungguh tak nyaman. Jika tidak ingin mengalami, jaga disiplin atau protokal kesehatan.

Sekali lagi, Covid itu nyata. Bukan hoaks, begitu banyak orang dekat kita yang sudah jadi korban.

Bersyukur, vaksin sudah tersedia. Ikut dan dukung kegiatan vaksinasi untuk perkuat imun, antisipasi agar tubuh lebih kuat dalam menghadapi ancaman Covid 19 yang memang tak pernah bisa dipastikan.

Bagi mereka yang mungkin masih sedang berjuang, mengalami serangan sakit Covid, marilah memberikan dukungan dan semangat bersama.

Berkah semangat yang paling indah di tengah sakit yang terasakan, dan justru menjadi obat paling mujarab lebih daripada obat medis di saat sakit Covid, bagi mereka yang terpapar adalah perhatian dan doa orang-orang yang bersimpati dan berempati pada si penderita.

Semoga bangsa ini, dan kita semua, dapat terus saling mendukung melewati ujian Covid 19 ini dengan kuat. #vaksinasijagaimun#.(*) 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved