Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

CITIZEN ANALISIS

CITIZEN ANALISIS: Tak Heran Jika Rakyat Dianalogikan Sebagai Ternak

Kekuasaan yang efektif dikepalai penguasa yang bisa mengatur ternaknya, karena yang terpenting bagi ternak adalah makan dan terpenuhi segala kebutuhan

Editor: AS Kambie
dok.tribun
Asratillah, Peneliti Penta Helix Indonesia 

Oleh: Asratillah
Peneliti di PT.Penta Helix Indonesia

TRIBUN-TIMUR.COM - Politik senantiasa gaduh memang, terutama antara rakyat jelata dengan para elite di tampuk kekuasaan.

Kegaduhan yang menandakan pertarungan, adanya harapan dan kepentingan yang tak selalu bisa bertemu lalu cocok.

Apapun sistem politiknya, apakah tirani ataupun aristokrasi, apakah oligarki ataupun demokrasi, kegaduhan akan menjadi semacam kutukan yang built in jika berurusan dengan kekuasaan.

Di abad ke 4 sebelum Masehi, tersebutlah sorang filsuf yang konon juga mantan prajurit, yang begitu menampakkan keenggenannya terhadap demokrasi. Xenophone, yang juga murid dari Socrates, menyaksikan gurunya mesti mati dengan meneguk racun, akibat dituduh berbuat makar oleh rezim Athena saat itu.

Socrates dipersangkakan merusak pikiran anak-anak muda di Athena, menghina kepercayaan orang banyak, dan bisa mengganggu stabilitas politik polis.

Dan peristiwa ini melahirkan semacam rasa muak pada Xenophone pada demokrasi, dan menganggapnya sebagai pemerintahan oleh orang bodoh.

Rasa muak Xenophone tak hanya berhenti dalam ruang bathin. Tetapi berlanjut melalui ujung jemarinya, dan mempelopori genre literature politik yang dalam era Reanisans dikenal dengan "speculum principum" (mirror for princes), semacam tulisan yang berisikan nasihat atau petuah bijak bagi sorang penguasa agar efektfif dalam menjalankan kekuasaan.

Sepertinya Xenophone, menganggap bahwa dalam sebuah tubuh politik, yang terpenting dan yang paling tercerahkan adalah para elite politik.

Sedangkan rakyat biasa adalah sekumpulan orang yang tidak begitu tahu menahu soal urusan kenegaraan.

Dalam tulisannya yang dijuduli "Kyrou Paideia", tak heran jika rakyat dianalogikan sebagai ternak.

Kekuasaan yang efektif adalah yang dikepalai oleh penguasa yang bisa mengatur ternaknya, karena yang terpenting bagi ternak adalah makan dan terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar hidupnya, tapi soal visi alias mau dikemanakan ternak di masa mendatang maka itu urusan penguasa.

Ternak tak begitu cakap dalam menentukan masa depan mereka.

Yang menjadi kegelisahan Xenophone, adalah banyaknya penguasa yang tak berkutik di hadapan rakyatnya, ibarat para “majikan” (depotes) yang gagal menanamkan kepatuhan mutlak pada “budak-budak rumah tangganya” (oiketas).

Di bagian tulisannya yang lain, Xenophone mengibaratkan rakyat sebagai “biri-biri”, baginya pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan dimana "biri-biri” mengikuti instruksi penggembalanya (nomeus) dalam hal ini penguasa.

Sebuah hal yang janggal dan aneh bagi Xenophone jika ada “biri-biri” yang mogok, lalu menuntut pembagian hasil (nemontai) yang lebih adil pada penggembala.

Tapi nyatanya, menundukkan sekelompok manusia tak semudah menundukkan “biri-biri”.

Tidak ada penguasa, yang tak dihantui oleh penolakan rakyat akan sistem bagi hasil  ataupun hukum (nomos) yang telah ditentukan oleh penguasa.

Dan Xenopohone cukup kagum kepada seorang penguasa yang bernama Kyros yang Agung, karena mampu menundukkan rakyatnya dengan cara menancapkan rasa ngeri yang diperlukan (phobos) dalam hati rakyatnya.

Maka Xenophone menekankan agar penguasa memliki keterampilan politik (politike tekhne), dan hal ini tentunya akan bermuara pada ketaatan sukarela dari rakyat, "ketaatan sukarela selalu lebih baik daripada kepatuhan yang dipaksakan", ungkapnya.

Keterampilan atau seni berpolitik merentang mulai dari kemampuan untuk mengatur jaringan mata-mata, mengatur arak-arakan di tengah masyarakat banyak, mengatur strategi militer, dan yang terpenting adalah kemampuan medistribusikan privelese politik di antara pejabat atau orang penting disekitarnya.

Jika ini dengan disiplin dilakukan oleh sang penguasa, maka dia akan mampu terus mengeruk untung dari rakyat sembari membuat mereka bahagia sehingga tak memiliki keperluan untuk menentang penguasanya.

Lalu beberapa waktu yang lampau, tidak sedikit para elit politik kita, tak henti-hentinya menuntut “ketaatan sukarela” bahkan “tak usah banyak tanya” karena alasan kedaruratan.

Tidak boleh ada suara sumbang, selain mengganggu stabilitas politik, maka dianggap “tak punya hati” karena menganggu fokus segala upaya memerangi pandemi.

Tak sedikit pula yang mengeluarkan pernyataan bernada mengancam, membatasi layanan publik, jika tak menjadi rakyat yang taat. Bahkan masukan dari para akademisi pun seringkali diacuhkan.

Yah mungkin saja, para elit bersangkutan adalah pembaca tekun dari gagasan-gagasan Xenophone (itupun jika mereka memang gemar membaca, baik sebelum ataupun setelah menjabat), yang menganggap peran-peran mereka selayaknya gembala (nomeus).

Rakyat cukup menjadi “biri-biri” yang menuruti kemauan para penggembalanya. Agar taat dengan sukarela, mesti diancam melalui pernyataan di media, agar tertanam rasa takut (phobos) di hati mereka.

Tugas penting rakyat adalah menjadi “biri-biri” penurut, yang normalnya tak usah banyak ikut campur dan protes mengapa para koruptor masa hukumannya disunat sana-sini, padahal salah satu koruptor yang bersangkutan lampau hari menyunat bantuan sosial buat warga negara yang rentan.

Dan saya pun ikut bingung, jika mereka betul menganggap kita “biri-biri” (apalagi jika dekat-dekat ini tidak ada momen pemilihan), apakah mereka mengalami hal traumatik sebagaimana Xenophone, yang menyaksikan gurunya dijatuhan hukuman mati oleh majelis rakyat Athena yang demokratis?

Kalau kita berbicara, siapa yang lebih layak trauma dan kecewa dengan label demokrasi kita selama ini, tentulah para rakyat jelata, buruh, nelayan, petani, pengangguran di lorong-lorong kota yang tak dianggap penting kecuali di hari pemilihan, dan ibu-ibu yang seringkali kesulitan memberikan nutrisi buat bayinya karena sang suami telah di PHK.

Kita sadari, bahwa demokrasi sedang diuji dalam situasi krisis seperti saat ini. Semestinya yang kita dorong adalah “partisipasi” rakyat dalam sebuah kebijakan, bukan soal “ketaatan”.

Tapi kita juga tidak bisa menyalahkan jika rakyat jelata begitu kurang minat berpartisipasi dalam program-program pemerintah, karena bisa jadi harapan-harapan mereka akan negara begitu jomplang dengan kenyataan yang ada. 

Rakyat berharap akses pada layanan kesehatan dan pendidikan berkualitas dipermudah, tapi nyatanya sering dipersulit karena alasan administrasi.

Rakyat miskin berharap agar anggaran negara digunakan seoptimal mungkin, nyatanya “dirampok” sana-sini.

Rakyat berharap agar pemimpin mereka menjadi pengayom, “nyatanya” lebih mengayomi kepentingan si oligarki ketimbang kepentingan kelompok rentan.

Tapi, kekuasaan punya candunya sendiri, dan bisa menjadikan sesorang yang menikmatinya dalam jangka panjang akan menjadi maniak.

Dan Xenopohone seakan-akan memberikan peringatan soal perbedaan kadar kebahagiaan (euphrosynos) antara warga biasa dengan seorang penguasa yang maniak kekuasaan.

Dalam Heiron, melalui dialog dengan seorang tiran (yang tentunya maniak kekuasaan) dari Sirakusa yang bernama Heiron, Xenophone menuliskan bahwa dibandingkan hidup sebagai orang awam, hidup sebagai tiran sangatlah tidak membahagiakan.

Seorang Tiran akan selalu was-was, sulit tidur, banyak pikiran, khawatir jika ada yang merebut takhtanya, mesti selalu siaga dan memasang telinga untuk memeriksa ocehan rakyat yang seringkali kurang sedap.

Kebijkan dan pernyataan publik yang seringkali krasak-krusuk dari sebagian elite kita, bisa jadi menandakan dua hal, pertama¸ pengetahuan elit kita yang terbatas akan situasi yang sedang berkembang.

Kedua, bisa jadi penanda akan kegelisahan mereka akan dipergunakannya situasi saat ini oleh pihak-pihak tertentu, untuk menggeser posisi nyaman mereka di “kursi kekuasaan” saat ini.

Tapi yang saya tuliskan di atas masih dugaan-dugaan sementara saja, sekedar menyampaikan opini.

Apapun yang terjadi selanjutnya kita berharap yang terbaik(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved