Makassar Recover
Salah Urus Covid-19 di Sulsel, Program Lebay Hingga Komunikasi Kontraproduktif
Fakta membusuknya mayat di RSUD Daya Makassar adalah contoh kecil betapa buruknya penanganan Covid di Sulsel.
Sedari awal sudah banyak diingatkan baik oleh para ahli dari Unhas, termasuk epidemiolog senior maupun oleh pemerintah pusat agar waspada mengenai lonjakan kasus di Jawa dan Bali akibat serangan varian delta.
Tetapi masukan tersebut tidak digubris.
Alih-alih mendengar masukan dari para ahli epidemiologi, Pemkot Makassar justru melakukan program yang sangat kontroversil; mobilisasi ribuan satgas detektor door to door ke rumah warga tanpa dibekali APD standar dan pelatihan yang disyaratkan untuk menjadi tenaga tracer.
Mobilisasi ribuan orang inilah yang disesalkan banyak pihak, tetapi Danny Pomanto bergeming.
Pemkot Makassar tetap melanjutkan mobilisasi ribuan relawan dengan dalih melakukan pelacakan dan pendataan kondisi kesehatan warga Makassar.
Banyak yang menduga, akibat mobilisasi ribuan relawan di awal Juli itulah yang menjadi salah satu pemicu bertambahnya kasus harian Covid-19 di kota Makassar.
Berbagai kalangan sangat menyayangkan respon lambat bahkan tidak menggubris masukan para pakar dan ahli baik ke Pemkot Makassar maupun ke Pemprov Sulsel.
Akibatnya, Sulsel mengalami lonjakan kasus, di mana Makassar memiliki sebaran tertinggi.
Pemerintah daerah seakan tidak memahami bunyi alarm pandemi ini.
Cara penanganan kasus dan koordinasinya terkesan tidak belajar dari pengalaman pemimpin daerah lain yang daerahnya lebih awal terserang Covid dengan varian delta.
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya.
Pendekatan saintifik menjadi basis penanganan Covid di empat daerah ini. Mereka tidak melakukan tindakan coba-coba.
Mereka pun tidak asal berinovasi dengn mempertaruhkan nyawa warganya.
Di DKI Jakarta misalnya. Anies Baswedan bekerjasama dengan FKM Universitas Indonesia.
Ridwan Kamil di Jawa Barat bekerjasama dengan FKM Universitas Padjadjaran Bandung.