Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tribun Makassar

Kapolri Larang Media Siarkan Tindakan Kekerasan Polisi, Ini Tanggapan AJI Makassar

Menurut Nurdin hingga sampai saat ini masih banyak deretan kasus kekerasan yang dilakukan oknum kepolisian belum menemukan titik kejelasan.

Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Imam Wahyudi
Dok Polri
Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Makassar, Nurdin Amir, meminta dengan tegas agar Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo menertibkan anggotanya yang melakukan tindak kekerasan.

Menurut Nurdin hingga sampai saat ini masih banyak deretan kasus kekerasan yang dilakukan oknum kepolisian belum menemukan titik kejelasan.

Misalnya saja, tutur Nurdin, di Makassar tahun 2019 sebanyak tiga jurnalis menjadi korban kekerasan aparat kepolisian saat meliput aksi penolakan RUU KUHP di depan kantor DPRD Sulsel.

"Seharusnya ini ditindak. Sampai hari ini, kasus ini mengendap di Polda Sulselbar," jelasnya.

Padahal sebelumnya, sambungnya, pihak kepolisian telah menetapkan tersangka.

"Tapi tidak pernah dilimpahkan berkasnya ke kejaksaan," jelasnya.

Nurdin Amir juga menanggapi surat telegram Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Seperti diketahui surat tersebut mengatur soal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisidan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.

Hal ini tertuang dalam poin nomor satu. Menurut Nurdin, itu sama saja berpotensi menghalangi kinerja jurnalis.

Apalagi, sambungnya, tertulis media dilarang menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan kekerasan.

Padahal selama ini, tutur Nurdin, aparat kepolisian kerap menjadi aktor yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat, termasuk para jurnalis.

"Jadi lebih baik para oknum kepolisian yang ditertibkan ketimbang mengeluarkan surat telegram larangan seperti itu," jelasnya.

Setelah mendapat masukan dari publik mulai dari Dewan Pers hingga berbagai organisasi Pers, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo akhirnya mencabut aturan tersebut.

Pencabutan ini termuat dalam Surat Telegram Nomor: ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021. Surat tersebut dikeluarkan pada hari ini, Selasa, 6 April 2021, dan ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono.

Sebelumnya, telegram dengan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 itu diteken Listyo Sigit pada 5 April 2021, ditujukan kepada pengemban fungsi humas Polri di seluruh kewilayahan.

Ada 11 poin yang diatur dalam telegram itu, salah satunya media dilarang menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan.

Karena itu, media diimbau menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas, tapi humanis.

Peraturan itu dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Perkap Nomor 6 Tahun 2017 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi pada Tingkat Mabes Polri, dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012.

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Rusdi Hartono mengatakan, telegram itu dikeluarkan agar kinerja polisi semakin baik.

"Pertimbangannya agar kinerja Polri di kewilayahan semakin baik," kata Rusdi, Selasa (6/4/2021).

Dia menyatakan, pada dasarnya telegram itu ditujukan kepada seluruh kepala bidang humas.

"Telegram itu di tujukan kepada kabid humas. Itu petunjuk dan arahan dari Mabes ke wilayah, hanya untuk internal," ujar dia.

Berikut isi lengkap surat telegram Kapolri:

1. Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.

2. Tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.

3. Tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.

4. Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan.

5. Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual.

6. Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.

7. Menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur.

8. Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku.

9. Tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.

10. Dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten.

11. Tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved