Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Presiden Malioboro

INNALILLAHI Presiden Malioboro Umbu Landu Paranggi Meninggal Dunia, Ini Profil dan Kumpulan Puisinya

Umbu Landu Paranggi, penyair yang dijuluki sebagai Presiden Malioboro sekaligus guru bagi Emha Ainun Nadjib itu meninggal dunia pukul 03.55 WITA.

Editor: Sakinah Sudin
Twitter Kenduri Cinta
Umbu Landu Paranggi dan Cak Nun. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Innalillahi wainnailaihi rojiun. Kabar duka datang dari dunia seni.

Salah satu tokoh sastra Indonesia, Umbu Landu Paranggi meninggal dunia, Selasa (6/4/2021).

Penyair yang dijuluki sebagai Presiden Malioboro sekaligus guru bagi Emha Ainun Nadjib itu meninggal dunia pukul 03.55 WITA.

Kabar tersebut diunggah di akun resmi Kenduri Cinta.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun... Duka kami, mengantarmu ke huma yang sejati Bapak Umbu Landu Paranggi," tulis akun tersebut, dikutip Selasa (6/4/2021).

"Pada hari Selasa tanggal 6 April 2021 pukul 03.55 WITA di RS Bali Mandara," tulisnya kemudian.

Tag Presiden Maliboro pun akhirnya menjadi salah satu trending Twitter hari ini, Selasa (6/4/2021). Banyak netizen ikut berduka atas kepergian sang penyair.

"Innalillahi wa inna illaihi roji'uun..Selamat jalan,, sampai jumpa.. Dan terimakasih atas ilmu-ilmunya..#utangrasa," tulis Fahardyputra.

"Sugeng tindak Eyang Presiden Malioboro #UtangRasa #MaiyahBerduka," tulis @CakGama.

"Umbu ialah penyair yang pernah dijuluki "Presiden Malioboro" karena membina komunitas seniman di kawasan itu tahun 1960-an 70-an.

Selamat jalan Presiden Malioboro, sajakmu abadi...," tulis @amarasintha.

Profil singkat Umbu Wulang Landu Paranggi

Umbu Wulang Landu Paranggi lahir di Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur, 10 Agustus 1943.

Ia merupakan seniman berkebangsaan Indonesia yang sering disebut sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an.

Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa esai dan puisi yang dipublikasikan di berbagai media massa.

Umbu merupakan penyair sekaligus guru bagi para penyair muda pada zamannya, antara lain Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Eko Tunas, Linus Suryadi AG, dan lain-lain.

Pada tahun 2020, ia mendapatkan penghargaan dari Festival Bali Jani di bidang sastra.

Dia pernah dipercaya mengasuh rubrik puisi dan sasatra di Pelopor Yogya, dan rubrik Apresiasi di Bali Post.

Cerita tentang Umbu pernah ditulis Emha Ainun Nadjib di laman caknun.com miliknya.

Bagaimana Cak Nun pertama bertemu dengan Umbu dan belajar tentang apa yang disebutnya sebagai Kehidupan Puisi.

Pendidikan:

  • SMA BOPKRI Yogyakarta.
  • Sarjana Sosiatri, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
  • Sarjana Hukum, Universitas Janabadra, Yogyakarta.

Kumpulan Puisi Umbu Landu Paranggi

Berikut kumpulan puisi Umbu Landu Paranggi atau Presiden Malioboro dilansir Tribun-timur.com dari http://umbulanduparanggi.blogspot.com/:

  • Ibunda Tercinta

Perempuan tua itu senantiasa bernama:
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya

Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan
berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia

Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba
di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya

(1965)
Sumber : Tonggak 3 : Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 244). Puisi ini diambil dari Manifes, Antologi Puisi 9 Penyair Yogya, Yogyakarta, 1968.

  • Percakapan Selat

Pantai berkabut di sini, makin berkisah dalam tatapan
sepi yang lalu dingin gumam terbantun di buritan
juluran lidah ombak di bawah kerjap mata, menggoda
di mana-mana, di mana-mana menghadang cakrawala

Laut bersuara di sisi, makin berbenturan dalam kenangan
rusuh yang sampai, gemas resah terhempas di haluan
pusaran angin di atas geladak, bersabung menderu
di mana-mana, di mana-mana, mengepung dendam rindu

Menggaris batas jaga dan mimpikah cakrawala itu
mengarungi perjalanan rahasia cintakah penumpang itu
namun membujuk jua langkah, pantai, mega, lalu burung-burung

Mungkin sedia yang masuk dalam sarang dendam rindu
saat langit luputkan cuaca dan laut siap pasang
saat pulau-pulau lengkap berbisik, saat haru mutlak biru

(1966)
Keterangan : versi 1, Sumber : Tonggak 3, Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 240). Puisi ini diambil dari Pelopor Yogya, 18 Januari 1970.

Dari Pura Tanah Lot

inilah bunga angin dan tirta air kelapa muda
para peladang yang membalik balik tanah dengan tugal
agar bermuka muka langit tinggal serta dalamku

bercocok tanam mengidungkan musik dwitunggal
dan seruling tidur ayam di dangau pinggir tegalan
atau sepanjang pematang sampai ke batang air
duduklah bersila di atas tumpukan
batu batu karang ini lakon lakon
rumput dan sayur laut mengirimkan gurau ombak
seraya uap air memercik pedihku

beribu para aku sebrang sana datang
mengabadikanmu pasang naik pasang surut
dan kini giliran asal bunyi sunyiku menggapai puncak meru
ke gunung gunung agung tengadah mataku mengail ufuk
tak teduh mengairi kasihku

sumber : Majalah Kolong Budaya No. 3 Th. I / 1996

  • Sajak Dalam Angin

Sebelum sayap senja
(daun-daun musim)
Sebelum hening telaga
(burung-burung malam)
Sebelum gunung ungu
(bisik suara alam)
Sebelum puncak sayu
(napas rindu dendam)
Sebelum langkah pengembara
(hati buruan cakrawala)
Sebelum selaksa kata
(sesaji upacara duka)
Sebelum cinta itu bernama
(sukma menguji cahaya)
Sebelum keningmu mama
(kembang-kembang telah bunga)
Sebelum bayang atau pintumu
(bahasa berdarah kenangan maya)
Kabut itu dikirimkan hutan
Gerimis itu ke padang perburuan
Gema yang itu dari gua purbani
Merendah: dingin, kelu dan sendiri
Namaku memanggil-manggil manamu
Lapar dahaga menghimbau
Dukamu kan jadi baka sempurna
Dan dukaku senantiasa fana

(Yogya, 1968)
Sumber : Tonggak 3, Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 240-241). Puisi ini diambil dari Pelopor Yogya, Minggu, 26 April 1970. (Kompas.com/ Rintan Puspita Sari/ Tribun-timur.com/ Sakinah Sudin )

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved