Seniman Makassar Meninggal
Kak Roel Sanre Sahabat Rizal Ramli Telah Mendahului Kita
PERSIS seminggu sebelum kepergiannya, saya mengirim pesan melalui WhatsApp, tapi tidak ada respon.
Penulis: CitizenReporter | Editor: Edi Sumardi
Andi Bachtiar Sirang
Sahabat Almarhum Roel Sanre
PERSIS seminggu sebelum kepergiannya, saya mengirim pesan melalui WhatsApp, tapi tidak ada respon.
Di hari Idul Adha, berkirim ucapan tetap tak berbalas.
Senin, 26 Juli 2021, aya "membuka" HP, terpampang berita mengagetkan di group WhatsApp CEO Phinisi, posting-an Gasman Gazali, alumni Lontara Bandung, Anda telah mendahului kami semua.
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Telah berpulang ke rahmatullah senior/mentor/sesepuh para aktivis pergerakan, jurnalis, budayawan ITB SR-72, Bapak Andi Safrullah Karaeng Mattimung bin Andi Nontji Karaeng Sanre (Kak Roel Sanre), semoga almarhum husnul khotimah dan mendapatkan tempat terbaik disisi Allah SWT serta keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan dan ketabahan. Alfatihah."
Roel Sanre (bernama lengkap Andi Sjafrulklah Karaeng Mattimung Andi Nontjo Karaeng Sanre), sebagai mantan aktivis mahasiswa, jejak langkahnya terekam jelas pada momen momen historis gerakan mahasiswa tahun 70 - 80-an.
Sebagai kelanjutan dari gerakan Malari, ia hadir bersama aktivis Kemal Taruk dan Rizal Ramli dalam menggulirkan Gerakan Anti Kebodohan di kampus ITB ( Institut Teknologi Bandung ).
Lalu menjelang Pemilu tahun 1977, bersama aktivis mahasiswa lintas kampus memproklamirkan diri sebagai DPR Sementara (DPRS) guna mengisi kevakuman satu pilar kekuasaan berasas triaspolitika: DPR lama sudah (di)bubar(kan), DPR baru yg belum terbentuk.
Yang saya ingat para pentolannya, di antaranya dari ITB adalah Kak Roel Sanre bersama Alhilal Hamdi, Hafids Zamawi, M Iqbal, Indro Tjahyono.
Dari UI (Universitas Indonesia ) ada almarhum Bram Zakir dan dari IPB ( Institut Pertanian Bogor ) ada almarhum Farid Faqih.
Puncak gerakan mahasiswa setelah Peristiwa Malari adalah pada 15 Januari 1978 ketika Ketua Dewan Mahasiswa ITB, Heri Akhmadi (sekarang Dubes RI Jepang), menyatakan sikap menolak pencalonan kembali Jenderal Soeharto sebagai Presiden yg berakibat pada pendudukan kampus ITB oleh TNI Angkatan Darat dan tokoh-tokoh mahasiswanya ditangkapi dan ditahan di Rutan Militer di Jl Jawa dan Penjara Sukamiskin.
Roel Sanre sebagai Pemred Koran Kampus Integritas tak ketinggalan diangkut oleh aparat intelejen sepulang makan siang di warung makan Bu Eha Cihapit, Bandung.
Aktivis mahasiswa Roel Sanre dengan disiplin keilmuan Seni Rupa ITB dan memiliki kapasitas jurnalistik, mengantarkannya ke fase post activism, sebagai pegiat kebudayaan yang intens dan mulai terhubung dengan pegiat budaya serumpun di ASEAN, khususnya Malaysia.
Suatu proses transformasi dengan gaya hidup yang tetap asketis layaknya seniman pada umumnya.
Hidup sebagai seniman dijalani bersama seorang istri dan dua anak gadisnya di tanah kelahirannya, Butta Mangkasara, dihampir separuh hidupnya, seraya sempat memandori Seniman Bugis Makassar dalam suatu badan yang disebut Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (dulu DKM).
Atau jangan-jangan Kak Roel tidak bertransformasi sebab dalam penglihatan saya, Kak Roel 40 tahun lalu di Asrama Lontara dengan Kak Roel sekarang hampir tiada beda dalam hidup dan budaya.
Bagi Kak Roel, aktivisme ibaratnya suatu garis yang continum dan berlanjut sampai akhir.
Tetap happy di luar dan tidak juga berusaha ikut bersama kawan-kawannya dalam pemerintahan aktivis Gus Dur, katanya suatu saat.
Buktinya, kami alumni Lontara masih mewarisi agenda khas aktivis dari Kak Roel, yaitu untuk terus merawat dan menumbuhkembangkan Asrama Mahasiswa Lontara sebagai infrastruktur pendidikan yang baik dan layak bagi anak perantauan dari Sulawesi Selatan.(*)