AGH Sanusi Baco wafat
Paku Bumi Itu Telah Pergi: Anregurutta’ Sanusi dan Profil Keulamaan
Paku Bumi Itu Telah Pergi: Anregurutta’ Sanusi Baco dan Profil Keulamaan
Melalui hubungan baik Anregurutta Sanusi dengan Gus Dur, Pesantren ini yang baru berusia setahun kala itu, didaulat menjadi tuan rumah pelaksanaan silaturrahmi nasional ulama-ulama NU pada tahun 1988.
Di kesempatan inilah, kami mendapatkan barokah luar biasa besar karena melayani ulama-ulama besar NU dari seluruh Indonesia, termasuk Gus Dur.
Dalam suasana kepesantrenan seperti inilah, kami tumbuh dengan identitas Nahdhiyyin yang ditanamkan kuat oleh Anregurutta Sanusi.
Model pengelolaan pesantren, kurikulum kitab kuning, keteladanan ulama, hingga Barzanji dan Shalawat Badar, merupakan kenangan identitas ke-NU-an yang sangat kental di pesantren ini.
Dalam beberapa waktu kemudian, identitas ke-NU-an ini beliau lanjutkan ke PP Nahdhatul Ulum, Soreang-Maros, yang beliau langsung asuh. Beliau membawa beberapa kyai di Pondok Madina untuk mengajar bersama di PP Nahdhatul Ulum.
Dalam beberapa konteks di atas, adalah wajar dan tidak berlebihan jika menyebut Anregurutta Sanusi sebagai ulama paku bumi di Sulawesi. Konsep “ulama paku bumi” dimaknai dan diyakini sebagai penjaga keseimbangan dunia dan alam semesta.
Kepergian seorang ulama paku bumi kemudian diyakini dapat menyisakan dan menyebabkan ketidakseimbangan yang dapat berwujud dengan banyaknya bencana alam dan musibah yang tidak disangka-sangka.
Dalam beberapa Hadis, konsep keulamaan paku bumi diekspresikan dalam ungkapan bahwa diri ulama itu merupakan racun bagi orang yang menghinanya.
Ini berarti bahwa orang-orang yang senantiasa mengejek dan menghina ulama, akan mendapat murka Allah dalam beberapa aspek hidupnya.
Dalam sebuah Hadis Qudsi, Allah menjelaskan bahwa meninggalnya ulama membuat ilmu pengetahuan, khususnya agama) itu dicabut dan hilang sedemikian rupa.
Allah menarik ilmu-ilmu Nya dengan mewafatkan ulama-ulama. Demikian penjelasan Syeikh Amin al-Kurdi dalam karya Tanwir al-Qulub.
Syeikh Amin al-Kurdi bahkan memasukkan pencabutan ilmu pengetahuan dalam tanda-tanda datangnya Hari Kiamat.
Keteladan dan sosok santri-kyai dalam diri Anregurutta Sanusi, bukan hanya usapan jempol belaka, tetapi memang dominan bahkan telah terinternalisasi dalam dirinya.
Dari segi pakaian, karakter beliau yang kuat adalah sarung, baju koko di dalam sarung, dan dipadu dengan jas gelap, plus peci hitam agak miring.
Ini merupakan trademark beliau ketika mengisi acara di lorong-lorong kecil, di pesantren, lingkungan madrasah, universitas, hingga di kantor pemerintah (dari Camat, Bupati, Walikota). Penampilan fisiknya tetap sederhana seperti itu tapi tetap elegan.
Trademark ini (sarung, koko, jas dan peci) kemudian sangat didukung oleh karakter lokal beliau yang sangat kuat.
Ceramah-ceramahnya sering dihiasi dengan bahasa Bugis yang halus serta cengkok dan logat Bugis-Makassar, yang kadang mengundang tawa dan meresap ke dalam sanubari umat.
Kelokalan ini menjadi penting, mengingat banyak ulama yang tidak mampu mempertahankan kelokalannya karena berbagai hal.
Sosok Anregurutta Sanusi memang kuat dalam beberapa karakter utama. Beliau menunjukkan kelas dan otoritasnya sebagai seorang mufassir dan faqih.
Kefaqihannya terbukti dalam penganugerahan Doktor Honoris Causa dalam bidang fikih dari UIN Alauddin Makassar.
Beliau juga hadir sebagai seorang dai dan muballigh yang selalu konsisten dan tidak terpengaruh sedikit pun dengan godaan popularitas.