Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tolak Pilkada 2022/2023, PDIP Jegal Anies Baswedan Jadi Capres Pengganti Jokowi? Penjelasan Djarot

Tolak Pilkada 2022 dan 2023, PDIP jegal Anies Baswedan jadi Capres pengganti Jokowi? Penjelasan Djarot.

Editor: Edi Sumardi
DOK KOMPAS.COM/IWAN SETYAWAN
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Tolak Pilkada 2022 dan 2023, PDIP jegal Anies Baswedan jadi Capres pengganti Jokowi? Penjelasan Djarot. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Tolak Pilkada 2022 dan 2023, PDIP jegal Anies Baswedan jadi Capres pengganti Jokowi? Penjelasan Djarot.

Saat ini sedang menguat wacana untuk menunda Pilkada serentak yang akan digelar pada tahun depan atau tahun selanjutnya.

Wacana ini menguat saat revisi UU Pemilu dibahas.

Salah satu daerah yang akan menggelar Pilkada pada tahun depan adalah DKI Jakarta.

Anies Baswedan masih akan bertarung sebagai gubernur di Ibu Kota.

Ketua DPP PDIP Djarot Syaiful Hidayat mengatakan, partainya menolak pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023 yang tercantum di dalam draf Revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).

Djarot menegaskan, sikap partai tersebut tidak ada kaitannya dengan upaya untuk menghambat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan kepala daerah lainnya.

Untuk diketahui, di dalam draf RUU Pemilu dimuat ketentuan bahwa Pilkada digelar 2022 dan 2023.

Salah satu Pilkada yang akan digelar pada 2022 adalah Pilgub DKI Jakarta.

Sementara, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan Pilkada serentak ditetapkan pada November 2024.

Sehingga, jabatan kepala daerah yang berakhir pada 2022 akan diisi pejabat sementara termasuk Anies Baswedan.

"Jelas tidak benar (menghambat panggung politik Anies Baswedan). Tidak terkait dengan pak Anies Baswedan juga gubernur-gubernur yang lain seperti Jabar, Jatim, Jateng dan seterusnya, UUnya juga diputuskan di tahun 2016 atau sebelum Pilgub DKI," kata Djarot saat dihubungi, Jumat (29/1/2021).

Djarot mengatakan, sebaiknya pelaksanaan Pilkada tetap dilangsungkan pada 2024 sesuai amanat UU Nomor 10 Tahun 2016.

Sebab, hal ini salah satu bentuk konsolidasi antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.

Selain itu, ia mengatakan, saat ini Indonesia masih menghadapi pandemi Covid-19 yang tidak dapat diprediksi kapan bisa diatasi.

Oleh karenanya, menurut Djarot, sebaiknya energi pemerintah digunakan memperkuat penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.

"Di samping kita juga harus mengevalusi pelaksanaan pilkada serentak 2020 yang dilaksanakan di masa pandemi," ujarnya. Sebelumnya, Pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, gelaran pilkada serentak di 2024 bisa membuat calon presiden potensial dari kepala daerah kehilangan momentum.

Sebab, pilkada serentak di tahun tersebut akan berbarengan dengan pemilihan presiden.

Sementara, sejumlah nama yang belakangan masuk bursa calon presiden, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyelesaikan masa jabatannya pada 2022 dan 2023.

"Anggap Anies 2022 selesai, lalu baru dilaksanakan pilkada serentak 2024, itu momentumnya akan susah lagi didapat. Kalau momentum susah didapat, maka karier politik akan sulit dikejarnya," kata Hendri saat dihubungi, Jumat (29/1/2021).

Ia mengatakan, dalam politik, kekuasaan atau kemenangan merupakan tujuan akhir.

Menurut Hendri, pro dan kontra antarpartai soal revisi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 bisa juga dilihat sebagai bagian dari upaya meraih atau mempertahankan kekuasaan itu.

Salah satu agenda revisi UU Pemilu adalah mengubah jadwal pilkada serentak 2024 menjadi 2022 dan 2023.

Maka, akan ada perubahan pada UU Pilkada.

"Dalam politik, kekuasaan atau kemenangan adalah tujuan akhir. Maka ini adalah salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan dari petahana," ucap Hendri.

Hendri sendiri berpendapat lebih baik jadwal pilkada serentak dikembalikan menjadi 2022 dan 2023.

Hal ini bercermin dari gelaran Pemilu Serentak 2019 yang menyebabkan banyak petugas kelelahan hingga meninggal dunia.

Anies terkuat

Peneliti Centre for Strategic and Internationnal Studies ( CSIS ) Arya Fernandez mengatakan, Anies Baswedan sebagai incumbent merupakan salah satu kandidat terkuat dalam Pilkada Jakarta.

Apabila Pilkada DKI Jakarta dilangsungkan pada tahun 2022, Arya memprediksi ada beberapa skenario yang bisa saja terjadi.

Skenario pertama dari sisi petahana, Anies Baswedan akan maju kembali berpasangan dengan wakilnya Ahmad Riza Patria dan diusung oleh Partai Gerindra.

Namun, jumlah kursi Partai Gerindra di DPRD DKI Jakarta tidak memenuhi persyaratan apabila mereka ingin maju sendiri.

Saat ini Partai Gerindra hanya memiliki 19 kursi di DPRD DKI Jakarta.

Karenanya, Arya menyebut, partai ini membutuhkan minimal 3 kursi untuk bisa mencalonkan Anies Baswedan dan Ariza.

"Karena kalau misalnya Pak Anies maju di Pilpres, berarti kan Pak Anies kemungkinan akan mundur sebagai gubernur dan kursi gubernur akan lari menjadi milik Gerindra," kata Arya kepada Kompas.com, Kamis (28/1/2021).

Skenario kedua adalah, Anies Baswedan dan Partai Gerindra bisa saja pecah kongsi karena perbedaan pilihan politik pada Pemilihan Presiden 2024.

Pada skenario kedua ini, Partai Gerindra kemungkinan mengusung Ariza atau tokoh lainnya.

Apabila hal ini terjadi, maka Anies Baswedan mungkin akan diusung oleh koalisi dari beberapa partai, seperti Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ) atau Partai Nasional Demokrat ( Partai Nasdem ) sebagai syarat pencalonan.

"Nah jadi skenario kedua mereka pecah kongsi. Gerindra mencalonkan kadernya, karena kan Gerindra punya 19 kursi jadi hanya butuh beberapa kursi lagi," tutur Arya.

Kemudian dari sisi non-petahana, Arya menjelaskan, PDIP bisa mengajukan nama calon tanpa perlu berkoalisi dengan partai lainnya.

Akan tetapi, hingga saat ini belum ada tokoh yang dianggap kuat atau tepat yang bisa diusung.

Kendati ada nama Menteri Sosial Tri Rismaharini yang beberapa kali mencuat, namun Arya menilai jika posisi Risma akan sangat dilematis.

Sebab saat ini, Risma baru saja menjabat sebagai pimpinan di Kementerian Sosial setelah Mensos sebelumnya tersandung kasus korupsi.

"Jadi Bu Risma sangat dilematis, tergantung izin Jokowi (Presiden Joko Widodo). Kalau pun dia maju ya berarti itu menunjukkan bahwa jabatan menteri hanya baru loncatan saja dan sayang juga Kemensosnya ditinggal dalam situasi memprihatinkan," tutur dia.

Skenario kedua bagi non-petahana yakni PDIP bisa mengajukan tokoh lain seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Namun hingga saat ini, Arya menilai belum ada tokoh kuat yang bisa diusung oleh PDIP.

"Jadi bisa untuk menyiapkan kuda-kuda di Pilpres misalnya. Tapi kemungkinan itu susah juga krena kan Puannya ingin maju Pilpres," kata Arya.

Pemerintah dan DPR saat ini tengah membahas rencana revisi UU Pemilu.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan mustopa sebelumnya mengatakan, di dalam draf revisi RUU Pemilu, pelaksanaan Pilkada akan dilangsungkan pada 2022 dan 2023.

Penyelenggaraan Pilkada serentak ini lebih cepat dibandingkan dengan UU Nomor7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di mana Pilkada akan diselenggarakan serentak bersama dengan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2024.

"Ya kalau di draf RUU Pemilu kita memang seperti itu ya, 2024 rencana Pilkada diserentakan itu dinormalkan. Jadi 2022 ada Pilkada, 2023 ada pilkada, dan nanti kalau diserentakan itu di 2027 Pilkada," kata Saan saat dihubungi, Senin (25/1/2021).

Dalam draf revisi diatur, Pilkada 2022 diselenggarakan di daerah yang sebelumnya menyelenggarakan Pilkada pada 2017.

Sedangkan, Pilkada 2023 diselenggarakan di daerah yang sebelumnya menyelenggarakan Pilkada pada 2018.

Khusus pada tahun 2022, ada 101 daerah yang rencananya akan menggelar pemilihan serentak, salah satunya adalah DKI Jakarta.

Terakhir, Ibu Kota menggelar Pilkada pada tahun 2017 sehingga masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria akan berakhir pada 2022.(*)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved