Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Citizen Analisis

CITIZEN ANALISIS: Nurdin Abdullah, KPK dan Jejaring Korupsi di Sulsel, 'Bersiaplah Wahai Pencuri'

NA tak sendiri. Hampir semua pilkada di Sulsel melibatkan cukong dengan APBD sebagai lembaran akhir kesepakatan.

Editor: AS Kambie
abd azis/tribuntimur.com
Akbar Faizal, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2009-2014 dan periode 2014-2019/Direktur Nagara Institute 

Lejja, sebuah kawasan wisata air panas masuk dalam rencana besar pengembangan Soppeng untuk perikanan, peternakan dan perkebunan sebagai bagian dari kerjasama daerah kembar dengan Distrik Ehime, Jepang.

Parepare juga menikmati kebaikan hati gubernur berupa bantuan sebesar Rp72 miliar pada tahun anggaran 2019 untuk penyelesaian tower pertama RS Ainun Habibie.

Tahun berikutnya Walikota Parepare kembali meminta tambahan anggaran Rp36 miliar namun ditolak gubernur.

Jeneponto dan Pangkep menikmati bantuan serupa. Jalan tembus Pangkep-Bone yang bisa menghemat perjalanan antar kedua wilayah hingga 45 menit berasal dari paket bantuan ini. Kabarnya, pembangunan rest area di Jeneponto juga bagian dari paket bantuan keuangan NA tadi.

"Hampir semua kabupaten memanfaatkan fasilitas ini,' kata satu sumber. Beberapa analisis menyebut fasilitas bantuan ini adalah 'bayar utang' NA kepada bupati-bupati pendukungnya.

Bantuan puluhan miliar kepada Soppeng tadi tampaknya menjadi paket 'jasa pengkhianatan' Andi Kaswadi terhadap Nurdin Halid, Ketua DPD I Golkar Sulsel yang juga maju sebagai calon gubernur berhadapan dengan NA.

Nurdin Halid kalah telak di Soppeng. Padahal Andi Kaswadi, Bupati Soppeng, adalah Ketua Golkar Soppeng.

Bagi NA sendiri, fasilitas bantuan ini adalah senjata pemukul efektif 'menundukkan' bupati yang bandel pada kebijakannya. Taktis. Lantas dimana masalahnya?

Cukong proyek yang bersembunyi di balik jubah gubernur bernama bantuan keuangan atau dari berbagai proyek infrastruktur yang bersumber dari APBD Provinsi. Ini sumber masalahnya. Gaya over-acting TGUPP (Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan) menyempurnakan kerusakan yang ditimbulkannya.

Diam-diam KPK mengendus praktek korup ini. Dan sumber petaka itu bernama proyek pembangunan jalan Palampang-Munte-Botolempangan yang menghubungkan Sinjai - Bulukumba.

Nilainya hanya Rp37 miliar yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK).

Satu sumber menyebut proyek ini seharusnya dikerjakan seorang pengusaha Sulsel yang mukim di Papua.

Tapi Gubernur meminta Jumras, pejabat Dinas PUPR Sulsel memenangkan Anggu alias Agung Sucipto, pengusaha spesialis proyek pemerintah asal Bulukumba yang dekat dengan NA bahkan saat masih menjabat bupati di Bantaeng.

Kata NA kepada Jumras,"Anggu membantu kita (Rp10 miliar) saat kampanye cagub lalu" seperti yang tercantum dalam dokumen angket. Ya.. utang harus dibayar.

Jumras menolak. NA marah. Anggu menagih. Kisahnya menjadi liar dan dokumen berikut rekaman pembicaraan elektronik jatuh ke tangan beberapa anggota DPRD dan menjadi material Pansus Angket DPRD Sulsel.

Kadir Halid, anggota DPRD Fraksi Golkar yang menjadi inisiator utama bertanya kepada saya tentang bagaimana cara membuat pansus sekaligus meminta dokumen pembuatan sebuah pansus.

Saya berikan dokumen pembentukan Pansus Angket Bank Century yang pernah kami bikin di Senayan.

Sejarah politik lokal mencatat DPRD Sulsel-lah yang pertama membuat pansus untuk level parlemen provinsi dengan gubernur sebagai 'tersangka utama'. Sebuah pencapaian dalam proses ber-DPRD yang patut dicatat.

Para pihak dipanggil ke depan Pansus. Dari Jumras, gubernur dan banyak nama lagi. Termasuk Andi Irfan Jaya.

Nama terakhir ini telah divonis pada kasus berbeda yakni bantuan jasa politik dan hukum pelarian Djoko Chandra-Jaksa Pinangki.

Andi Irfan yang sebelumnya surveyor dan lalu menjadi politisi tertuduh sebagai penghubung para pihak di proyek Palampang-Munte-Botolempangan tadi.

Proyek akhirnya memang jatuh ke tangan Anggu. Masyarakat setempat girang bahagia. Seekor sapi dipotong khusus untuk NA sebagai ungkapan terima kasih.

Cerita tentang Pansus hilang ditelan bumi. Tapi KPK ternyata mencium aroma bangkai. Kisah selanjutnya kita tahu seperti apa.

NA dicokok KPK. Hanya sampai disitu? Tidak. Nurdin Abdullah, Anggu dan Edy Rahmat (sekretaris Dinas PU dan Tata Ruang) yang telah ditetapkan sebagai tersangka tampaknya segera akan mendapat teman baru.

Beberapa nama, kabarnya, segera menyusul. Bupati Bulukumba Andi Sukri Sappewali telah dipanggil KPK sebagai saksi.

Seharusnya mantan bupati Bulukumba ini ditangkap Kejati Sulsel saat masih menjabat pada kasus korupsi pembangunan irigasi PUPR sebesar Rp39 miliar.

Saya sendiri yang meminta Jaksa Agung saat itu, Prasetio, memberi atensi khusus pada kasus ini dalam sebuah rapat kerja di Komisi III.

Bukti-bukti yang ada dan pengakuan para pihak khususnya Andi Ichwan lebih dari cukup untuk itu.

Beberapa orang berusaha melobi saya agar tidak melanjutkan kasus ini. Andi Sukri panik. Eeeh... malah Andi Ichwan yang ditetapkan tersangka lebih dahulu.

Padahal PNS Dinas Pendidikan inilah yang membongkar kasusnya. Kita tunggu apakah Andi Sukri Sappewali juga akan lolos dari KPK pada tautan kasus NA ini.

Tanda tangan Andi Sukri dan pada beberapa dokumen yang telah disita KPK pasti membuatnya gelisah hari-hari ini.

Sikap keras saya saat masih menjadi anggota DPR pada beberapa kasus korupsi di Sulsel --terkhusus pada korupsi Andi Sukri Sappewali-- ini membuat beberapa bupati di dapil saya gelisah dan membangun benteng pertahanan yang lalu bersepakat agar sedapat mungkin saya tak boleh lolos lagi ke Senayan. Berhasil.

Seorang kawan menunjukkan sebuah percakapan chat WA pada sebuah group berisi kesepakatan para bupati tersebut. Dan pesta dengan para cukong semakin menjadi-jadi. Sang pengganggu kesenangan mereka, Akbar Faizal, tak lagi ada di Senayan.

Tapi pesta tampaknya telah usai. Gelombang keresahan tengah melanda beberapa bupati pengguna fasilitas kebaikan hati gubernur NA tersebut serta beberapa kontraktor alias cukong yang menikmati proyek bantuan keuangan itu.

KPK kabarnya juga mulai menelisik proyek pembangunan jalan akses Poros Barru-kawasan wisata Lejja di Soppeng berbiaya Rp54 miliar yang diajukan Bupati Soppeng kepada Gubernur NA dengan fasilitas yang sama. Dikerjakan oleh kontraktor HH yang juga menggaruk APBD di Wajo.

Problem lain proyek ini karena pembiayaannya dipecah untuk proyek infrastruktur lain dan dikerjakan oleh orang yang sama. Pokoknya, proyek di Wajo-Soppeng adalah 'milik' HH.

Jika saja Kejaksaan berada dalam nafas dan gerak yang sama untuk pemberantasan korupsi di Sulsel, maka sebenarnya jajaran Adyaksa bisa melakukan hal yang lebih jauh dan lebih banyak.

Seberapa hebat sepak terjang para cukong proyek di Sulsel? Penumpang gelap kebijakan gubernur NA sebenarnya telah hadir bahkan pada gubernur-gubernur sebelumnya.

Proses pemilihan gubernur atau bupati/walikota yang tak mengenal belas kasihan memaksa seorang calon kepala daerah secara sadar mencelupkan diri kedalam cawan dahak kotor.

Pada kabupaten dengan jumlah pemilih 100 ribu orang, misalnya, sedikitnya dibutuhkan dana kampanye minimal Rp30 miliar. Di situlah cukong proyek menunggu calon gubernur/bupati datang menyerahkan diri.

Masyarakat Sulsel berhak untuk meminta kesadaran dan kearifan NA untuk membuka semua praktek korup yang menggayuti kebijakan-kebijakannya.

Selain penderitaan kolektif masyarakat yang diakibatkannya, NA juga tak layak bertanggungjawab seorang diri.

Butuh kesepakatan besar dan gerakan bersama dari masyarakat guna menghentikan cara-cara pengelolaan daerah seperti ini.

Kita tak boleh membiarkan Negeri Para Pemberani ini menjadi negeri para pencuri. Para penikmat proyek-proyek dari kebijakan NA tersebut --baik bupati, kadis, cukong/kontraktor hingga para calo proyek-- harus bertanggung jawab. Beberapa orang telah dipanggil KPK meski masih sebagai saksi.

Bukan perkara sulit bagi KPK untuk mengidentifikasi para penikmat uang negara itu. Alur rapat awal pada kantor gubernur untuk penetapan besaran paket bantuan dan proyek yang akan dibiayai, pengajuan proposal dari para bupati/kabupaten, proses tender hingga realisasi pekerjaan bisa menjadi titik temuan lubang persekongkolan yang berujung pada praktek suap menyuap.

Dan, temuannya tak akan jauh-jauh yakni pengusaha selingkuhan bupati atau pengusaha titipan gubernur. Kita tunggu saja siapa giliran berikutnya.

Publik Sulsel dengan mudah mengidentifikasi siapa saja mereka-mereka ini. Bisa dihitung jari para pemain besar proyek-proyek infrastruktur yang menguasai pekerjaan berbiaya APBD sejak beberapa tahun lalu.

APBD Sulsel memang terus meningkat dari Rp10 triliun lebih pada 2019, Rp11 triliun lebih pada 2020 dan menjadi Rp11,8 triliun pada 2021 ini.

Meski tak ada pembagian wilayah secara baku namun para cukong proyek tahu sama tahu wilayah operasi masing-masing.

Proyek (di wilayah) selatan-selatan (Bulukumba, Sinjai, Bantaeng), misalnya, dikuasai oleh Anggu alias Agung Sucipto bersama beberapa koleganya yang memiliki peralatan untuk pekerjaan infrastruktur.

Wilayah Bosowa dikuasai oleh HH dan jaringannya. Wilayah Makassar dan sekitarnya yakni Maros, Gowa, Takalar hingga Pangkep menjadi area cukong berinisial HS, HC, dan T.

Proyek-proyek infrastruktur di daerah Ajatappareng (Sidrap, Pinrang, Enrekang plus Barru) menjadi milik FT dan P.

Di Toraja dan Luwu Raya muncul nama JT dan R serta sebuah kelompok usaha berinisial PG.

Pekerjaan di Balai Besar PSDA Pompengen dan Jeneberang yang masuk area proyek PUPR juga mereka mainkan meski harus men-drive sendiri dari Jakarta (kementerian teknis dan Banggar DPR).

Tapi berat untuk bermain disini kecuali menjadi subkon BUMN karya.

Saat masih menjabat Ketua Kadin Sulsel, Zulkarnain Arief, kepada saya pernah mengeluhkan dominasi para cukong piaraan para penguasa wilayah yang disebutnya bahkan tak menyisakan sedikitpun proyek bagi pengusaha yang bernaung di Kadin.

Penyebabnya, para kontraktor besar ini berani 'membeli' proyek lebih tinggi dibanding pengusaha lainnya.

Tapi seorang pengusaha lain menyebut Zulkarnain 'berjaya' pada gubernur periode sebelumnya. "Beliau tak layak mengeluh," kata pengusaha tadi. Hmmm...

Kita tunggu kerja-kerja KPK menelisik kasus ini berdasarkan dokumen dan alat-alat bukti lainnya yang sudah ada di Kuningan.

Sulsel menjadi model penanganan kejahatan korupsi yang terstruktur dan masif. Tampaknya permainan masih panjang.

Tapi tak rumit sebab pola besarnya telah terbaca. Itulah mengapa daftar saksi yang dipanggil semakin panjang. Dan posisi saksi bisa berbelok di ujung menjadi tersangka alias TSK.

Bersiap-siaplah wahai para pencuri.(*)

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved